JAKARTA, (MO) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta agar Dewan Perwakilan Rakyat bersikap tegas dalam melihat kewenangan institusi yang diketuai Abraham Samad tersebut.
Juru bicara KPK, Johan Budi, mendesak para anggota dewan agar tidak munafik. Pasalnya banyak anggota dewan yang di depan mendukung pemberantasan korupsi, namun di belakang justru menikam.
“Teman-teman mari kita hentikan retorika, mari kita hentikan slogan-slogan mendukung KPK, mendukung pemberantasan korupsi, tapi ada niat untuk memangkas kewenangan KPK, ” ujar Johan Budi kepada wartawan di Jakarta, hari ini.
KPK seperti meradang melihat kelakuan politikus DPR belakangan. Sebab, dari Senayan, kembali berhembus wacana ‘pengebirian’ wewenang KPK dengan melarang melakukan penyadapan dan penindakan.
Menurut Johan, sebagai lembaga yang memerangi tindakan kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime), KPK harusnya diberi dukungan memberantas korupsi. “Jadi sebaiknya kita tidak perlu lagi orang-orang itu ngomong memperkuat KPK, sementara dalam prakteknya itu bertabrakan dengan pernyataan-pernyataan itu,” tegas Johan.
Namun, Johan mengakui selain pemerintah, DPR punya wewenang merevisi Undang-Undang KPK. “Kita hanya pelaksana UU,” jawabnya pasrah.
Johan kembali menegaskan Undang-undang no 30 tahun 2002 yang menjadi acuan KPK memberantas korupsi masih relevan digunakan. “Tapi perlu diberi pemahaman sekali lagi UU No 30. Tahun 2002 itu masih bisa digunakan. Kalau revisi itu bertujuan untuk mengurangi kewenangan KPK, penuntutan diambil, penyadapan diambil, lebih baik bubarkan saja KPK,” pungkasnya.
Kalangan politisi sendiri menilai, niat DPR merivisi Undang-Undang Pemberantasan Korupsi sepertinya kian bulat. Draf revisi sekarang sudah masuk ke Badan Legislasi (Baleg) DPR setelah digodok oleh Komisi III. Bisa jadi langkah ini adalah tahapan memperlemah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Anggota DPR dari Gerindra, Martin Hutabarat, menyatakan kekhawatirannya dengan rencana revisi ini. Menurutnya, kalau UU KPK dibongkar buntutnya berpotensi memperlemah KPK. Ada dua poin krusial yang akan diperlemah, yakni soal wewenang penyadapan KPK dan penuntutan.
“Karena kalau menurut draf revisi, penyadapan KPK harus minta izin kepada Pengadilan Negeri. Di UU KPK sebelumnya, tidak ada aturan ini, KPK bebas menyadap,” kata anggota Komisi III dari Fraksi Gerindra Martin Hutabarat, di Jakarta.
Kalau tindakan penyadapan harus minta izin dulu ke Pengadilan, lanjutnya, dikhawatirkan rencana penyadapan akan bocor ke mana-mana. Jadi, belum sempat menyadap, koruptornya bisa-bisa jaga-jaga menutup semua akses, karena sudah tahu akan disadap. Untuk soal penuntutan, nantinya dilakukan oleh institusi Kejaksaan, lepas dari KPK.
“Jadi, kesannya justru akan memperlemah KPK. Kondisi ini semakin membuat pemberantasan korupsi tumpul,” katanya. “Kalau itu akhirnya memperlemah KPK mestinya tidak dilakukan.”
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR membenarkan bahwa draf RUU itu sekarang sudah masuk dan sedang dilakukan harmonisasi. “Kami masih akan cek isinya apakah sesuai dengan aturan lain dan kesesuaiannya dengan konstitusi dan UU lain,” kata Mardani, dari FPKS, kemarin.
Meski draf revisi UU KPK sudah masuk Baleg, belum tentu itu final. Prosedurnya, Baleg masih dapat memberikan masukan kepada Komisi III terkait draf revisi itu. Apabila ada materi dalam draf yang tidak disetujui, maka draf itu dikembalikan kepada Komisi III DPR.
“Setelah resmi menjadi RUU inisiatif DPR, selanjutnya draf akan dibawa lagi ke Komisi III untuk dibahas bersama pemerintah,” katanya.(dat06/inilah/kompas/poskotanews)