Oleh : Roy Samsuri Lubis
Manusia mati meninggalkan nama, merupakan adagium yang paling tepat menggambarkan eksistensi Sutan Ibrahim di bumi Nusantara. Pria yang punya nama kebangsaan Datuk Sutan Malaka ini cukup populer di kalangan masyarakat Indonesia, mulai dari era kolonial, awal kemerdekaan bahkan sampai saat ini. Bahkan saking populernya, pernah satu masa ia dianggap satu-satunya yang layak menjadi pemimpin tertinggi bangsa ini, entah itu presiden entah perdana menteri.
Salah satu ungkapan populer dari tokoh yang akrab disapa Tan Malaka ini adalah “Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk”. Ini merupakan pemakaian istilah untuk menggambarkan bagaimana Tan Malaka terbentuk menjadi seorang revolusioner. Ia, sama seperti tokoh-tokoh perubahan lainnya mengalami benturan. Benturan itu membuat level kenikmatan dan ekspektasi turun dari asalnya. Benturan-benturan itu menyebabkan mati rasa, tidak hanya sakit tetapi juga kesenangan.
Ibaratnya kita sedang berpuasa. Puasa adalah benturan dari kebiasaan kita untuk makan dan minum kapan saja, tapi nyatanya saat puasa kita harus terbentur dengan lapar dan dahaga sehingga air putih di awal senja menjadi barang yang sangat istimewa. Padahal setiap harinya air putih tidak pernah seistimewa itu.
Umumnya benturan itu menyebabkan kita lebih kuat dan tumbuh menjadi manusia dengan mental yang jauh lebih terasah, kebijksanaan yang seakan tak bertepi dan terbentuk menjadi manusia yang lebih baik. Namun, belakangan ini adagium itu terpatahkan di tengah corong demokrasi sedang bergema lantang sembari menjual janji-janji politisi. Politik, ilmu siasat yang digandrungi segala lapisan masyarakat ini menjadi antitesis dari adagium itu.
Palagan politik yang dijewantahkan melalui pemilu menjadi ujung tombak rusaknya kalimat populer dari Tan Malaka tersebut. Pemilu yang semestinya bisa membentuk masyarakat yang lebih dewasa menyikapi hiruk pikuk politik serta menumbuhkembangkan wawasan berdemokrasi justru menjadi benturan yang merusak organ vital manusia, otak. Kewarasan menjadi barang mahal nan langka.
Itu pula yang terlihat belakangan ini di tengah-tengah masyarakat Mandailing Natal menyambut pilkada yang akan diselenggarakan Desember mendatang. Narasi-narasi yang sering berbenturan di ruang publik ternyata tidak mampu memunculkan personal yang terbentuk dari sisi kecakapan, kebijakan dan kedewasaan berdemokrasi.
Terlebih jika ditinjau dari sisi media sosial. Meski media sosial tidak menjanjikan kemenangan pada pilkada, tapi kemudahan akses menedekati konstituen tak bisa dipandang enteng dalam menimbulkan opini publik. Hal ini pula yang dilihat oleh pendukung atau tim pemenangan sebagai ruang yang harus dieksplorasi sebaik mungkin untuk menimbulkan argumen final tentang calon yang diusung maupun lawan politik. Opini yang terbentuk hanya satu tujuan, menonjolkan calon dukungan dengan cara apa pun, termasuk cara-cara picik dan licik.
Tak mengherankan jika kemudian adu argumen yang awalnya bagus untuk diskusi justru tak jarang berakhir dengan umpatan. Saling umpat dan saling caci menjadi pemandangan yang akrab di lini masa media sosial. Bahkan keseringannya muncul mengalahkan anjuran dokter untuk minum obat.
Kemenangan politik seperti harga mati sehingga cara-cara yang elegan kerap ditinggalkan dan mengedapankan cara-cara culas. Bahkan perbedaan pilihan seperti menjadi sebuah tabu. Akibatnya, masyarakat yang tidak punya ‘kepentingan urgen’ selayaknya tim pemenangan atau simpatisan barisan depan harus terbentur satu sama lain. Mereka yang kehidupannya sebatas cari pagi untuk dimakan malam harus disibukkan dengan opini-opini yang dimunculkan oleh mereka kaum terdidik dan terpelajar yang duduk di samping calon-calon penguasa.
Opini publik yang dibentuk oleh masing-masing kubu politik berhasil masuk ke dalam gang-gang kecil di desa-desa yang ada di Mandailing Natal ini dan memecah persaudaraan yang selama ini terjalin dengan baik. Padahal dalam politik ada semacam preambule “Yang abadi hanya kepentingan. Hari ini lawan esok lusa kawan”.
Kalimat sakti itu pula yang akhirnya mengantarkan Pak Prabowo duduk di kursi Menteri Pertahanan setelah terlebih dahulu berjanji timbul tenggelam bersama rakyat. Prabowo timbul sebagai Menteri Pertahanan sementara rakyat tenggelam dalam kekecewaan. Itu belum termasuk kebencian kepada tetangga yang saban waktu mengantar rendang daging ke rumah belum reda semata karena pilihan politik.
Artinya, untuk para politisi yang utama adalah ‘kepentingan’ meski mengabaikan perasaan dan benturan yang terjadi di masyarakat. Konstituen tetap dirundung kekecewaan dan penyesalan sementara para politisi yang akhirnya menang atau kalah justru saling tertawa sambil sesekali minuh teh berharga ratusan ribu. Benturan-benturan yang terjadi di masyarakat justru bak bola salju yang menggelinding semakin jauh dan semakin besar.
Pemilu yang telah dilewati dalam beberapa tahun ke belakang adalah benturan yang seharusnya membentuk publik yang dewasa baik secara politik maupun demokrasi. Namun, yang terjadi justru terbentur, terbentur, terbentur, remuk.
Pilkada kali ini harus bisa membentuk masyarakat yang lebih baik dari segi kedewasaan berpolitik dan berdemokrasi. Setiap orang-orang yang punya ‘kepentingan’ harus berani meredam ego dan tendensius. Toh, pada akhirnya orang akan lebih mudah diajak dengan bahasa yang santun. Pilihan memenangkan hati masyarakat tersedia dalam banyak bentuk, baik dan buruk. Bijak rasanya jika tim pemenangan dan simpatisan memilih cara yang baik. Terlalu riskan kehangatan ruang publik warga Mandailing Natal harus tercederai oleh mereka yang berebut kursi kekuasaan.***