Artikel

Moderasi Beragama, Antara Harapan dan Kenyataan

Oleh: Mariani Siregar, M.Pd.I
Dosen Pendidikan Islam

Moderasi beragama terdengar kencang di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sebelumnya, istilah moderasi maupun moderasi beragama tidak dikenal. Karena yang lebih sering muncul adalah istilah multikulturalisme, pluralisme dan toleransi dalam menggambarkan kemodernan beragama (Islam).

Terkait asal munculnya paham moderasi sebenarnya banyak versi. Hanya saja, istilah ini mulai diperkenalkan sejak Menterri Agama Indonesia dipangku oleh Lukman Hakim Saifuddi. Selain itu, moderasi beragama juga menjadi bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2020-2024. Artinya, tahun 2024 yang tinggal menghitung hari adalah akhir RPJMN bagi arus moderasi.

Kemudian, pada tanggal 25 September 2023 tahun lalu, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 58 tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama.

Adapun alasan diaruskannya moderasi beragama karena dianggap perlu untuk menciptakan kehidupan beragama yang rukun, harmoni, damai, dan seimbang. Beberapa pilar moderasi beragama diantaranya adalah, komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekeraan, serta akomodatif terhadap budaya lokal.

Namun yang menjadi pertanyaan adalah, apakah sebelum lahirnya moderasi beragama, praktek beragama umat Islam di Indonesia penuh dengan masalah kekerasan? Lalu, dengan hadirnya moderasi beragama yang sudah di masa ujung RPJMN, telah membuahkan hasil positif kepada peningkatan pemahaman dan pengamalan Islam di Indonsia khususnya kalangan pendidikan Islam? Ataukah malah sebaliknya, malah menjadikan pendidikan Islam tergerus arus lain seperti liberalisme?

Moderasi Antara Harapan dan Kenyataan

Presiden Joko Widodo telah berkomitmen sepanjang masa jabatannya untuk berkomitmen terus mendorong arus moderasi beragama di Indonesia bekerjsama dengan Kemenag tentunya yang dijalankan dalam pendidikan dan juga rumah ibadah.

Komitmen pemerintah dalam penerapan moderasi sungguh kuat. Terlihat dalam beberapa langkah nyata seperti pembuatan buku pedoman dan panduan moderassi beragama (PAUD-PT). Kemudian di tahun 2021 adalah masa pengarusutamaan moderasi di empat provinsi seperti NTB, NTT, Jatim, dan Kaltara. Bahkan, Kakanwilmenag provinsi Kaltara mengakui bahwa penguatan moderasi beragama menjadi salah satu instruksi khusus langsung dari Menteri Yaqut Chalil.

Tidak cukup sampai di sana, komitmen pemerintah juga terlihat dalam pembentukan RAN PE yaitu Perpres Nomor 7 Tahun 2023 tentang pencegahan radikalisme, yang memang dianggap relevan dengan arus moderasi beragama yang bertujuan untuk mencegah kekerasan atau sikap intoleran.

Harapan adanya moderasi beragama sebagai solusi untuk persoalan perbedaan yang ada di Indonesia seperti berada di persimpangan jalan. Karena yang terjadi malah sebaliknya. Umat Islam khususnya kalangan generasi semakin menjauh dari ajaran Islam dan juga pengetahuan Islam amat dangkal. Lalu bagaimana mereka akan memahami ajaran agamanya sebagai benteng pertahanan hidup sesunggguhnya?

Faktanya, banyak pelajar bahkan mahasiswa Muslim di lapangan yang ragu mengakui atau menyebutkan dasar-dasar keyakinannya seperti rukun iman, rukun islam, ihsan, dan juga sekedar tilaha Al-Qur’an juga masih banyak yang tidak mampu. Adakah moderasi beragama diaruskan untuk menyelesaikan kasus-kasus demikian atau malah mendukung? Sebab, narasi intoleran adalah target moderasi beragama. Dengan kata lain, bagi mereka yang dekat atau lekat dengan ajaran Islam, terlebih bicara syariat dicap sebagai kalangan intoleran, ekstrimis, atau radikal. Sehingga moderasi beragama lahir untuk mengantisipasi perilaku-perilaku yang dianggap meresahkan bagi kalangan tertentu.

Moderasi jika merujuk pada defenisi sederhannya dalam KBBI adalah tengah-tengah, tidak keras, atau sederhana. Moderasi juga berasal dari bahsa Inggris yaitu moderation yang memiliki makna sama. Lalu, di mana letak moderasi dalam ajaran Islam?

Maka jawaban yang melahirkan moderasi adalah surat Al-Baqoroh: 143 yaitu istilah washatan/washit
“Demikianlah kami telah menjadikan umat yang wasath (adil), agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan Rasulullah saw menjadi saksi atas perbuatan kalian.” (TQS. Al-Baqoroh: 143)

Kata washatan yang berarti pertengahan diambil sebagai dalil yang pas untuk menyebutkan istilah moderasi. Karena sama-sama di tengah-tengah, atau sederhana. Akan tetapi, penafsiran terhadap kata wasath tidaklah bermakna satu tanpa memiliki makna lain.

Seperti Imam At-Thabari, menyebutkan bahwa wasath bermakna adil. Sehingga hanya orang yang adil yang dapat bersikap seimbang atau bisa disebut dengan orang pilihan. Ulama lain seperti Taqiyuddin an-Nabhani mengatakan bahwa al-wasath berarti menjadi saksi atas manusia, karena keadilan merupakan syarat pokok bersaksi.

