Artikel

Angka Bunuh Diri Generasi Tinggi, Apa Solusinya?

Oleh: Radayu Irawan, S.Pt

Mahasiswa merupakan sosok intelektual dambaan umat. Tak sedikit masyarakat menumpukan harapannya di pundak mahasiswa. Mahasiswa seharusnya menjadi sosok yang segaris dengan harapan bangsa. Yakni menjadi insan cerdas nan mumpuni memberi solusi bagi umat.

Namun, ditengah gempuran sekuler (pemisahan agama dengan kehidupan) terbentuklah pemuda yang lemah iman, mudah menyerah, putus asa, optimis, serta pragmatis.

Hal tersebut menyebabkan maraknya kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa. Dalam 2 hari, 2 kasus bunuh diri terjadi. Dilansir dari Republika (13/10/23) dua kasus dugaan bunuh diri terjadi di Semarang, pertama dilakukan NJW (20) warga Ngaliyan, Semarang, mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri yang ditemukan tewas di Mal Paragon Semarang, Selasa (10/10/2023). Kasus kedua, seorang mahasiswa perguruan tinggi swasta di Semarang berinisial EN (24) warga Kapuas, Kalimantan Tengah, yang ditemukan meninggal dunia di dalam kamar indekosnya, Rabu (11/10/2023).

Kedua kasus tersebut hanya sebagian kecil dari sekian banyak kasus yang terjadi. Pasti ada kasus bunuh diri yang tidak masuk dalam berita. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2019 mencatat bahwa Indonesia memiliki rasio bunuh diri sebesar 2,4 per 100 ribu penduduk. (Tempo, 14/10/23)

Apa penyebabnya?

Selama masih hidup di dunia, manusia akan senantiasa mengalami masalah. Tidak ada satupun insan di muka bumi yang bebas dari masalah. Maka, sebagai insan yang beragama harusnya setiap apapun masalahnya dikembalikan kepada solusi Islam, bukan menjadikan bunuh diri sebagai solusi. Jika ditelusuri penyebab bunuh diri dijadikan solusi bisa beragam. Misalnya persoalan akademik, asmara, keluarga ataupun perundungan.

Secara umum disadari atau tidak, kondisi psikis seseorang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Lingkungan sekitar yang buruk dan individu yang tidak memahami hak sesama seringkali menyebabkan gangguan mental. Misalnya, circle pertemanan yang jauh dari agama akan menyebabkan toxic circle. Perkataan yang keluar dari lisan yang jauh dari agama akan menyakiti perasaan dan gangguan mental.

Tekanan psikis bisa juga terjadi karena kondisi keluarga yang tak harmonis. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat penuh kasih sayang namun sayangnya menjadi tempat yang penuh masalah. Maka, saat anak memiliki permasalahan, keluarga tidak dapat memberikan solusi. Walhasil pelariannya di luar rumah. Kondisi lingkungan sekitar pun toxic. Akhirnya setelah merasa tak menemukan solusi, bunuh diri pun menjadi pilihan. Seolah-olah semua masalah selesai dengan bunuh diri. Padahal, itu hanya akan membuat sengsara di akhirat. Nauzubillah.

Tentu, kejadian seperti ini tak bisa dibiarkan terus menerus. Mesti ada upaya memahami akar permasalahannya dan mencari solusi dari masalah tekanan mental agar tidak terus-terusan memakan korban.

Akar Persoalan

Saat ini, negara kita dipengaruhi sekuler yakni sistem yang memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari. Sehingga pemahaman ini menuntun manusia untuk berbuat sekehendaknya tanpa mempertimbangkan terpuji atau tercela dengan kacamata agama. Oleh karena itu wajar jika pemahaman ini membentuk arah pandang manusia hari ini.

Pada interaksi sosial, baik di keluarga, masyarakat umum ataupun komunitas-komunitas, banyak yang tak menggunakan Islam dalam pengaturannya. Padahal, aturan Islam pasti akan menenangkan manusia dan memberikan solusi terbaik bagi seluruh permasalahan yang terjadi.

Jadi tak heran, sangat mudah didapatkan komentar atau tatapan negatif yang tertuju pada individu yang kondisinya jauh dari standar duniawi. Tanpa disadari, berbagai toksik di kehidupan sosial berpengaruh pada kondisi psikis seseorang.

Realitas ini sesungguhnya lahir dari sistem hidup yang bukan dari pencipta manusia, melainkan berasal dari buatan manusia. Rapuhnya kesehatan mental ini tak terlepas dari kondisi internal dan sistem sosial yang diterapkan saat ini. Sebagai seorang muslim kita sangat perlu untuk menata agar kondisi internal dan sistem sosial berjalan sesuai syariat. Pada kondisi internal terkait bagaimana seseorang mampu menata perasaan dan pikiran dalam menyikapi masalah. Sedangkan sistem sosial terkait dengan lingkungan antar sesama manusia yang terjalin. Bagaimana caranya?

