Oleh : ASKOLANI NASUTION
Budayawan
TATA BAHASA MANDAILING
Pada tahun 1861, HN Van Der Tuuk, ahli tata bahasa Belanda, menulis buku “Stukken in het Mandailingsch”, tulisan ilmiah pertama tentang bahasa Mandailing yang terbit di Amsterdam. Melalui buku itu, bahasa Mandailing dikenal secara luas.
Bahasa Mandailing memiliki banyak perbedaan dengan bahasa daerah lainnya di Nusantara. Jika bahasa Jawa misalnya dibedakan atas dua ragam penggunaan berdasarkan kelas sosial pendengarnya, bahasa halus dan bahasa kasar, maka bahasa Mandailing jauh lebih luas lagi ragamannya. Perbedaan itu tidak menyangkut kelas sosial. Misalnya, bahasa seorang raja Mandailing tetap sama dengan bahasa rakyat biasa. Perbedaan ragam pengungkapan ada pada tataran situasi.
Ada lima ragam bahasa Mandailing berdasarkan situasi penggunaannya, yakni:
- Ragam Bahasa Adat. Ragam ini digunakan dalam prosesi adat, baik saat proses pernikahan, kemalangan, dan lain-lain. Pilihan kata yang digunakan merujuk kepada pilihan kata klasik yang amat berbeda dengan pilihan kata yang dikenal dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan beberapa kata yang digunakan dalam prosesi adat, tidak pernah lagi digunakan dalam komunikasi sehari-hari.
Contohnya:
“Marhite-hite tu ujung ni tahi.” Kata [marhite-hite] dan [tahi] tidak ditemukan lagi dalam ragam komunikasi sehari-hari. Terjadinya perbedaan ini karena dalam prosesi adat setiap orang dibedakan kedudukannya atas kahanggi, anak boru dan mora. Selain itu, urutan pembicaraan juga diatur berdasarkan mekanisme tertentu yang disebut ruas. Ruas tersebut mengatur materi atau inti pembicaraan yang harus dilalui secara berurutan.
- Ragam Bahasa Andung (situasi bersedih).Ragam ini digunakan saat seseorang meratapi kemalangan yang sedang menimpanya. Misalnya ratapan ketika orang tua, suami/istri, anak, atau kekasihnya meninggal. Penutur akan mengungkapkan kesedihannya dengan bahasa tertentu dan disampaikan dengan lagu tertentu.
- Ragam Bahasa Parkapur (komunikasi di hutan) Ragam ini digunakan saat berada di lingkungan hutan. Beberapa kata yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari dianggap pantang diucapkan dalam lingkungan rimba. Tentu karena kepercayaan bahwa rimba dikuasai oleh penguasa rimba. Misalnya harimau. Jadi untuk menyebut harimau diganti menjadi ‘nagogoi’. Karena kata itu dianggap lebih halus. Dalam lingkungan hutan setiap orang dituntut untuk berprilaku santun, baik dalam tingkah laku maupun ucapan.
- Ragam Bahasa Somal (komunikasi sehari-hari) Ragam ini digunakan dalam komunikasi sehari-hari tanpa mengenal usia dan jenis kelamin. Bahasa ini lah yang disebut bahasa Ibu, yaitu bahasa yang diturunkan kepada anak dalam lingkungan keluarga. Bahasa tersebut tidak ada perbedaan pilihan kata dalam penggunaan di lingkungan rumah, di antara teman sebaya, maupun di lingkungan sosial penutur. Jumlah koso kata yang digunakan tidak terhingga, juga variasi ungkapannya.
- Ragam Bahasa Bura (situasi marah) Ragam ini digunakan dalam situasi emosional. Kebanyakan digunakan oleh wanita saat mengekspresikan rasa marahnya kepada orang lain. Kata-kata yang digunakan dianggap tidak patut diucapkan dalam situasi normal. Selain menggunakan kata tertentu juga disampaikan dengan nada yang keras.
Misalnya:
Seseorang dituntut untuk terampil memilih kosa kata yang tepat untuk ragam yang sesuai. Misalnya, Sirih, sama dengan napuran (ragam adat), simanggurak (ragam andung), burangir (ragam nabiaso), dan siroan (ragam parkapur). Karena itu, dalam bahasa Mandailing, setiap konteks dan latar komunikasi berbeda, akan berbeda juga diksi (kata) yang digunakan.
AKSARA TULAK-TULAK
Memang tidak semua suku bangsa memiliki sistem aksara (tulisan) tersendiri. Adanya sistem aksara menandakan bahwa suatu suku bangsa, termasuk Mandailing Natal, merupakan suku bangsa yang amat bermartabat dan berbudaya pada masa dahulu.
Ada 21 jenis huruf dalam Aksara Mandailing yang dikelompokkan ke dalam sebutan Ina ni Surat, yakni:
Kelompok huruf tersebut belum sepenuhnya bisa digunakan dalam pembentukan kata, karena belum memenuhi semua morfem pembentuk bunyi. Selain karena belum memiliki simbol bunyi [e] dan [o], juga belum memiliki bunyi konsonan atau huruf mati. Karena itu, Ina ni Surat tersebut harus dipadukan lagi dengan Anak ni Surat.
Anak ni Surat digunakan untuk mengubah vokal [a] bervariasi menjadi bunyi vokal [i], [e], [o], dan [u]. Selain itu juga pembentuk bunyi [-ng] dan bunyi konsonan. Penanda Anak ni Surat tersebut adalah:
Berikut ini contoh penggabungan Anak ni Surat dengan Ina ni Surat dalam proses pembentukan hata.
Selain itu, Aksara Tulak-tulak juga menggunakan huruf pangolat yang ditandai dengan simbol . Huruf ini berfungsi untuk membuat bunyi konsonan atau huruf mati di akhir suku kata. Misalnya:
Catatan: perhatikan penggunaan huruf [ng] pada kata [hambeng] dan [kombang]. Pada kata [hambeng] huruf [ng] masih digunakan, tetapi pada kata [kombang] huruf [ng] hanya menggunakan penanda [-] saja yang diletakkan di sudut kanan atas konsonan terakhir. ***
(Askolani Nasution adalah Sarjana Sastra dan Budayawan Mandailing)