Oleh karena itu, kata wasath digunakan oleh Allah karena akan ingin menjadikan umat Islam ebagai saksi atas perbuatan umat lain. Dan posisi saksi seharusnya memang di tengah-tengah agar dapat melihat kedua sisi secara berimbang. Dan kata wasath menjadi indikasi yang menunjukkan jati diri umat Islam sebagai umat yang terbaik.

Oleh karena itu, makna ummatan wasatan jika menggunakan pengertian yang sudah dijelaskan adalah menjadi umat yang berposisi di tengah antara umat lain dari sisi waktu dan keberadaannya. Bukan bermakna di tengah-tengah secara pemikiran. Sebab jika dinyatakan pertengahan dalam pemikiran, atau sederhana, atau tidak berlebih-lebihan, tidak cocok disandingkan dengan sifat-sifat ajaran Islam yang Allah tinggikan.

Melihat moderasi seharusnya tidak memakai kaca mata ajaran Islam, melainkan kaca mata asal katanya, yaitu Barat. Karena istilah moderasi tidak sepadan dengan ajaran Islam atau istilah wasath. Moderasi juga tidak pernah dikenal dalam khazanah kelimuwan Islam. Meskipun beberapa pendapat menyebutkan bahwa moderasi beragama sudah dimulai sejak zaman anu dan anu. Kenyataannya, asal kata dan pemahahaman moderasi berasal dari pemikiran masyarakat Barat.

Bagi masyarakat Barat, agama memang harus moderat. Karena tidak meyakini adanya agama yang sifatnya tinggi apalagi dijadikan landasan berfikir. Sebab bagi Barat yang memiliki trauma masa lalu dengan agama (pada kepemimpinan teokrasi), menganggap ajaran tidak layak diagungkan karena tidak bisa memajukan kehidupan. Sehingga posisi agama tidak bisa di depan.

Sekalipun masyarakat Barat tidak meniadakan mutlak keberadaan agama, akan tetapi tidak juga menerimanya sebagai sesuatu yang mulia dan mampu membawa manusia pada kemajuan. Bagi mereka, harkat dan martabat manusia ditentukan oleh materi. Agama hanyalah simbol kepercayaan individu yang tidak perlu disebarkan apalagi dijadikan peraturan hidup di dunia. Cukup beragama dalam keluarga, rumah ibadah, atau komunitasnya saja. Atau dengan istilah lain adalah sekulerisme.

Realitas pemahaman Barat terhadap agama telah merasuki umat Islam di zaman modern ini. Jika moderasi beragama ditarik lagi ke arah Islam, maka akan lahirlah kaum Muslim yang menggandrungi pemikiran Barat sekuler yang memandang agama tidak lebih menjadi sebuah pilihan semata jika disukai.

Sehingga tidak salah juga jika sebagian ada yang menafsirkan bahwa moderasi beragama hakikatnya adalah perpanjangan tangan dari sekulerisme, seperti halnya liberalisme dan pluralisme. Islam tentu tidak menolak kemajemukan, tetapi tidak menjadikan kemajemukan sebagai dasar hukum atau perbuatan. Kemajemukan adalah realitas yang alami dan murni ciptaan Allah, sehingga aturan Allah-lah yang pas untuk menyelesaikan persoalan kemajemukan.

Allah juga tidak memaksa manusia untuk meyakini ajaran-ajaran Islam. Sehingga tidak semua manusia memeluknya dan kebebasan bagi keyakinan lain bahkan mendapatkan jaminan pelaksanaan langsung dari Allah swt.

Moderasi Seharusnya Dikaji Ulang

Untuk menghindari kekeliruan dalam memahami moderasi beragama, rasanya perlu untuk dikaji ulang kembali. Jika memang moderasi dianggap perlu dan penting, maka sudut pandangnya bukanlah karena menyasar umat Islam dengan istilah-istilah yang disematkan seperti intoleran, esktrem, atau radikal.

Sebab Islam juga tidak menghajatkan pemeluknya untuk bersikap seperti yang dituduhkan. Karena ajaran Islam adalah Islam rahmatan lil’alamin yang sempurna. Bukan radikal, liberal, ekstrim. Karena tidak ada Islam yang demikian.

Oleh karena itu, para pemangku kebijakan haruslah melihat juga dari sisi urgensi moderasi beragama, jangan sampai hanya menjadi sebuah program tetapi tidak tepat sasaran. Sebab arus moderasi sudah diajarkan ke berbagai lembaga maupun instansi. Padahal, moderasi beragama yang cakupannya adalah agama, rasanya cukup dibahas di ranah intelektualitas atau diskusi kalangan Kementerian Agama atau tokoh-tokoh agama. Tidak perlu diaruskan apalagi terkesan dipaksakan.

Umat Islam sudah memiliki ajaran Islam yang sempurna dan juga kaya dengan para intelektual Muslim seperti ulama-ulama terdahulu dan masa kini yang masih menajdikan Islam sebagai agama yang tinggi. Umat Islam tidak butuh pandangan-pandangan Barat untuk memahami dan mengajari cara ber-Islam kaum Muslim. Karena kaum Barat, baik beragama maupun tidak (yang bukan Muslim), tidak sudi menerima jika umat Islam mengajari mereka agamanya atau keyakinannya.

Kebaikan dan kemuliaan umat Islam terletak pada ajaran Islam yang tinggi sesuai yang dicontohkan oleh Nabi Muhammamad saw, sempurna dan pariipurna. Allahu a’alam bissawab.

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.