Oleh: Mashih Nashrullah
Perbedaan terletak pada penyikapan hadis.
Permasalahan ini memang terbilang klasik. Deretan kitab fikih generasi salaf pun telah banyak mengupas tema ini sesuai dengan corak mazhab masing-masing.
Namun, membahas topik ini selalu memantik perhatian. Selain karena fenomena ini terus berulang di masyarakat, isu ini tak jarang terhembus ke permukaan dan menjadi bahan saling klaim sekaligus menyalahkan satu sama lain.
Ahkam al-Maqabir fi as-Syari’ah al-Islamiyyah, sebuah studi berbasis kajian fikih komparatif yang ditulis oleh dosen Fakultas Syariah dan Perbandingan Agama Universitas Qashim Arab Saudi, Prof Abdullah bin Umar bin Muhammad as-Sahibani, adalah salah satu upaya termutakhir yang mencoba menguraikan masalah ini. Ia berkesimpulan, pendapat ulama tak sama menyikapi persoalan ini.
Mazhab Hanafi berpandangan, makruh membangun makam, bahkan bisa naik haram bila motif pembangunannya sekadar untuk mempercantik.
Salah satu riwayat dalam mazhab ini menyatakan, sedangkan jika makam tersebut merupakan makam para ulama, hukumnya makruh.
Ini dengan catatan, tanah pemakaman tersebut bukan termasuk tanah wakaf yang peruntukkannya untuk umum. Jika status tanah makam adalah wakaf maka haram hukumnya.
Sedangkan, dalam pandangan Mazhab Maliki, pembangunan makam tersebut mesti dilihat dari skalanya, besar atau kecil.
Jika dibangun sederhana dan skalanya kecil seperti memberikan dinding sederhana pada pusaran makam sebagai identitas maka para ulama mazhab yang berafiliasi pada Imam Malik bin Anas ini sepakat hukumnya boleh. Contoh kasus, seperti makam-makam para wali.
Jika pembangunan makam itu berskala besar maka ada dua ketentuan, yaitu bila tujuannya mengumbar kebanggaan dan kesombongan, sepakat hukumnya haram.
Bila tidak disertai dengan motif itu, masih menurut mazhab yang tumbuh dan berkembang di Tanah Hijaz ini, ada yang memperbolehkan dan ada pula yang melarangnya.
Akan tetapi, satu catatan mendasar dari Mazhab Maliki, yakni syarat penting bolehnya membangun makam itu ialah jika status tanah tempat makam berada adalah milik pribadi atau sekalipun milik orang lain, tetapi telah mengantongi izin dan selama pembanguan itu tidak merugikan pihak lain.
Maka, jika ternyata status tanah tempat makam itu berada merupakan wakaf atau pemakaman umum, segenap ulama Mazhab Maliki berpendapat hukumnya haram.
Ketentunan ini berlaku untuk semua kalangan tak pandang bulu, entah ulama, tokoh masyarakat, atau elite penguasa sekalipun.
Sebagian bahkan menfatwakan agar makam yang dibangun di atas tanah wakaf atau makam umum agar diratakan dengan tanah seperti makam yang ada.
Pendapat yang nyaris sama disampaikan pula oleh Mazhab Syafi’i. Mazhab yang merujuk pada metode ijtihad Imam Syafi’i ini membedakan mengklasifikasikan kasus ini dalam dua ketegori utama, yakni makam itu berdiri di atas tanah wakaf dan makam yang berada di tanah pribadi.
Untuk kategori pertama, mereka sepakat hukumnya haram dan harus dirobohkan agar serupa dengan makam lainnya. Imam Syafi’i menceritakan di magnum opus-nya, al-Umm, bahwa dirinya pernah melihat pejabat di Makkah merobohkan makam yang dipoles apik dan tak satu pun ahli fikih yang memprotes tindakan itu.
Lalu, bila status tanah makam adalah miliki pribadi, terserah saja hendak dibangun seperti apa makam tersebut. Tetapi, tetap ada kemakruhan di sana.
Sementara itu, Mazhab Hanbali menilai, hukum pembangunan makam ialah makruh. Entah bangunan itu memakan jengkal tanah atau sekadar aksesori di atas pusaran makam. Ini adalah riwayat yang paling sahih dalam mazhab yang berafilisasi pada Ahmad bin Hanbal ini.
Sebagian ulama Mazhab Hanbali berpandangan, boleh bila dibangun di atas tanah pribadi, termasuk membuat kubah. Tetapi, sebagian yang lain membuat kubah hukumnya makruh.
Salah satu riwayat Imam Ahmad melarang jika dibangun di atas tanah wakaf. Ibn al-Jauzi bahkan menegaskan, haram menggali liang lahat di pemakaman umum, sebelum ada kebutuhan.
Secara terpisah, Komisi Fatwa Lembaga Wakaf Uni Emirat Arab menjelaskan, duduk permasalahannya ialah cara pendang terhadap larangan Rasulullah SAW terhadap pembangunan makam.
Antara lain, seperti tersebut pada hadis yang diriwayatkan Muslim dari Jabir bin Abdullah. Rasul, dalam hadis itu, melarang menembok dan membangun makam.
Lembaga ini menyatakan para ulama sepakat hukum membangun makam seseorang yang berdiri di atas tanah wakaf atau pemakaman umum tidak boleh.
Ini lantaran pembangunan akan berdampak pada penyempitan lahan dan merugikan publik. Bila tanah tersebut milik pribadi maka secara umum hukumnya boleh, minimal makruh.
Selama tidak dimaksudkan untuk bermegah-megahan dan unjuk kemewahan. Pendapat ini pun diamini oleh lembaga fatwa Mesir, Dar al-Ifta.
Sementera itu, Komisi Tetap Kajian dan Fatwa Arab Saudi menyatakan, pembangunan makam tidak boleh. Ini merujuk pada hadis-hadis larangan pembangunan masjid, salah satunya riwayat Muslim di Anas.
Bahkan, dalam riwayat Bukhari disebutkan, Rasul menyatakan Allah SWT mengecam kaum Yahudi dan Nasrani. Mereka membangun makam para wali dan mendirikan lokasi sembahyang di sekitar makam.
RT @mandailing_on: Kabar Terbaru: Oleh: Mashih Nashrullah
Perbedaan terletak pada penyikapan hadis.
Permasalahan … http://t.co/9s9BGlxF…
@mandailing_on @InfoTapsel salam kenal. folback. n promosikan.