Tak selamanya Pulau Sumatra bernama Sumatra. Nama ‘Sumatra’ sejatinya tidak diketahui oleh penduduk di pulau itu. Berbagai nama dibubuhkan untuk pulau terbesar keenam di dunia ini oleh para penjelajah asing.
Nama yang dikenal justru adalah Pulau Perca (atau Pritcho dalam dialek Melayu selatan) dan Indalas berdasarkan karya sastra Melayu yang merujuk pada pulau-pulau sekitar semenanjung Malaya.
Namun, orientalis Inggris abad ke-19 yang pernah singgah ke Bencoolen (Bengkulu) William Marsden berpendapat ‘Indalas’ sangat mirip dengan nama ‘Andalusia’—kekuasaan orang Arab di Spanyol di masa kejayaannya.
Dalam The History of Sumatra, dia menemukan penggunaan nama ini sudah marak, bahkan Selat Malaka sebelumnya dikenal sebagai Laut Indalas. Konon, orang Sumatra masa itu yakin Selat Malaka dahulu memiliki jembatan yang dihancurkan oleh Iskandar Agung.
Sementara ‘Perca’, memang berasal dari bahasa Melayu yang berarti potongan atau sobekan. Marsden menulis, penamaan dengan istilah ini adalah sesuatu “yang ganjil karena mengacu pada sebuah kejadian tentang robeknya layar kapal ketika mengelilingi pulau ini untuk pertama kalinya.”
“Namun, ada kemungkinan yang lebih masuk akal yaitu mengacu pada patahan daratan di pesisir timur yang menakjubkan. Memang dapat dilihat di peta, di suatu kawasan yang disebut Selat Rupat, terdapat tempat yang sesuai dengan arti nama yang disebut sebagai Pulau Perca yang berarti pulau yang terpotong-potong.”
Orang Eropa seperti Yunani dan Romawi, pengetahuannya baru memahahami peradaban Timur baru sampai Srilangka. Sumatra pada abad pertengahan justru dinamai sebagai Taprobana, yang mungkin juga mengacu untuk Srilangka. Nama itu lebih dikenal selama abad pertengahan di Barat, padahal Sumatra sudah sejak lama menjadi gerbang menuju Kepulauan Maluku yang terkenal akan rempahnya.
Ahli pelayaran Eropa di masa lalu, menurut Marsden, menyebut Sumatra sebagai Ophir. Penggunaan nama ini tidak dapat dibuktikan karena hanya merujuk pada kisah Alkitab tentang Sulaiman yang mencari daging emas dan gading di daerah khatulistiwa. Meski di Sumatra Barat memiliki gunung tertinggi bernama Ophir (Gunung Talamau), tetapi nama ini sangat asing bagi orang Sumatra itu sendiri.
“Sampai ditemukannya jalur menuju India melalui Tanjung Harapan, identitas pulau Sumatra sering digambarkan atau disinggung oleh para penulis secara tidak jelas, atau disimpulkan hanya berdasarkan yang terjadi saat itu,” terangnya.
Penamaan dengan lokasi yang lebih akurat baru terjadi pada abad kesembilan oleh penjelajah bangsa Arab pertama. Mereka menyebut Ramni sebagai pulau yang terletak di jalur antara Sarandib (Srilangka) dan Sin (Tiongkok), dengan hasil bumi yang sangat cocok pada Sumatra.
Keakuratan itu juga tertuang dalam penyebutan sebagai pulau yang memisahkan Laut Herkend (Samudra Hindia) dan Laut Shelahet—yang Marsden anggap sebagai penyebutan ‘Selat’ untuk Selat Malaka.
Pada abad ke-12, Al-Idrisi, seorang kartografer Andalusia membuat peta untuk Roger II dari Sisilia. Hampir seperti penjelajah Arab lainnya, ia menamakan Sumatra sebagai Al-Rami. Namun dalam petanya memiliki kesalahan dalam penulisan jarak dari Srilangka yang hanya tiga hari berlayar, padahal seharusnya 15 hari.
“Satu abad berikutnya, Marco Polo sebagai penjelajah Eropa pertama ke Asia Tenggara melakukan perjalanan. Dia menyebut Sumatra sebagai Java Minor “sebagai macam analogi yang artinya sudah terlupakan, atau belum mempelajari penduduk aslinya tentang penamaan yang sesuai.”
