Catatan : Dahlan Batubara
Program “Mulak Tu Huta” sudah berlangsung sejak tahun 2012.
Suatu program diperuntukkan bagi etnis Mandailing di Malaysia untuk menginjakkan kaki di tanah leluhur : tanah Mandailing.
Etnis Mandailing tersebar di berbagai negara bagian : Perak, Negeri Sembilan, Selangor, Kedah, Kuala Lumpur dan lain-lain.
Migrasi orang Mandailing bermula dari 1800-an dari Sumatera ke Semenanjung.
Pemisahan Sumatera dengan Semenanjung dalam peta jajahan kolonial Inggris dan Belanda menyebabkan dua geografis terpisah secara nasionalisme di kemudian masa.
Semenanjung menjadi negara Malaysia, Sumatera masuk ke dalam wilayah Indonesia.
Meski telah berbeda negara, hubungan darah tak pernah sirna.
Orang Mandailing di Malaysia memiliki saudara di tanah leluhur.
Orang Mandailing di tanah leluhur memiliki saudara di Malaysia.
Tetapi, banyak orang Mandailing di Malaysia tak lagi tahu letak kampung halamannya di tanah leluhur.
Pun, banyak orang Mandailing di tanah leluhur tak tahu letak domisili saudaranya di Malaysia.
Akibatnya, hingga kini saling mencari terus berlangsung.
Sebagian bernasib baik : berhasil bertemu.
Sebagian lainnya masih mencari. Entah sampai kapan.
Ikatan Mandailing Malaysia Indonesia (IMAMI) turut memfasilitasi pencarian itu.
Sampai kini, kantor cabang IMAMI telah berdiri di banyak negara bagian Malaysia.
Organisasi IMAMI ada dua.
Satu di Malaysia. Namanya IMAMI-Malaysia. Presidennya, Dato’ Tamimi Siregar (sutradara tersohor di Malaysia). Setia Usahanya, Ramli Bin Abdul Karim Hasibuan.
Satu lagi di Indonesia. Namanya, IMAMI-Indonesia. Presidennya, Aswin Siregar (wakil bupati Tapanuli Selatan).
Kedua organisasi kembar ini berupaya menguatkan penyelarasan hubungan persaudaraan Mandailing di kedua negara dari sisi budaya, bahasa, sejarah, silaturrahim dan ekonomi.
Suatu upaya penyelarasan dalam apa yang disebut “padomu namarotak, palagut namarsarak”.
Selain upaya menyatukan kembali keterpisahan sejak ratusan tahun silam itu, program Mulak Tu Huta juga menjadi bagian penting.
Mulak Tu Huta sangat urgen dalam menyahuti kerinduan etnis Mandailing terhadap tanah leluhur.
Meski banyak yang belum berhasil mengetahui letak kampung halamannya di tanah moyang, minimal menginjakkan kaki di tanah leluhur sudah merupakan kebahagiaan.
Oleh karena itu, Mulak Tu Huta yang diselenggarakan 2 kali dalam setahun memiliki urgensi yang besar.
Mulak Tu Huta November 2019 diikuti 70 orang kaum Mandailing dari berbagai negara bagian.
Mereka menyatu dalam kebahagiaan hati menelusuri kampung-kampung dan tempat bersejarah di tanah leluhur.
Makan bersama di perkampungan (Hutapuli Kecamatan Siabu dan Hutapungkut Jae Kecamatan Kotanopan).
Menelusuri tempat bersejarah di Portibi Kabupaten Padang Lawas Utara, Bagas Godang di Panyabungan dan Ulupungkut.
Melihat cara bertenun ulos di Sipirok; mangalame di Panyabungan hingga melihat langsung kilang kopi Mandailing di Alahan Kae, Ulupungkut.
Bahkan disambut ahli waris Kesultanan Kota Pinang serta organisai IKLAS di Labuhan Batu Selatan.
Dan juga sambutan Patuan Mandailing di Sopo Godang Hutasiantar, Kotasiantar, Panyabungan dengan tabuhan Gordang Sambilan dan kesempatan Manortor untuk rombongan.
Lebih dari itu, Mulak Tu Huta adalah juga sebagai napak tilas untuk turut merasakan bagaimana pahit getir dan susahnya leluhur masa lalu mendaki hutan belantara, menempuh lembah dan sungai hingga menyeberangi Selat Malaka ketika melakukan migrasi masa 1800-an dari tanah Mandailing menuju Semenanjung.* (Dahlan Batubara adalah jurnalis tinggal di Panyabungan)