Catatan : Askolani Nasution
Lima tahun Dana Desa berjalan. Apa yang berubah?
(1) Rapat beton bersilang di tengah perkampungan tanpa urgensi apa pun terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
(2) Pertikaian masyarakat meninggi, antara mereka yang kecipratan dengan yang tidak.
(3) Kesejahteraan Kepala Desa sebagian besar meningkat tajam, berbanding terbalik dengan kesejahteraan penduduk desa.
Akumulasi dana desa yang nyaris lima milyar selama ini malah tidak berdampak langsung dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tentu karena program dana desa gagal memilih program yang sungguh-sungguh menciptakan peluang usaha baru bagi masyarakat desa.
Di bidang fisik misalnya, hanya bermain di rabat beton lingkungan desa, sedikit yang menyentuh jalan sentra produksi. Kita membuat kantor kepala desa yang gagah mewah tapi tidak berbanding lurus dengan fungsi pelayanan dan fungsinya.
Kita membuat gapura desa yang cantik dengan lampu-lampu kemerlip, padahal tidak sama sekali bersinggungan dengan semangat mencari nafkah. Kita membuat Bumdes yang sama sekali rendah potensi wirausahanya. Dan lain-lain.
Sektor Pemberdayaan Masyarakat lebih buruk lagi. Namanya pemberdayaan, sepatutnya membuat rakyat makin berdaya. Tapi yang muncul kegiatan yang aneh-aneh. Bukan kegiatan yang sungguh meningkatkan daya saing rakyat misalnya, peningkatan pemahaman budi daya pertanian, teknologi sederhana pertanian, pengembangan UKM, bantuan modal dan kewirausahaan, inovasi ekonomi pedesaan, dan lain-lain.
Sektor pemberdayaan malah sibuk dengan beragam bentuk sosialisasi penataan keuangan, sosialisasi lalu lintas, wawasan kebangsaan, dan seterusnya. Tentu saja sektor itu penting, tapi cantolannya tidak pas dengan Dana Desa. Karena Dana itu sepatutnya tidak keluar dari sektor pemberdayaan ekonomi rakyat.
Masalahnya di mana? Pertama, kita gagal membuat penekanan bahwa pemberdayaan memang bervisi ekonomi kerakyatan. Baik sektor pertanian, jasa, UKM, kerajinan, kuliner, teknologi sederhana, kewirausahaan, multimedia, kapasitas pekerja seni-budaya, pekerja informal, dan seterusnya.
Kedua, pendamping kecamatan dan desa sepatutnya mempu menawarkan program-program yang bervisi ekonomi itu untuk desa. Kalau hanya membiarkan musyawarah desa tanpa “mem-push” dan perlakuan khusus lain, musyawarah cenderung liar. Karena masyarakat tidak cukup memiliki kapabilitas untuk melihat kemungkinan-kemungkinan yang lebih inovatif.
Ketiga, desa sepatutnya membentuk tim perumus yang terdiri dari kelompok intelektual, wirausaha, dan lain-lain yang merumuskan secara terukur pola pengembangan ekonomi desa melalui Dana Desa. Dengan begitu ada capaian yang signifikan untuk dilakukan, dan terukur. Kita tahu penekanan untuk membentuk tim itu ada. Namanya Tim Inovasi Desa. Tapi tidak tidak di-“endorse” sebagaimana mestinya.
Sayang sekali, dana sebesar itu sama sekali tidak mampu mengubah kesejahteraan rakyat. Saya ragu, kita sebenarnya punya niat baik atau tidak untuk memanfaatkan dana besar itu bagi kesejahteraan bersama. Tidak juga mengubah hidup petani tanaman pangan, para buruh bangunan, tukang jahit, pelaku UKM, buruh tani, dan segala komponen usaha tradisional pedesaan. Mereka yang menjadi sasarannya, bukan kita.***
Askolani Nasution adalah budayawan/sutradara