Artikel

Cinta Ditolak, Haruskah Nyawa Jadi Taruhan?

Oleh: Radayu Irawan S.Pt

Cinta. Satu kata yang indah. Membuat banyak orang lupa diri. Adakah salah cinta? Cinta, jika ditempatkan sesuai syariah maka akan tumbuh nilai-nilai pahala. Namun jika tidak, nyawa pun tak bisa jadi taruhannya.

Seorang pelajar akibat sakit hati karena cinta ditolak tega membunuh “seseorang” yang katanya ia cintai. Korban adalah FPR 16 tahun seorang pelajar SMK yang dibunuh oleh temannya sendiri Ai 16 tahun. Pembunuhan ini terungkap setelah polisi menyelidiki temuan jasad wanita membusuk di sebuah warkop di perumahan Made Gread, Lamongan, pada Rabu 15 Januari 2025.

Polres Lamongan mengungkap bahwa pelaku membunuh korban dengan cara menjerat leher korban menggunakan kerudung milik korban. Selain itu pelaku juga memukul korban berulang kali di bagian perut dan mata kanan lalu membenturkan kepala korban ke tembok hingga mengakibatkan pendarahan. Setelah pelaku meyakini korban telah meninggal ia membiarkan mayatnya begitu saja di TKP sekitar Warkop. (Beritasatu.com)

Pembunuhan di kalangan pelajar bukan baru kali pertama terjadi. Kejadian serupa sudah sering terjadi dengan motif berbeda-beda sehingga telah menjadi fenomena yang perlu dicari jalan keluarnya. Jika dikaji secara mendalam, akan ditemukan beberapa faktor yang menyebabkan pelajar tega melakukan aksi pembunuhan terhadap temannya sendiri.

Pertama dari aspek pendidikan. Pembentukan kepribadian generasi hari ini gagal dalam menciptakan mental tangguh. Generasi begitu lemah dalam mengontrol emosinya. Akibat minimnya pendidikan moral dan kepribadian mulia. Sehingga generasi tidak memahami jati dirinya yang sesungguhnya yang berujung pada ketidak mampuan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hidup mereka. Serta rentan dengan penyakit mental yang merugikan diri sendiri bahkan orang lain.

Kedua aspek lingkungan. Tidak adanya lingkungan sosial yang suportif dalam membentuk kepribadian generasi. Masyarakat saat ini tidak memiliki standar baku dalam menilai benar salah dan terpuji tercela suatu perbuatan. Standar tersebut dikembalikan kepada akal manusia yang akhirnya menciptakan standar semu. Tindakan pembunuhan dikecam tetapi aktivitas pacaran dan kholwat atau berdua-duaan dengan lawan jenis yang bukan mahram dianggap biasa.

Ketiga aspek media. Media sosial hari ini telah menjelma menjadi “guru” bagi generasi yang rendah literasi. Tak jarang ditemukan konten-konten yang justru mengajarkan generasi tindak kekerasan sebagai salah satu cara meluapkan emosi. Minimnya atau bahkan nihilnya kontrol dari orang tua bahkan negara sebagai pemegang kendali digitalisasi di negeri ini menjadikan generasi menyerap pemikiran apapun dari media sosial.

Tiga faktor di atas merupakan beberapa faktor dari banyak faktor yang memungkinkan terjadinya kasus pembunuhan. Jika dirunut faktor-faktor tersebut akan didapati bahwa persoalan ini merupakan persoalan sistemik yang tidak berdiri sendiri. Melainkan antara faktor pendidikan, lingkungan dan media saling berkaitan. Dan ketiga faktor ini pun berasal dari asas yang sama. Yakni aturan hidup sekuler (pemisahan aturan kehidupan dengan agama).

Pemisahan aturan agama dari kehidupan, menyebabkan agama tak memiliki peran dalam mengatur seluruh aspek kehidupan, selain urusan privat dan ibadah. Akibatnya sistem pendidikan yang diberlakukan berasas sekuler yang mengabaikan pembentukan kepribadian Islam. Lingkungan masyarakatnya sekuler yang jauh dari budaya amar makruf nahi mungkar dengan standar halal haram. Medianya pun sekuler karena hanya bertujuan mencari cuan sehingga membebaskan konten positif atau negatif berseliweran.

