Artikel

Angka Kemiskinan Semakin Tinggi, Bagaimana Solusinya?

Oleh: Intan Marfuah
Aktivis Muslimah

Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, mencatat, angka kemiskinan ekstrem di Bumi Daya Taka per 2024 sudah berada pada 0,2 persen. Dari 10 Kecamatan, 4 di antaranya berada pada angka 0 persen atau bebas dari kemiskinan ekstrem.

Kepala Dinsos Kabupaten Paser, Hasanuddin menyatakan, kemiskinan ekstrem merupakan ketidakmampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar yaitu makanan, air bersih, sanitasi, kesehatan, hunian, pendidikan dan informasi terhadap pendapatan dan layanan sosial.

“Kabupaten Paser per September 2024 itu sudah 0,2 persen. Untuk Kecamatan Tanah Grogot kemiskinan ekstrem jumlahnya nol. Itu yang perlu dicatat,” kata Hasanuddin, saat ditemui, Selasa (12/11/2024).

Hanasanuddin menyebut, 4 Kecamatan di Kabupaten Paser sudah terbebas dari kemiskinan ekstrem. Yakni, Kecamatan Tanah Grogot, Kecamatan Long Kali, Kecamatan Batu Engau dan Kecamatan Kuaro.

Sementara untuk 6 Kecamatan lainnya, seperti Kecamatan Long Ikis, Kecamatan Muara Komam, Kecamatan Batu Sopang, Kecamatan Muara Samu, Kecamatan Paser Belengkong dan Kecamatan Tanjung Harapan, totalnya 612 jiwa atau 204 Kepala Keluarga (KK).(Mediakaltim.com,12 November 2024)

Dalam cara pandang kapitalisme, relasi antara pemerintah dan rakyat ibarat pedagang dan pembeli. Sistem ekonomi kapitalisme juga meniscayakan struktur/mekanisme harga sebagai indikator utama pendorong laju produksi sekaligus penentu distribusi barang dan jasa.

Konsumen (rakyat) dianggap bisa membeli suatu barang tertentu dan tidak bisa membeli barang yang lain. Rakyat yang pendapatannya banyak bisa membeli lebih banyak barang dibandingkan yang pendapatannya sedikit. Oleh karenanya, ekonomi dalam pandangan kapitalisme lebih banyak dibangun berdasarkan produksi kekayaan/pendapatan daripada produksi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Konsep ini tentu saja bertentangan dengan realitas. Buktinya, berbagai bantuan dana yang pemerintah luncurkan tidak ubahnya kepulan asap yang segera lenyap akibat inflasi yang menggila dan daya beli masyarakat yang turun. Bagaimana mereka hendak berpikir soal pemenuhan gizi keluarga? Bisa makan saja sudah bagus.

Dengan kata lain, problematik kemiskinan yang sesungguhnya sedang terjadi adalah kemiskinan individu, dan kemiskinan ini sistemis. Jadi, problematik dalam sistem ekonomi kapitalisme sejatinya terletak pada distribusi harta dan jasa kepada tiap-tiap individu, terutama yang ditujukan untuk memenuhi berbagai kebutuhan primer (sandang, pangan, dan papan) secara menyeluruh.

Ketika kebutuhan primer tidak terpenuhi, pasti menimbulkan masalah. Pada titik ini, solusi asasi yang diperlukan adalah adanya sistem ekonomi yang mampu menjawab pemenuhan kebutuhan primer setiap orang. Dengan terpecahkannya masalah kemiskinan individual dan terdistribusikannya harta/kekayaan secara merata, problematik sistemis kemiskinan juga akan terselesaikan.

Ketimpangan ekonomi tersebut menunjukkan bahwa orang-orang miskin di dunia bisa kita kategorikan sebagai korban kemiskinan struktural. Menurut Selo Soemardjan (1980), kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu sehingga mereka tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia untuk mereka.

