Oleh: Radayu Irawan, S.Pt
Penulis, tinggal di Sidimpuan
Mi instan, siapa orang Indonesia yang tak pernah merasakan kenikmatannya? Harganya murah, memasaknya praktis, rasanya maknyus. Hampir semua kalangan menyukainya.
Namun yang paling sering mengkonsumsinya adalah masyarakat kalangan menengah bawah. Mereka tidak lagi memikirkan bahaya mengkonsumsi mi instan setiap hari, pertimbangannya adalah daripada tidak makan. Begitulah kondisi memaksanya.
Bagaimana jadinya kalau harga mi instan akan naik? Mungkinkah akan banyak masyarakat yang kelaparan?
Sebelumnya, sudah disebutkan bahwa mi instan akan mengalami kenaikan hingga 3 kali lipat. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Syahrul Yasin Limpo selaku Menteri Pertanian.
Adapun alasan harga mi instan naik karena dampak perang Rusia-Ukraina. Sedangkan Indonesia masih ketergantungan atas impor komoditas dari kedua negara tersebut. (Suara.com 18/08/2022)
Ternyata kenaikan harga mi instan dalam sebulan telah berlangsung dua kali. Kenaikan harga per karton mencapai Rp5.000, yakni dari sebelumnya Rp100.000 menjadi Rp105.000 per karton. (Inews.id 20 Agustus 2022)
Ironis Negeri Agraris
Dilansir dari CNBC Indonesia (14/08/2022)
Indonesia mendapatkan penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI). Penghargaan itu diberikan atas keberhasilan sistem ketahanan pangan Indonesia dalam hal swasembada beras tahun 2019-2021.
Ini menjadi bukti bahwa seyogianya negeri ini mampu untuk menggenjot swasembada pangan lainnya, selain beras. Mengingat kebutuhan pangan rakyat tidak hanya beras.
Pemerintah harusnya dapat memahami ketergantungan Indonesia terhadap gandum. Bukankah seyogianya pemerintah membuat langkah yang nyata agar swasembada pangan, selain beras dapat juga dicapai?
Sebagai negara agraris, kondisi Indonesia sesungguhnya berada pada situasi yang ironis. Sebab belum mampu mencapai swasembada pangan secara menyeluruh. Kondisi ini diperparah pula dengan ketidakseriusan pemerintah dalam membangun pertanian. Padahal pertanian, menyangkut hidup dan matinya suatu bangsa.
Jika swasembada beras dapat diraih karena dukungan penuh dan fasilitas dari pemerintah, namun mengapa hal yang sama tidak direalisasikan untuk pangan lainnya? Bukankah rakyat juga sangat membutuhkan gandum, gula, terigu, daging dan yang sejenisnya?
Menelisik Masalah
Jika kita telisik lebih dalam masalah gagalnya swasembada pangan di negeri agraris, sebenarnya banyak faktor yang membuat tidak terealisasinya swasembada pangan secara sempurna di negeri ini. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut.
Beberapa kebijakan hadir untuk menghentikan alih fungsi lahan pertanian, namun realitas berkata lain. Banyak petani yang terpaksa harus merelakan lahannya demi mengejar pembangunan manufaktur dan permukiman. Alhasil lahan pertanian berubah menjadi lahan pabrik ataupun perumahan. Walaupun ada lahan tersisa untuk pertanian, tapi kondisi lahannya pun memprihatinkan karena tercemar limbah rumah tangga ataupun pabrik.
Permasalahan lainnya adalah tentang pengadaan pupuk. Dukungan pemerintah terhadap subsidi pupuk masih terbatas. Jika ada pupuk non subsidi harganya pun tak bersahabat dengan kantong petani.
Tidak adanya sokongan fasilitas, sarana dan prasarana dari pemerintah. Canggihnya zaman teknologi saat ini, belum tercermin pada sektor pertanian negeri agraris ini. Padahal, jika ditopang dengan alat dan mesin pertanian yang mumpuni, tentu swasembada akan lebih cepat diraih.
Solusi
Lantas, bagaimana agar swasembada pangan secara sempurna dapat terealisasi?
Jika saat ini sistem kapitalisme sekuler yang mewarnai negeri ini tidak mampu mewujudkan swasembada pangan seutuhnya, maka Islam sebagai agama sekaligus ideologi, mampu untuk merealisasikan nya.
Untuk merealisasikannya Islam menggunakan politik pertanian yang terdiri dari dua strategi penting, yaitu intensifikasi pertanian dan ekstensifikasi pertanian.
Intensifikasi pertanian yaitu peningkatan produktivitas dan kualitas pertanian. Terdiri atas pengadaan benih dan pupuk yang berkualitas, inovasi berbasis teknik pertanian modern serta dukungan fasilitas sarana dan prasarana untuk menunjang pengembangan sektor pertanian.
Ekstensifikasi pertanian yaitu menambah luas areal lahan. Dalam negara Islam tidak diperkenankan membiarkan tanah diam (tanah yang tidak terurus atau tidak ditanami) selama lebih dari 3 tahun berturut-turut. Jika ini terjadi maka negara akan mengambil alih tanah ini dan memberikannya kepada yang mampu untuk mengelolanya.
Hal ini sesuai dengan hadis
“Dari jabir RA berkata, Rasulullah SAW bersabda : barang siapa mempunyai sebidang tanah, maka hendaklah ia menanaminya, jika ia tidak bisa atau tidak mampu menanami, maka hendaklah diserahkan kepada orang lain (untuk ditanami) dan janganlah menyewakan (HR.Muslim).
Dengan dua strategi ini menjadikan produktivitas pertanian dapat terkontrol dengan baik. Negara khilafah atau negara islam juga akan mengerahkan pegawai negeri khusus seperti departemen pertanahan untuk mengawasi tanah yang dimiliki rakyat. Direktorat perindustrian untuk menciptakan sarana dan prasarana pertanian berupa alat atau mesin.
Maka, dampak dari strategi ini serta keterikatan antara satu departemen dengan departemen lainnya adalah melimpahnya pangan dan meningkatnya hasil pertanian. Oleh karena itu, impian untuk mewujudkan swasembada pangan bukan lagi sekedar cita-cita melainkan sudah dapat terealisasi seutuhnya. Tentu, impian untuk terwujudnya swasembada pangan hanya dapat terealisasi dengan menggunakan sistem islam dalam bingkai negara (khilafah). Wallahualam bishawab