JAKARTA – Polri masih mendalami otak pelaku di balik kebakaran hutan di Riau yang mengakibatkan bencana asap. Saat ini, Polri telah menetapkan 24 tersangka dari 17 laporan (LP) yang masuk.
“Polda Riau masih mencari pelaku yang menyuruh melakukan pembakaran. Pendalaman hasil pemeriksaan dilakukan untuk memperkuat penyidikan,” kata Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Ronny F Sompie, saat ditemui seusai acara HUT Bhayangkara di Lapangan Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Senin (1/7).
Menurut Ronny, dari 17 laporan itu, 12 LP tengah dalam sidik dan 5 LP dalam lidik. “Jumlah tersangka ada 24 orang, di mana di Bengkalis ada 6 tersangka, Dumai 2 tersangka, di Rokan Hilir ada 11 tersangka, di Siak ada 3 tersangka, dan di Pelalawan ada 2 tersangka,” jelas Ronny.
Terkait keterlibatan warga negara asing (WNA), Ronny meminta untuk menunggu hasil pemeriksaan. “Nanti kita tunggu kemungkinan adanya keterlibatan WNA. Jadi sangat bergantung dari hasil pemeriksaan,” ujar Ronny.
Sementara itu, menurut Karo Penmas Mabes Polri, Brigjen Pol Boy Rafli Amar, penyidik Polda Riau masih mendalami apakah pembakaran lahan yang dilakukan tersangka itu atas suruhan perusahaan ataukah atas inisiatif para pelaku sendiri. “Kami masih menunggu hasil pemeriksaan dari para tersangka,” ujar Boy.
Sebelumnya, penyidik Polda Riau juga telah memeriksa lima perusahaan yang diduga terlibat dalam pembakaran lahan tersebut.
Jerat Korporasi
Dosen hukum lingkungan Universitas Indonesia (UI), Andri Gunawan Wibisana, menilai Indonesia tidak pernah serius dalam menangani kasus pembakaran hutan yang dilakukan terkait pembukaan lahan baru. Pelaku-pelaku yang ditangkap baru sebatas perorangan tanpa berani menyentuh korporasi yang sebenarnya paling bertanggung jawab.
“Yang diseret hanya kroco-kroconya, paling hanya satu dua yang sampai ke pimpinannya. Padahal kita sudah sangat lama memiliki aturan hukum yang memungkinkan penghukuman sampai pada korporasinya,” kata Andri dalam diskusi bertema “Asap dan Jati Diri Bangsa” di Jakarta, Senin.
Dia juga menyesalkan perkembangan yang terjadi dalam kasus pembakaran hutan di Provinsi Riau beberapa waktu lalu. Fokus yang dibahas adalah terlontarnya permintaan maaf oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Singapura dan Malayasia terkait asap yang dinilai sebagian orang merendahkan harga diri bangsa. Substansi terpenting adalah kenapa terjadi kebakaran berulang dan bagaimana penegakan hukumnya seakan dilupakan dalam perdebatan masyarakat.
“Seharusnya yang dikritik kegagalan pemerintah melakukan pengelolaan lingkungan dengan baik. Bagaimana pemerintah melakukan pendekatan hukum dalam pembakaran hutan,” tandas dia.
Padahal, sambung Andri, pembakaran hutan merupakan persoalan yang sangat serius agar tidak sampai terus berulang. Dia mengatakan pembakaran hutan telah membuat Indonesia menjadi kontributor terbesar ketiga gas rumah kaca di dunia setelah Amerika Serikat dan China. Apabila Amerika dan China melepaskan gas rumah kaca menjadi uang karena terkait energi, sementara Indonesia tidak menjadi apa-apa. “Dan itu juga kriminal,” tegas dia.
Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq, menambahkan 52 persen kebakaran hutan itu memang untuk perluasan lahan baru yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar dari Singapura dan Malaysia. Karena itu, sejak tahun 2009, dalam konvensi perubahan iklim, semua negara, khususnya Indonesia, diminta menguranginya dari efek rumah kaca dan kebakaran hutan itu. (koran-jakarta)