Menata Pikiran dan Perasaan

Ketika seseorang meyakini bahwa tujuan hidupnya adalah untuk ibadah dan meraih keridaan Allah, maka ia akan senantiasa yakin bahwa setiap masalah dan ujian akan meningkatkan derajatnya. Kesadaran dan keyakinan seperti ini tentu hanya akan lahir dari keimanan yang kokoh. Maka, dengan ini perasaan-perasaan kecewa, sedih, kesal yang merupakan perasaan manusiawi akan dapat dikelola dengan baik sesuai dengan syariat.

Sejatinya, seorang mukmin tidak layak untuk melakukan tindakan bunuh diri bahkan hanya sekedar berniat pun tak layak. Karena seyogianya kehidupan seorang mukmin sangat menakjubkan. Hal ini senanda dengan hadis dari Abu Yahya Suhaib bin Sinan Radhiyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999)

Tentu pemahaman ilmu agama menjadi kunci agar tercipta keimanan yang kokoh. Sehingga, perkataan Allah dan Rasulullah senantiasa menjadi panutan dalam kehidupan. Maka, semua ini hanya akan didapatkan jika setiap orang sadar akan pentingnya mengikuti kajian Islam kaffah. Dengan mengikuti kajian intensif maka, hati dan pikiran akan senantiasa dapat dikelola agar sesuai dengan syariat bukan syahwat belaka.

Sistem Sosial Islami

Jika perasaan dan pikiran telah dikelola dengan baik, insyaallah benteng awal pertahanan anti bunuh diri telah diraih. Namun hal ini saja tidak cukup. Sangat dibutuhkan sistem sosial Islami. Karena terkadang perasaan dan pikiran terpengaruh dari interaksi sosial di masyarakat.

Negara dalam hal ini penguasa, sangat berpengaruh dalam menciptakan sistem sosial yang sehat di tengah-tengah masyarakat. Islam, mampu menyelesaikan segala problem kehidupan. Baik dalam penataan hati dan pikiran ataupun pengaturan interaksi antar sesama manusia. Bahkan Islam mengatur hubungan bernegara.

Negara, dalam hal ini penguasa, wajib memberikan edukasi kepada masyarakat dan memastikan sistem sosial berlangsung dengan baik. Negara akan memastikan kebutuhan masyarakat (sandang, pangan, papan) tercukupi agar enggak ada masyarakat yang mengalami tekanan hidup yang terlalu berat. Karena keluarbiasaannya sistem Islam, negara mampu memberikan jaminan kesejahteraan bagi setiap individu rakyat.

Negara juga berperan membuat kondisi sosial yang sehat dan jauh dari lingkungan toksik. Misalnya dengan cara memperhatikan aspek interaksi sosial secara mendetail. Dari Abdullah bin ‘Amru bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Seorang muslim adalah orang yang muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya.” (Sahih Bukhari).

Pada hadis tersebut jelas bahwa seorang muslim harus senantiasa menjaga lisannya agar tidak mengatakan perkataan yang sia sia seperti membully, mengolok-olok, berbohong, menyakiti erasaan saudaranya, dan sejenisnya. Di sisi lain, ia harus menjaga hak saudaranya dengan tidak mengambil milik orang lain tanpa izin.

Sistem informasi Islam juga senantiasa dikontrol oleh penguasa agar tidak ada sekelompok orang atau individu yang menyebar aib ataupun membuat suasana menjadi toksik bagi lainnya. Negara berupaya membuat sirkulasi informasi yang sehat, sehingga informasi-informasi negatif yang dapat menstimulus kejahatan atau penyelesaian masalah-masalah dengan bunuh diri tidak akan ditemukan.

Dalam ranah keluarga, agar terwujudnya saling kasih mengasihi serta keharmonisan maka negara membekali setiap individu ilmu yang mumpuni melalui sistem pendidikan Islam. Dengan ilmu syar’i maka anak ataupun orangtua akan memahami hak dan kewajibannya masing-masing. Sehingga lingkungan sehat dalam ranah keluarga akan diraih.

Jelas sekali, bahwa sistem sosial Islami hanya akan tegak dalam naungan sistem Islam bukan dalam naungan sistem sekuler. Antara sistem sosial, pendidikan, ekonomi juga saling berkaitan. Maka sebagai seorang muslim kita berkewajiban untuk sama-sama menegakkan sistem Islam dalam naungan negara Islam. Allahu a’lam bishowab.

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.