Panyabungan. Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal (Pemkab Madina) harus memfasilitasi pertemuan masyarakat Suka Makmur dengan PT ALAM, untuk membicarakan persoalan yang terjadi menyangkut konflik lahan antar kedua belah pihak.
“Kita memahami, pasti ada pengorbanan dalam setiap insiden. Namun pro justitia serta kepastian dan kesamaan hak di depan hukum harus tetap dikedepankan. Karena hanya dengan demikian, kita dapat melindungi hak masyarakat dan menjaga kondusivitas iklim investasi di daerah,” kata Ketua Fraksi Perjuangan Reformasi DPRD Madina, Ali Napiah SH, kepada MedanBisnis, Senin (2/1) di ruang kerjanya.
Dikatakan Ali yang juga menjadi salah satu anggota tim identifikasi masalah antara masyarakat Desa Suka Makmur dengan PT ALAM, secara resmi sikap tim akan disampaikan pada rapat paripurna DPRD mendatang.
“Namun sebagai individu dan anggota DPRD yang berasal dari daerah bersangkutan, tentu saya juga memiliki persepsi tentang hal ini,” ujarnya.
Ali menilai, persoalan ini lebih banyak disebabkan lemahnya sosialisasi terkait berbagai hal di bidang pertanahan, khususnya menyangkut persoalan hak-hak masyarakat terhadap tanah, maupun pra dan pascapemberian izin lokasi.
Insiden pembakaran camp dan alat berat perusahaan adalah hilir dari kelemahan-kelemahan tersebut. “Kita sadari bahwa masyarakat memiliki pengetahuan yang lemah mengenai bagaimana dan kapan sebidang tanah dapat diakui sebagai hak, bagaimana hak dan kewajiban perusahaan pemegang izin lokasi, bagaimana dengan batas-batas izin lokasi yang terbit tersebut. Inilah sebenarnya yang harus dituntaskan lebih dahulu oleh pihak pemerintah, pada setiap kali menerbitkan izin lokasi. Dan ini pula yang tidak dilakukan secara efektif oleh pemerintah terdahulu,” papar Ali.
Lebih lanjut dikatakan Ali, di satu sisi, masyarakat harus diberi pemahaman yang utuh tentang penguasaan tanah yang dapat dikatakan sebagai hak. Tentunya ini tidak sesederhana, hanya karena telah memiliki izin garap dari kepala desa dan atau menanami sebagian atau keseluruhan tanah tersebut.
Di sisi lain, pemerintah juga harus menjalankan secara keseluruhan norma standar dan mekanisme ketatalaksanaan kewenangan pemerintah di bidang pertanahan, sebagaimana diatur dalam Permen Agraria/Kepala BPN No 2 Tahun 2003, yaitu melakukan rapat koordinasi yang melibatkan instansi terkait dan peran masyarakat, untuk memperhatikan kemampuan permohonan berkaitan dengan luas tanah yang dimohonkan yang ditinjau dari permodalan, tenaga ahli, manajemen dan lain-lain.
Kemudian, batas luas maksimum tanah yang akan dimohonkan izin lokasi sesuai Permen Agraria/Kepala BPN No 2/1999, pencegahan konversi sawah irigasi teknis, kawasan-kawasan yang dilindungi seperti hutan lindung, situs budaya dan lain-lain, dan ketersediaan tanah dan kepentingan hidup masyarakat setempat dan sekitarnya.
“Nah, perhatian untuk poin terakhir inilah yang kadang sering terabaikan oleh pemerintah terdahulu, sehingga kerap pula mengorbankan masyarakat maupun perusahaan yang diberi izin. Dan ini saya rasa tidak hanya terjadi di Mandailing Natal,” kata Ali.
Namun, untuk tidak terus menerus menyesali kelalaian pemerintah, khusus dalam kasus masyarakat Suka Makmur dan PT ALAM, pemerintah harus dapat memfasilitasi kembali pertemuan antar kedua pihak untuk mendudukkan hukum serta ketentuan-ketentuan pertanahan pada tempatnya.
“Masyarakat harus diberi pemahaman tentang batasan-batasan tuntutannya dalam kaitannya dengan kedudukan hukum tanah yang diklaim masyarakat, dan perusahaan juga harus memahami kewajibannya, untuk mengganti kerugian yang mungkin muncul di masyarakat jika terdapat tanaman garapan masyarakat yang rusak dan atau berada di areal izin lokasi, dengan memperhatikan dan membandingkan usia tanaman dengan waktu terbitnya izin lokasi,” paparnya lagi.
Tangkap dan Adili
Tentang kemungkinan adanya provokasi dalam sengketa ini, Ali menanggapi, bahwa itu sangat patut diduga sebagai bagian yang terencana dan sistemik dari pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan ketidaktahuan dan kekhawatiran masyarakat.
“Kita tidak menutup mata bahwa memang ada beberapa batang tegakan pohon yang telah ditumbangkan perusahaan di dalam areal yang dipermasalahkan. Namun dari sekian banyak fakta yang kita temui di lapangan, justru kebanyakan belum ada disentuh oleh perusahaan, namun masyarakat mengkhawatirkan akan ikut ditumbangkan, hanya karena alat berat perusahaan telah bekerja di dekat lahan garapannya. Dan memang kekhawatiran inilah yang kembali ditegaskan M Yusuf, salah seorang masyarakat dalam pertemuan dengan tim,” ungkap Ali.
Di samping itu, kata Ali, pihaknya juga menemukan sebidang lahan seluas 60 hektar yang diklaim milik seorang pimpinan NGO (LSM) tertentu beserta sembilan kepala keluarga lainnya, yang di dalamnya ditemukan sekitar 15.000 batang bibit. Menurut informasi, lahan itu dibeli dari Kepala Desa Suka Makmur.
“Nah, ini kan tentu mengundang banyak pertanyaan. Baik terhadap rasio luas lahan yang mereka klaim dan jumlah bibit yang ada, maupun proses jual beli lahan negara oleh kepala desa. Dan inilah yang belum didapat jawabannya, karena beberapa oknum yang terkait dengan lahan ini masih status DPO. Dan kenapa oknum-oknum ini terkesan melarikan diri, juga tentunya menimbulkan kecurigaan yang kuat tentang adanya kemungkinan kepentingan tertentu yang diselipkan dalam kekhawatiran masyarakat,” katanya lagi.
Atas dasar ini pula, dia berharap agar kepolisian secepatnya menangkap oknum-oknum yang berkaitan dengan insiden sengketa tersebut untuk kemudian diadili.
“Saya sebagai masyarakat maupun anggota DPRD tentu berusaha sekuat mungkin untuk dapat memahami dan merasakan berbagai kepentingan masyarakat. Namun demikian, bagaimana memformulasikan secara seimbang antara kepentingan masyarakat dan kenyamanan berinvestasi di daerah, tentunya juga merupakan tanggung jawab kami sebagai bagian dari unsur penyelenggara pemerintahan di daerah,” pungkas Ali.(zamharirrangkuti.medanbisnis)