PANYABUNGAN (Mandailing Online) – Di Mandailing Natal (Madina) masih banyak perkebunan yang diduga dengan sengaja melalaikan tanggungjawab membangun plasma untuk masyarakat sekitar sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Itu diungkapkan Ali Mutiara Rangkuty, tokoh masyarakat Pantai Barat Madina yang juga mantan anggota DPRD Madina kepada wartawan,Rabu (22/10/2014) di Panyabungan.
“Terdapat beberapa agenda yang masih jalan ditempat dan perlu mendapat tindak lanjut dan tegas dari pemerintah,” tegas Ali.
”Harus menjadi ingatan bagi pihak perkebunan dan pemerintah daerah, bahwa pembangunan kebun plasma untuk masyarakat pasca diterbitkannya peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 adalah kewajiban,” katanya
Diungkapkan Ali, ada perbedaan mendasar berkaitan dengan pengaturan pembangunan kebun plasma antara Keputusan Menteri Pertanian Nomor 357/Kpts/HK.350/5/2002 dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007. Dalam Keputusan Menteri digunakan terminology ”dalam pengembangan usaha” untuk pelaksanaan kewajiban tersebut.
“Dalam pemahaman ini, maka kewajiban tersebut dapat dipahamai hanya berlaku jika perusahaan melakukan pengembangan usaha, baik itu dalam perluasan lahan atau yang lainnya, namun hal ini berbeda dengan Permentan yang mengatur bahwa perkebunan yang miliki IUP atau IUP – B diatas 25 hektar wajib membangun kebun untuk masyarakat. Jadi sejak dimulai ataupun tanpa adanya pengembangan usaha sekalipun setiap pemegang IUP wajib membangun kebun plasma untuk masyarakat dengan memperhatikan standar minimal dan analisis kebutuhannnya berkaitan dengan jumlah kepala keluarga masyarakat sekitar,” bebernya.
Berkaitan dengan PT.GLP ( Gruti Lestari Pratama ) kata Ali, yang telah beroperasi sebelum terbitnya Permentan tahun 2007 tersebut dan ketidaktersediaan lahan untuk pembangunan kebun plsma sebagai alasan tidak dipenuhinya kewajiban tersebut.
“Walapun IUP PT.GLP telah terbit pada tahun 2002 melalui Keputusan Kadis Perkebunan Madina no.525/288.DISBUN/2002, tapi dalam salah satu pasal pada Permentan tahun 2007 tersebut yakni pasal 42 mengatur bahwa bagi perusahaan perkebunan telah memiliki IUP sebelum diterbitkannya Permentan kendati IUP-nya tetap berlaku namun dalam pelaksanaan usaha perkebunan harus tunduk,” tegasnya.
Berkaitan ketidaktersedian lahan, lanjut Ali, itu hanya alasan yang dibuat-buat oleh pihak perusahaan. Dalam banyak kasus justru beberapa perusahaan mau membagikan lahan inti kepada masyarakat. Dan lebih dari itu untuk sebuah pelaksanaan kewajiban dalam upaya pemenuhan tentunya harus pro aktif.
“Saya tidak melihat PT.GLP proaktif untuk memenuhi kewajibannya baik melalui upaya memohonkan lahan-lahan untuk masyarakat ataupun memulainya dengan mendorong pembentukan koperasi-koperasi masyarakat sebagaimana dilakukan oleh beberapara perusahaan lainnya,” ujarnya.
Peliput : Maradotang Pulungan
Editor : Dahlan Batubara