*Coretan Ramadan : AMIR HAMDANI NASUTION
Aktivis Yayasan Rumah Konstitusi Indonesia
Sekitar empat tahun silam, ada catatan kecil perihal kepala daerah hasil pilkada serentak 2015 yang masih rapi tersimpan dalam jejak digital pribadi.
Intinya begini, bahwa kerap terjadi dalam bentangan fakta pasca pilkada di berbagai daerah: rakyat ditinggalkan secara perlahan-lahan oleh pasangan kepala daerah (KDH)/wakil kepala daerah yang sudah menduduki kursi jabatan orang nomor satu di daerah masing-masing. Tembok pemisah itu perlahan-lahan didesain, utamanya melalui jalur birokrasi.
Lebih parahnya, apalagi KDH tersebut sudah termasuk golongan incumbent yang diduga mengidap potensi “impoten” dalam mengelola pemerintahan daerah sebagaimana harapan rakyat, sehingga layak disematkan gelar KDH abal-abal.
Lalu, seperti apa ciri-ciri KDH abal-abal versi tulisan ini? Pertama, apabila potensi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ternyata bisa mencukupi kebutuhan untuk melakukan program-program yang pro rakyat, namun alokasi anggaran tersebut kebanyakan untuk belanja pegawai, “wara-wiri pejabat”, kegiatan fiktif dan perjalanan dinas selama 360 hari dalam masa anggaran tahun berjalan.
Kedua, hal ini bisa dicek melalui grafik peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) per tahun dari daerah tersebut. Apabila indeks tersebut “nyaman” berada di jajaran paling bawah atau kita sebutlah berada di rangking bawah dibandingkan dengan kab/kota lain dalam provinsi tersebut. Tak lain dan tak bukan, alamat sesat mindset KDH tersebut.
Ketiga, masih ada gak isu suap dan korupsi dalam proses pelelangan jabatan/mutasi jabatan? Jika ada, tentu penyakit ini merupakan salah satu indikator yang sangat menentukan kadar integritas KDH yang bersangkutan. Kesejahteraan masyarakat akan menjadi sesuatu yang mustahil, apabila pemimpinnya masih bergelimang dalam kolam kotor yang berisi uang haram, uang suap jabatan dan uang suap proyek. Tipe pemimpin seperti ini biasanya lebih dominan “menjilat yang katanya atasannya” daripada mengabdi untuk atasannya sendiri yakni demos.
Keempat, mari cek grafik penilaian audit keuangan pemerintahan daerah versi BPK. Apabila opini BPK tersebut masih wajar dengan pengecualian (WDP) atau disclaimer (tidak memberikan pendapat) dari tahun ke tahun. Indikasi nyatanya ada masalah yang didiamkan tanpa dicari solusi. Didiamkan bertahun-tahun. Tanpa penyelesaian yang serius.
Menjelang puasa Ramadhan ini, semoga kita terhindar dari KDH abal-abal yang hanya mementingkan nafsu politiknya, selera kelompoknya dan kepentingan elitnya. ***
*Coretan kecil sebelum Ramadhan 1440 H