Meski ada beberapa kekeliruan dalam catatan perjalanannya dan sempat terabaikan, dia memiliki bukti keaslian yang kuat. Yang membuat sukar adalah tidak ada keterangan pasti kapan Marco Polo menyambangi Java Minor itu. Marsden berpendapat kedatangannya ke Sumatra berlangsung pada 1290, berdasarkan perhitungan awal perjalanannya hingga kembalinya ke Venesia pada 1295.
Sebenarnya ia hampir mendekati Sumatra pada 1280 di Champa, ketika kawasan Timur didominasi kekuatan Kubilai Khan. Menurutnya, dari Champa menuju Java Major (Pulau Jawa) adalah 15.000 mil, tetapi keterangan ini bukan didapat dari pengalamannya melainkan sumber lain.
Sementara, terkait Java Minor digambarkan ada enam kerajaan yang berkuasa. Pertama yang disebut sebagai Ferlech atau Perlak, yang berada di ujung timur pantai utara yang beberapa penduduknya sudah beragama Islam. Kerajaan lain dituliskan sebagai Basma atau Basman, yang Marsden perkirakan merujuk pada Pasai karena keselarasan dengan bahasa Portugis yang menyebutnya sebagai Pacem.
Ada juga Samara atau yang diperkirakan sebagai Samarlanga di pantai utara Aceh, dan pernah disambangi Marco Polo selama lima bulan untuk menunggu perubahan musim. Kerajaan berikutnya ada Dragoian atau yang diperkirakan sebagai Indragiri di pantai timur, dan Lambri yang dianggap sebagai asal mula nama ‘Jambi’.
Terakhir, ada pula Fanfur atau Fansur yang diperkirakan adalah Kampar yang menghasilkan kamper berkualitas dan nilainya sebanding dengan emas. Marco Polo menggambarkan penduduknya suka mengonsumsi beras dan mengolah minuman keras dari pohon tertentu.
Sekitar dua puluh tahun dari kepulangan Marco Polo ke Italia, seorang pendeta Odorikus dari Pordenone melakukan penjelajahan ke Timur sejak 1318. Catatannya menceritakan perjalanan 20 hari pelayaran menuju Lamori yang merujuk pada istilah Al-Rami bahasa Arab. Perjalanan selanjutnya menuju ke selatan dan menemukan pulau Jawa.
Penyebutan Sumatra sebagai nama kawasan muncul secara gamblang dalam Al-Rihlah, catatan karya musafir asal Maroko, Ibnu Battutah sekitar 1345. Menurut Hamka melalui buku Sedjarah Islam di Sumatera pada 1950, Ibnu Battutah menulis Sumathara atau Sumathra karena merujuk pada ‘Samudera’ pada nama kesultanan yang berdiri di Aceh sekitar abad ke-13.
Penjelasan lebih detail terkait orang Sumatra dijelaskan oleh pengalaman Nicolo de Conti dari Italia yang melakukan perjalanan ke Asia pada 1449. Sepulangnya, ia menyampaikan pada Paus Eugenius IV tentang Sumatra dengan penjelasan yang lebih detil daripada penjelajah sebelumnya.
Nicolo de Conti menyebut pulau itu Sumatra dengan penjelasan nama terdahulunya sebagai Taprobana. Catatannya menyebutkan tanaman lada, buah durian, dan adat-istiadatnya.
Penyebutan nama Sumatra kemudian makin kuat dalam buku perjalanan Itinerarium Portugallensium yang dicetak di Milan 1508. Kemudian, bangsa Portugis banyak melakukan perjalanan yang menyebutkan Sumatra seperti Odardus Barbosa dari Lisbon.
Sementara rekan Ferdinad Magellan, Antonia Pigafetta, menuturkan perjalanan keliling dunia dari arah Atlantik tembus ke Filipina dan Sumatra. Perjalanan itu melewati Pulau Timor dan sisi selatan Nusantara—laut kidul karena takut ditundukkan kapal-kapal Portugis.
Dia mencatat bahwa Taprobana sempat populer untuk menggambarkan Sumatra. “Nama tersebut juga diketahui dari penduduk lokal pulau tersebut yang berada di atas kapal, yang membantu mereka sebagai penerjemah di berbagai tempat yang mereka kunjungi dan merupakan pengenalan awal terhadap bahasa Melayu,” ungkap Marsden.
Dicopy dari: Nationalgeographic.co.id