Oleh: Khadijah Nelly, M.Pd
Akademisi dan Pemerhati Sosial Masyakarat
Awal Desember kembali masyarakat Indonesia dihebohkan dengan kasus yang sangat miris dan mengiris hati dengan viralnya kasus oknum polisi yang menghamili dan memaksa pacarnya aborsi hingga berujung pada bunuh diri dari sang korban. Atas kejadian ini, luapan emosi dan keprihatinan netizen ramai diungkapkan di medsos, hingga tagar #SAVENOVIAWIDYASARI dan #percumalaporpolisi menjadi trending topic di Twitter pada Senin (6/12) usai netizen riuh merespons kasus bunuh diri salah satu mahasiswi perguruan tinggi negeri di Jawa Timur, Novia Widyasari.
Kasus bunuh diri Novia tersebut melibatkan anggota Polres Pasuruan, Bripda Randy Bagus Hari Sasongko yang merupakan kekasih korban. Berdasarkan keterangan kepolisian, Novia ditemukan tewas di dekat makam ayahnya, Dusun Sugihan, Desa Japan, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Kamis (2/12). Atas desakan publik, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo memastikan jajarannya akan mengusut kasus kematian mahasiswi Novia Widyasari Rahayu. Hal tersebut dikatakan Sigit melalui cicitan di akun resmi Twitter-nya @ListyoSigitP menanggapi laporan dari akun @Ayang_Utriza. “Terima kasih informasinya, saat ini permasalahan sedang dalam penanganan Polda Jawa Timur,” ujar Sigit pada Sabtu (4/12). Kabar terakhir diberitakan bahwa Bripda Randy Bagus Hari Sasongko diketahui telah dipecat secara tidak hormat dan ditahan karena keterlibatannya dalam kasus kematian sang kekasih Novia Widyasari yang tewas bunuh diri.
Kasus ini juga mendapat sorotan dari pengamat kepolisian dari Institut for Security an Strategic Studies (ISeSS) Bambang Rukminto yang menanggapi terkait kasus kematian Novia Widyasari yang bunuh diri karena diperkosa dan dipaksa aborsi oleh mantan pacarnya yang merupakan anggota polisi di Polres Pasuruan. Menurut dia, yang bisa membuat efek jera bagi anggota yang melanggar aturan adalah pemberhentian dengan tidak hormat. “Lembaga kepolisian tidak usah segan-segan untuk membuang anggota yang tidak memiliki moral seperti itu,” katanya saat dihubungi Republika, Ahad (5/12).
Ya, kasus kekerasan kepada perempuan, baik fisik maupun psikis oleh anggota polisi seperti itu tidak bisa dibiarkan. Kalau anggota polisi sudah tidak mempunyai tanggungjawab melindungi dan mengayomi kepada sosok perempuan artinya tidak bisa lagi diharapkan untuk melindungi masyarakat yang lebih luas. Maka tak cukup hanya memecat secara tidak hormat kepada aparat hukum yang melanggar hukum, namun harus lebih dari itu, ada sanksi hukum yang berat dan dapat membuat jera bagi siapa saja yang melakukan kejahatan seperti itu agar kasus seperti ini tak lagi terulang. Terlebih ini yang melakukan adalah oknum kepolisian yang tahu hukum, namun sangat disayangkan berperilaku amoral, jauh dari tuntunan agama dan merusak nama institusi kepolisian sendiri.
Maka dari sekian banyak kasus kekerasan seksual yang bukan kali ini saja terjadi di negeri ini dan seakan seperti gunung es tidak lain dan tidak bukan adalah akibat gaya hidup bebas buah diterapkannya sistem kapitalisme. Sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan yang menjadi asas dari sistem ini yang melahirkan generasi-generasi yang jauh dari aturan agama. Bahkan aktivitas pacaran adalah suatu hal yang dianggap biasa di dalam sistem ini, padahal sudah jelas bahwa Islam melarang segala aktivitas yang dapat menjerumuskan kepada kemaksiatan.
Maka sudah saatnya negeri ini mengevaluasi dan muhasabah untuk negeri. Segala bentuk kemaksiatan dan permasalahan bangsa mesti segera dicari solusi hingga akarnya. Agar kasus seperti ini tak terus terjadi dan merusak umat ini. Tentu dengan kembali pada aturan Islam. Menjadikan ketakwaan bagi seluruh rakyat adalah modal utama perbaikan seluruh aparatur negara dan bangsa ini. Lebih dari itu mesti kembali pada aturan sistem hukum Islam yang berasal dari Allah SWT untuk mengatur negeri ini. Sebab jalan ini adalah jalan mulia dan kebaikan meraih keberkahan untuk negeri ini.***