Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Madina terus menurun. Dari 6,21 persen (2015) anjlok menjadi 6,09 persen (2017). Lalu, terjun lagi menjadi hanya 5,30 persen (2019).
Kondisi inilah yang membuat angka pengangguran di Madina meningkat tajam, dari 4,43 persen (2018) menjadi 6,37 persen (2019).
Itu diungkap Prof. Dr. H. Eddy Suratman, SE.,MA.? Dia adalah salah seorang panelis saat debat Pilpres (pemilihan presiden) 2019 lalu?
Eddy, begitu ia biasa disapa, merupakan salah seorang putra terbaik Mandailing Natal (Madina), Sumut lulusan SMA Negeri 1 Panyabungan (1987). Saat ini ia menjabat guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat
Meskipun sudah meninggalkan Madina sejak lulus SMA, atau sekitar 33 tahun lalu, Eddy masih terus mengikuti perkembangan kemajuan tano hasorangan, baik melalui berita, juga lewat keluarga dan sahabat yang ada di kampung.
Informasi itu, kata Eddy, bisa juga didapat melalui pengamatan langsung. Sebab hampir dua atau tiga tahun sekali, dia pulang ke Panyabungan untuk melepas rindu dengan keluarga besar.
“Terus terang saya sangat khawatir melihat perkembangan ini,” kata peraih cumlaude saat lulus doktor dari Universitas Indonesia,Jakarta (2004), kepada Beritahuta.com, Jumat pagi (25/9-2020).
IPM juga sangat lamban, bahkan nomor 5 terrendah di Sumut.
Menurut Eddy yang juga lulus cumlaude saat mengambil gelar MA (Master of Arts) bidang ekonomi kependukan dan ketenagakerjaan di Universitas Indonesia (UI), Jakarta (1994), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Madina juga berkembang lambat.
Pada 2019 memiliki nilai 66,52 dan menempati peringkat lima terbawah dari seluruh kabupaten/kota di Sumut. Dengan kata lain, IPM Madina hanya lebih baik dari 4 kabupaten di Pulau Nias, yaitu: Nias Utara, Nias, Nias Selatan, dan Nias Barat.
Angka IPM Madina yang rendah tersebut terutama disebabkan dua hal, pertama: Angka Harapan Hidup (AHH) yang sangat rendah bahkan terendah se-Provinsi Sumut. Yaitu, hanya 62,51 tahun.
“AHH yang rendah tentu saja menggambarkan ketertinggalan dalam pelayanan kesehatan,” jelas lulusan terbaik dan tercepat jurusan ekonomi pembangunan Universitas Tanjungpura (1991).
Kedua, angka Rata-Rata Lama Sekolah (RTL) yang relatif rendah, yaitu hanya sekitar 8,36 tahun. Artinya rata-rata penduduk di Madina belum tamat SMP (butuh waktu 9 tahun).
Angka ini hanya lebih baik dari kabupaten-kabupaten yang ada di Pulau Nias (RTL sekitar 6 tahun) dan Kabupaten Batubara (RTL sekitar 8,02 tahun).
Padahal menurut Eddy, Madina memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) melimpah dan juga memiliki sejarah sebagai daerah penyumbang tokoh-tokoh yang sukses yang berkiprah di tingkat provinsi dan tingkat nasional.
Oleh karena itu patut diduga kalau perkembangan Madina yang mengkhawatirkan tersebut disebabkan “salah kelola” atau “salah urus”.
Sebab itu, mantan pembantu rektor (PR) bidang kemahasiswaan dan alumni Universitas Tanjungpura ini berharap momentum Pilkada Madina 9 Desember 2020 nanti dapat digunakan masyarakat untuk mengevaluasi secara obyektif perkembangan kemajuan kabupaten paling selatan Provinsi Sumatera Utara ini.
Kalau betul faktor utama-nya adalah karena “salah kelola”, maka Madina membutuhkan perubahan kepemimpinan daerah dengan orang yang memiliki karakter kepemimpinan kuat sekaligus memahami kondisi riil daerah.
Untuk itu, ayah tiga anak yang pernah menjadi anggota tim asistensi menteri keuangan bidang desentralisasi fiskal di Kementerian Keuangan RI ini mengharapkan masyarakat Madina harus jeli menilai pasangan calon mana yang betul-betul menggambarkan adanya perubahan kepemimpinan di Madina.
“Madina harus bangkit. Madina harus dibenahi, dan saya kira masyarakat Madina sudah sangat cerdas menemukan solusi untuk mewujudkan perubahan itu,” kata Eddy. (*)
Sumber : Beritahuta.com