Sungguh asas ini telah membuat ukuran kebahagiaan manusia hanya berpusat pada materi atau terpenuhinya keinginan seseorang. Jika keinginannya telah tercapai dan emosinya telah diluapkan maka ia akan merasa puas dan bahagia tanpa pikir panjang. Sehingga muncul perilaku liberal yang melahirkan prinsip menghalalkan segala cara. Alhasil emosi pun dilampiaskan sesuai dengan hawa nafsu.

Persoalan generasi saat ini, jelas membutuhkan sistem yang mampu memberikan solusi komprehensif atas berbagai persoalan. Islam adalah satu-satunya agama yang memiliki seperangkat sistem aturan. Sistem Islam yang diterapkan di bawah institusi Khilafah Islam akan menjadikan negara sebagai penanggungjawab segala urusan umat. Termasuk membentuk generasi yang berkepribadian mulia.

Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda “Imam atau Khalifah adalah raa’in atau pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR. al-Bukhari)

Khalifah atau pemimpin Negara Islam berkewajiban untuk memberikan jaminan pendidikan berkualitas. Islam menjadikan pendidikan tidak hanya berfokus pada aspek akademis. Tetapi juga pada pembentukan akhlak mulia, pengendalian diri dan pemahaman yang benar terhadap hubungan antar manusia atau dengan kata lain membentuk kepribadian Islam.

Alhasil generasi akan memahami jati dirinya sebagai hamba Allah dan selalu berusaha untuk taat kepada Allah kapanpun dan di manapun. Atas kesadaran bahwa dirinya adalah hamba Allah dan hidup untuk menggapai rida Allah, generasi akan takut untuk menyakiti orang lain apalagi menghilangkan nyawa sesamanya. Hidupnya diisi dengan hal-hal bermanfaat seperti belajar, berdakwah dan memberikan sumbangsih terbaiknya untuk peradaban Islam.

Selain itu negara Khilafah juga akan menerapkan sistem sosial ataupun lingkungan yang sehat. Islam memiliki seperangkat aturan yang jelas terkait pergaulan laki-laki dan perempuan untuk mencegah timbulnya fitnah dan perilaku yang melampaui batas. Sistem sosial Islam ini akan menjaga pergaulan sesuai dengan tuntunan syarak.

Dengan aturan ini hubungan remaja laki-laki dan perempuan diarahkan agar tetap dalam batas yang wajar. Mencegah terjadinya hubungan yang merusak moral atau memicu konflik emosional. Dengan dukungan penerapan syariat Islam dalam berbagai bidang lainnya atau secara Kafah, menyeluruh. Kasus tragis seperti yang dilakukan pelajar Lamongan tadi dapat dicegah sejak akar permasalahannya.

Selain itu untuk menciptakan suasana ketakwaan rakyatnya, negara juga akan melakukan kontrol terhadap media. Karena di dalam Islam media digunakan untuk sarana edukasi bagi generasi dan mampu memberikan informasi-informasi bagi para penontonnya. Maka negara harus menjaga agar informasi yang diterima adalah kebenaran atau tidak bertentangan dengan Islam.

Negara melarang masuknya pemikiran sekuler liberal hedonis dan pemikiran lain yang bertentangan dengan Islam. Melalui media konten-konten sadis seperti kekerasan dan pembunuhan tidak akan pernah diizinkan tayang. Negara memiliki digitalisasi yang kuat yang mampu mengatasi hal ini. Media dalam Islam hanya digunakan untuk sarana dakwah semata.

Demikianlah penjagaan negara Khilafah terhadap generasi yang menjauhkan dari segala bentuk kemaksiatan dan membentuknya menjadi pembangun peradaban mulia. Wallahu A’lam Bishowab.

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.