Oleh: Askolani Nasution
Budayawan
Kalau lembaga pers tidak ada, apakah langit akan runtuh? Ya, kalau itu sebelum era medsos. Sekarang? Siapa peduli. Selama konten berita hanya berorientasi update informasi, semua ada di medsos.
Update-nya bahkan per detik. Akurasinya sudah kita peroleh dengan postingan lain beberapa detik kemudian. Bahkan langsung dari sumber informasi, baik melalui postingan lanjutan maupun dari kolom komentar FB, IG, Twiter, dll.
Semua bisa mengambil alih fungsi jurnalis. Bedanya mereka tidak punya media, tidak punya kartu pers, tidak pernah ikut uji kompetensi, dan postingan mereka tidak diperlakukan sebagai konten pers.
Konten mereka bahkan kadang-kadang melebihi konten pers. Tidak sebatas 5W+1H. Sudah ada unsur problema solving, ada penguatan integritas manusia, ada merangsang kreativitas, dan seterusnya. Mereka tidak peduli komposisi teras berita sampai ekor berita, tetapi tulisannya bisa komprehensif, padu, ajek, dan seterusnya.
Pers seharusnya punya kelebihan, kalau itu digunakan dengan benar. Mereka media resmi, rutin terbit, ada tim advokat, dan dijamin UU Pokok Pers lagi. Enak betul untuk menulis apa saja. Dengan framing yang kita buat sendiri, semua bisa melayukan siapa saja.
Celakanya, fungsi kontrol sosialnya tendensius kadang-kadang. Ketika berhadapan dengan kekuasaan dan korporasi, banyak ewuh-pakewuh, tidak tajam, kalimat ambigu, dan jebakan ketidakprofesionalan lain. Jadinya konten berita hanya sebatas laporan humas, layaknya kantor kominfo.
Konon lagi ada muatan problema solving, penguatan integritas, apalagi rangsangan kreativitas. Apalagi menemukan tulisan yang deep report, feature, kolom, dan sebangsanya. Nyaris tidak ada. Konten media menjadi kering, kehilangan ruh, tidak tajam, dan bahkan “tidak terpercaya”.
Karena itu, sudah jamaknya kalau tiras media melorot tajam. Mereka kehilangan pembaca di tengah zaman yang juga rakyatnya malas membaca. Orang juga lebih suka gambar daripada teks. Padahal gambar tidak akan pernah sekuat teks dalam berkomunikasi.
Tentu, karena media sekarang hanya update tok. Semua pembaca sudah tahu fakta rilnya. Dan kita bukan masyarakat yang mementingkan kliping atau dokumentasi sebagai hal yang penting. Buktinya, lembaga kliping tidak laku lagi. Guru-guru juga tidak tertarik lagi menugaskan peserta didik untuk membuat kliping koran. Jangan-jangan lembaga arsip pun tak punya kliping (lagi).
Lebih tragis lagi media online yang hanya bertujuan menarik iklan. Pokoknya berita sebanyak-banyaknya tayang setiap hari. Kalau bisa agak 50 judul sehari. Tak perlu berat. Berita ringan saja. Kalau bisa macam koran kuning, berita gosip selebriti, kuliner, dst. Sebab, ternyata konten seperti itu lebih cepat menaikkan rating. Bayangkan saja, orang miskin juga ternyata suka berita kuliner mahal. Setidaknya, misalnya, dengan melihat foto semangkuk bakso seharga 200 ribu, selera makan ikan asinya naik. Atau ketika melihat artis tampil seronok, selera bla-blanya juga naik.
Tentu, bagi orang miskin tidak ada yang lebih asyik dari memelihara impian. Apalagi di negara yang hanya mengandalkan mukjizat untuk mengubah hidupnya. Jalur normal sudah imposibel. Semua berharap seperti doa tetua kampung saat mereka menikah, “Mudah-mudahan tarjomak sere hamu nadua”. Impian yang nyaris tak masuk di akal, tapi kita pelihara. Karena pernah bermimpi saja sudah anugrah.
Selamat Hari Kebebasan Pers Sedunia.