Oleh: Muhammad Falah Nasution
Guru Sejarah SMAN 2 Plus Panyabungan
Kawasan Mandailing pada abad ke-14 sudah disebut dalam kitab Negarakertagama, ditulis Mpu Prapanca, sejarawan dari Majapahit. Mandailing menjadi salah satu daerah eksvansinya di luar pulau Jawa. Masuknya Majapahit di kawasan Mandailing menunjukkan bahwa pada masa itu Mandailing sudah memiliki peradaban, bahkan jauh sebelum Majapahit datang.
Selain berita dari Mpu Prapanca, di kawasan Mandailing dapat ditemukan beberapa peninggalan zaman batu besar (Megalithikum), seperti menhir dan arca. Kedua benda tersebut merupakan hasil kebudayaan masyarakat praaksara periode sebelum mereka mengenal perunggu. Hal itu tentu membuktikan bahwa di kawasan Mandailing pada masa praaksara sudah membentuk sebuah perkampungan. Kedatangan mereka diperkirakan melewati jalur sungai Batang Gadis, dari pantai barat Sumatera menuju kawasan Mandailing.
Berdasarkan penjelasan di atas, pada kawasan Mandailing dari masa praaksara sampai masa Hindu-Budha telah mendapat pengaruh, baik dari segi budaya maupun kepercayaan. Namun, kawasan Mandailing tidak hanya berada pada kedua masa, melainkan mengalami etape, masa kerajaan-kerajaan tradisional yang dipimpin oleh marga-marga di Mandailing, masa Islamisasi, masa kolonial Belanda, dan masa perjuangan nasional, serta masa pasca kemerdekaan (kontemporer). Masa-masa itu semua telah memperkaya budaya Mandailing.
Terbentuknya satu kebudayaan Mandailing tentu sangat menarik untuk dilakukan kajian, khususnya berdasarkan kajian ilmu sejarah. Dalam hal ini yang menjadi fokus kajiannya terletak pada hasil kebudayaan berupa bangunan, yaitu arsitektur rumah-rumah masyarakat Mandailing sebelum kemerdekaan. Terdapat keunikan dan ciri khas tersendiri pada rumah-rumah masyarakat Mandailing. Desain bangunan itu merupakan hasil perwujudan berdasarkan nilai-nilai budaya yang memerlukan pemahaman dalam pengembangannya sehingga terbentuk dalam wujud fisik, yaitu rumah.
Pola permukiman pada masyarakat Mandailing era kerajaan memiliki orientasi ke komplek kediaman raja yang terdiri dari bagas godang dan sopo godang, serta alaman bolak. Bagas Godang (rumah besar/istana raja) dan Sopo Godang (pondok besar) memiliki arsitektur tertentu yang berbeda dengan rumah-rumah masyarakat biasa di sekelilingnya, walaupun semua rumah identik rumah panggung. Disamping itu, baik rumah raja dan masyarakat biasa pada umumnya memiliki material dari alam sekitar, seperti bambu (dinding), kayu (kerangka rumah), dan ijuk (atap), walaupun pada dewasa ini sebagian bahannya sudah terganti dengan material modern.
Desain rumah di kawasan Mandailing berupa rumah panggung memiliki tiga bagian utama, yaitu taruma ni bagas (kolong rumah), bagas (rumah tempat tinggal), dan parapi (atap).
Rumah panggung ini jika dilihat dari bagian bagas-nya (rumah tempat tinggal) bermaterial dari bambu yang dianyam (gogat) dan papan. Sedangkan dari bagian atap terdapat perbedaan antara satu kampung dengan kampung lainnya. Pada atap rumah di kawasan Mandaling terdiri dari 3 jenis bentuk atap, yaitu atap silingkung dolok pancucuran (atap bentuk melengkung), atap sarotole, atap saracino. Atap bentuk melengkung dan datar identik dengan adanya gable segitiga pada depan atap yang diidentifikasi sebagai rumah raja.
Dilihat dari perspektif sejarah dapat dijelaskan bahwa rumah-rumah di Mandailing mendapat pengaruh dari alam sekitar dan budaya masyarakat luar, misalkan alasan rumah berpanggung. Hal itu dikarenakan keadaan alam pada masa itu masih banyak berkeliaran binatang-binatang liar, sehingga rumah panggung menjadi pilihan. Jika dilihat pada kehiudpan masyarakat praaksara, rumah dibangun berpanggung sebagai solusi dari keadaan alam. Atap rumah yang asumsi sementara juga diadopsi dari alam sekitar, misalnya bentuk gunung, bentuk tanduk kerbau. Adanya hubungan bentuk rumah dengan alam sekitar menunjukkan masyarakat Mandailing masih tergantung dengan alam. Selain itu, pengaruh kepercayaan pada masa sebelum Hindu-Buddha, yaitu pada ornamen atau hiasan pada bolang Bagas Godang, seperti warna-warna pada bolang. Hal itu ada kaitannya dengan sistem kepercayaan terhadap roh. Gambar-gambar pada bolang seperti Jagar-jagar, Bona bulu, Bindu, dan Raga-raga. Hal itu merupakan adopsi dari falsafah masyarakat Mandailing, yaitu dalihan na tolu (tungku yang tiga).
Adapun pengaruh agama Islam terhadap rumah tradisional di kawasan Mandailing dapat dilihat dari perubahan warna oranamen yang berkaitan dengan dalihan na tolu yang lebih menampilkan stilasi dan penyederhanaan, yang dapat dilihat terutama dalam bentuk-bentuk geometris. Dikarenakan dalam karya seni Islam lebih cenderung kepada bentuk-bentuk abstrak dan geometris daripada gambar manusiawi.
Bangunan rumah tradisional di kawasan Mandailing berdasarkan hal di atas, dapat disimpulkan bahwa terjadi akulturasi dari budaya dan sistem kepercayaan masyarakat pendahulunya dan yang datang ke kawasan Mandailing. Sehingga terbentuk rumah tradisional yang unik dan memiliki ciri khas tersendiri. Pada dewasa ini, bangunan rumah tradisonal di kawasan Mandailing sudah jarang ditemukan, jumlahnya sedikit, dan sebagian material rumah digantikan dengan material modern. Terjadainya perubahan pada rumah tradisional Mandailing masih menunjukkan bentuk dan keunikannya.***