Entitas dan Kontekstualitas Sejarah
Oleh : Askolani Nasution
Budayawan/Sutradara
Sebelum masuknya kolonialisme, pemerintahan desa (harajaon) memiliki sumber penghasilan yang otonom. Raja memiliki lahan persawahan (Saba Bolak) yang sepanjang musim bisa memenuhi kebutuhan pangan kerajaan. Lahan tersebut dipinjamkan kepada penduduk dengan sistem bagi hasil. Bagi hasil persawahan tersebut disimpan dalam gudang (opuk bolon) yang banyaknya cukup untuk kebutuhan pangan harajaon dan tamu-tamu, bahkan dalam musim paceklik dapat digunakan untuk membantu rakyat yang kekurangan pangan.
Adanya stok pangan tersebut dan hubungan bagi hasil yang baik dengan petani penggarap, membuat raja sebagai kepala pemerintahan desa dipatuhi otoritasnya. Pemerintahan yang memiliki otoritas menjadi prasyarat kepatuhan komunual atas berbagai peraturan yang berlaku dalam pemerintahan huta. Selain itu, sekalipun menjadi pusat kekuasaan, raja tidak pernah berlaku mutlak tanpa melibatkan pandangan hukum dari kabinet pemerintahannya (namora-natoras).
Seorang pelanggar hukum misalnya, disidang secara terbuka di Sopo Godang (Balai Sidang Adat). Persidangan itu disaksikan halayak ramai dalam ruangan yang tidak berdinding. Karena itu azas kepatutan dan keadilan selalu menjadi pendekatan utama. Tidak ada hukuman atas dasar kebencian, karena rakyat (halak na jaji) bukan pihak yang setara dengan keluarga bangsawan harajaon. Selain itu, hukum tradisional Mandailing juga tidak mengenal azas pernyataan kebencian sebagaimana dalam hukum modern.
Hukuman terberat bagi pelanggar hukum hanya diusir dari huta. Pengusiran itu diniatkan agar terpidana memiliki kesempatan untuk memperbaiki hidupnya. Jika yang bersangkutan dapat memperbaiki hidupnya di pengasingan (pandaraman), ia dapat pulang kembali dengan memberikan oleh-oleh kain bagi para tetua yang dulu memutuskan perkaranya. Kasusnya selesai karena dianggap sudah menjalani hukuman. Jadi batas hukuman hanya sampai terdakwa bisa memperbaiki hidupnya kembali.
* * *
Hukum mengatur terjaminnya hubungan yang harmonis individu dengan individu lain dalam masyarakat. Hukum juga menjamin terpenuhinya hak dan kewajiban setiap penduduk. Hukum ada yang tertulis dan ada yang tidak tertulis. Sumber hukum Mandailing melakat pada Surat tumbaga holing, aturan yang tidak pernah tertulis, tetapi harus dapat dibaca roha (hati).
Hukum dalam adat Mandailing dijabarkan dalam konsep patik, uhum, ugari, dan hapantunon. Patik merupakan sumber hukum tertinggi, seperti UUD dalam konteks bernegara. Patik mengacu kepada satu konsep nilai-nilai luhur dalam masyarakat adat Mandailing, yakni holong dohot domu.
Holong mengacu kepada konsep saling menyayangi, baik secara vertikal (raja dengan rakyat) maupun horisontal (sesama rakyat). Dengan konsep ini setiap orang dituntut untuk memperlihatkan rasa kasih-sayangnya kepada orang lain yang implementasinya dalam bentuk marsihaholongan, sa anak sa boru, ulang majais, dan lain-lain.
Domu mengacu kepada konsep kebersamaan, tidak ada yang mengutamakan diri dan kelompoknya dan selalu mengupayakan kebaikan bersama. Setiap orang merupakan bagian dari nasib bersama yang harus dipelihara dan disantuni. Dalam konsep ini misalnya timbul budaya marsialap ari, manyaraya dan martoktok. Konsep domu tersebut juga tampak dalam ungkapan kerukunan dalam lingkup jenjang na sabagas, na sahudon, na sakahanggi. Dalam kelompok-kelompok kekerabatan itu, semua persoalan menjadi kesepakatan bersama. Kesepakatan itu juga dikuatkan dengan melibatkan mora dan anak boru. Karena itu, ketika suatu keputusan diambil, maka setiap orang harus mengikatkan dirinya dalam ikatan kebersamaan itu. Ketidakpatuhan atas keputusan bersama, dianggap sebagai orang yang membahayakan konsep domu, karena itu akan diperlakukan sebagai musuh bersama. Dan hukuman terberat bagi masyarakat adat Mandailing adalah dikucilkan, dijauhkan dari kebersamaan.
Uhum adalah aturan pelaksanaan dari Patik. Uhum menyangkut berbagai aturan teknis dan prosesi. Misalnya aturan tentang horja (pesta pernikahan), patabalkon goar (penobatan gelar kebangsawanan), dan lain-lain. Pelanggaran terhadap uhum diberi sanksi yang tegas, misalnya membayar denda, dikeluarkan dari ikatan kebersamaan (kahanggi), dan lain-lain.
Ugari adalah aturan tambahan yang disepakati bersama atas aturan yang belum ditentukan dalam patik dan uhum. Misalnya, aturan tentang perkawinan semarga yang timbul karena perubahan nilai-nilai. Di masa lalu misalnya, perkawinan semarga dianggap sebagai pelanggaran adat, karena itu diberikan sanksi yang berat. Tapi karena perubahan nilai-nilai, pelanggaran itu mulai ditolerir sebagai hal yang biasa.
Hapantonon mengacu kepada tata cara berbicara dan sopan santun. Aturan berbicara menyangkut partuturon (sapaan), pilihan kata karena perbedaan usia dan kelas sosial, nada bicara, dan lain-lain. Misalnya berbicara kepada mora, berbicara kepada ompung bayo, atau orang yang kita anggap tidak patut berbicara terbuka. Orang yang mengabaikan tuntutan hapantunon tersebut akan disebut orang yang tidak beradat. Orang yang tidak beradat tidak ada sanksinya, tetapi hanya diperlakukan sebagai orang yang anti-sosial. Orang yang anti-sosial biasanya akan disisihkan dalam pemilihan jodoh dan berbagai kegiatan sosial masyarakat.
Selain itu, raja dalam konteks Mandailing, tidak memiliki kekuasaan absolut atas hukum dan perundang-undangan. Badan legislatif yang berperan membuat undang-undang atau uhum dalam pemerintahan Mandailing, bukan melekat pada personal raja semata, tetapi pada lembaga namora-natoras. Pembuatan peraturan dan pengawasannya diputuskan secara bersama-sama dalam sidang adat, bukan pada otoritas raja saja sebagaimana di Jawa. Termasuk dalam memberikan sanksi kepada orang yang dianggap melanggar adat. Penetapan putusan adat tersebut dinyatakan dalam ungkapan: … muda tartiop opat na, ni paspas naraco holing, ni ungkap buntil ni adat, ni suat dokdok ni hasalaan, ni dabu utang dohot baris …