Oleh : ASKOLANI NASUTION
Budayawan
Saya kaget ketika beberapa hari yang lalu tahu bahwa rumah M. Kasim ada di ujung jalan Pesanggarahan Kotanopan. Dan saya sempat berbincang-bincang banyak hal tentang beliau dengan cucunya yang masih tinggal di Kotanopan, terutama menyangkut kemungkinan arsip-arsip naskah yang masih tinggal.
Mungkin tak banyak yang tahu bahwa M. Kasim adalah sastrawan besar, pelopor cerpen Indonesia. Karena itu beliau dinobatkan sebagai “Bapak Cerpen Indonesia”. Bahkan Ajib Rosidi menobatkan beliau sebagai peletak dasar lahirnya sastra modern Indonesia.
Bayangkan saja, beliau sudah menerbitkan cerpen sejak tahun 1910, sebelum Perang Dunia I. Beliau tumbuh dalam kekentalan sastra Melayu yang berkembang di Nusantara sebagai Lingua Franca, terutama sastra lisan. Ada dua genre penting Sastra Melayu ketika itu, yakni Sastra Melayu Rendah yang digunakan sebagai bahasa penerbitan dan pers yang didominasi orang-orang Tionghoa, dan sastra Melayu Tinggi yang digunakan sebagai bahasa pendidikan. Karena maraknya penggunakan Sastra Melayu Rendah, pemerintah kolonial menertibkannya dengan pendirian badan penerbit resmi: “Balai Pustaka”.
Kasim adalah bagian dari psoses pem-Balai-Pustakaan naskah-naskah cerita pada awal tahun 20-an. Selain beliau, kita mengenal nama-nama seperti Merari Siregar: Azab dan Sengsara, (1920), Marah Roesli : Siti Nurbaya (1922), Abdul Muis : Salah Asuhan (1928), dan lain-lain.
Awalnya M. Kasim, sesuai dengan pekerjaannya sebagai guru di SD Kotanopan, banyak menggunakan sastra lisan. Salah satu ceritanya yang terkenal adalah “Si Bisuk Na Oto”. Karena sastra lisan itu pula yang membuat saya gagal menemukan naskah “Si Bisuk Na Oto” yang dikarangnya sebagai sastra literer, sastra lisan.
Banyak memang versi cerita “Si Bisuk Na Oto”, bahkan yang paling konyol sekalipun. Tokoh Si Bisuk Na Oto mungkin lebih dekat dengan prototipe tokoh imajiner Abu Nawas dalam kisah “Seribu Satu Malam” yang tekenal itu. Karena banyak versi itu, dan tak ada yang tertulis, membuat saya tahun 2015 lalu membuat versi sendiri, yang kemudian saya angkat dalam film “Si Bisuk Na Oto” yang diperankan Zulfikar Rambe, Nila Sari, dan lain-lain. Karakternya saya bayangkan saja gaya Robert De Niro dalam film tahun 90-an ketika ia memerankan tokoh dengan keterbelakangan mental, dan Dustin Hoffman dalam film “Rain Man”. Itu bagian dari rasa penasaran saya terhadap tokoh “Si Bisuk Na Oto” yang sering diceritakan M. Kasim. Tentu orang tidak tahu bahwa film tersebut bagian dari upaya saya mengangkat pesona M. Kasim.
Kumpulan cerpen pertama M. Kasim adalah “Teman Duduk” yang terbit tahun 1936, sekaligus sebagai Kumpulan Cerpen Pertama di Indonesia yang diterbitkan Balai Pustaka. Tetapi sebelumnya, M. Kasim sudah menulis novel “Muda Teruna” (1922), Si Samin (1924) yang memenangkan naskah Sayembara Buku Anak-Anak di Balai Pustaka. Kumpulan cerpen lainnya adalah “Bertengkar Berbisik”, “Bual di Kedai Kopi”, dan “Dja Binuang Pergi Berburu”. Beliau juga menulis naskah terjemahan, seperti Niki Bahtera (karya CJ Kieviet, 1920) dan Pangeran Hindi (karya Lewis Wallace, 1931). Cepern-cerpen lainya banyak dimuat di Majalah Pandji Pustaka (1929-1945) dan Pandji Masjarakat (setelah merdeka) yang terbit sebelum merdeka.
Karakter karya-karya M. Kasim banyak bersifat homur dan pendidikan dunia anak-anak. Itu kebalikan dari sastrawan Angkatan 20-an sezamannya yang banyak menulis roman dewasa. Mungkin karena kuatnya pengaruh roman dewasa, maka M. Kasim tidak begitu dikenal secara luas, dibadingkan dengan “Siti Nurbaya”, “Sengsara Membawa Nikmat”, dan “Salah Asuhan” yang diangkat menjadi film oleh TVRI ketika itu.
Tentu bukan hanya M. Kasim yang mewakili sastrawan besar dari Mandailing Natal. Ada Suman Hs yang menjadi murid M. Kasim di Kotanopan, ada Mochtar Lubis dari Muara Soro, Kotanopan.Selain tentu Sutan Takdir Alisjahbana yang lama di Natal.***