Kemiskinan struktural terjadi karena baik orang-orang terkaya di dunia maupun negara-negara yang mengalami kemiskinan ekstrem hidup dalam naungan sistem yang sama, yakni kapitalisme. Namun, buruknya distribusi kekayaan maupun konsep pengelolaan dan pengembangan harta membuat orang-orang yang menjadi penduduk di negara yang sama bisa mengalami jurang kesenjangan ekonomi yang sangat lebar. Lihat saja Mukesh Ambani, orang terkaya di Asia dari India. Ini tentu sangat timpang dengan status negaranya yang mengalami kemiskinan ekstrem tertinggi di dunia.

Sayang, tekanan ekonomi yang melanda sebagian besar masyarakat dunia belum mampu membuat mereka memutus hubungan dan kepercayaan terhadap sistem yang menaungi mereka selama ini, yakni kapitalisme. Mereka masih berpikir pragmatis, yakni sekadar tataran teknis dan individualis dalam menyelesaikan problematik kemiskinan.

Semua realitas kelam ini semestinya membuat masyarakat bangkit dan melakukan perubahan sistemis, jangan hanya sebatas solusi pragmatis. Akar masalah dari seluruh permasalahan sistemis dan struktural yang berdampak pada kemiskinan ekstrem itu semata adalah tegaknya sistem kapitalisme. Coba kita pikir, bagaimana mungkin di satu sisi ada kemiskinan ekstrem, sedangkan di sisi lain ada orang-orang superkaya?

Nyatanya, kapitalisme meniscayakan fenomena kemiskinan struktural itu. Kapitalisme juga merestui adanya orang-orang superkaya. Akibatnya, yang kuat pasti menang dan yang lemah pasti kalah. Kekuatan dan kelemahan di dalam kapitalisme sesuai dengan namanya, yakni berlandaskan pada kapital/modal.

Jika kita mengamati lebih lanjut, masalah kemiskinan ini erat dengan kesulitan ekonomi. Pada penerapan sistem ekonomi kapitalisme sekarang, memberikan kebebasan kepemilikan kepada pengusaha. Mereka bebas mengeruk sumber alam sekaligus menjualnya. Di sisi lain, jumlah lapangan kerja yang tidak memadai membuat para para lelaki sulit mencari kerja. Kalaupun ada lapangan kerja, mayoritas untuk perempuan. Lebih miris lagi, besarnya upah tidak sebanding dengan tingkat kebutuhan ekonomi saat ini.

Dari semua ini kita bisa melihat betapa lebarnya ketimpangan ekonomi di negara-negara berideologi kapitalisme. Kemiskinan ekstrem nyata-nyata berhadapan dengan realitas orang-orang superkaya. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan karena kekuatan uang akan terus melahirkan kezaliman kepada orang-orang yang lemah tingkat ekonominya.

Kondisi ini harus diputus dengan kesadaran bahwa kapitalisme mustahil memberikan solusi fundamental. Dengan begitu, solusi yang tampil bukanlah yang pragmatis, melainkan yang mewujudkan kebangkitan pemikiran. Dengan kebangkitan pemikiran itu, Islam akan menjadi kepemimpinan berpikir bagi seluruh kebijakan di negara yang mengemban Islam sebagai ideologi. Tidak pelak, selain negaranya menjadi negara maju, warga negara Islam pun layak menyandang gelar sebagai umat terbaik.

Allah Taala berfirman, “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahlulkitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka.” (QS Ali Imran [3]: 110)

Penguasa akan benar-benar memastikan bahwa rakyat sudah terpenuhi kebutuhan primernya yaitu sandang, pangan, dan papan pada tiap-tiap individu. Jaminan ini bukan berarti negara membagi-bagikan sembako gratis sehingga memunculkan sifat malas pada penduduknya, melainkan dengan mekanisme yang dibuat untuk bisa mengeluarkan keluarga dari kemiskinan.

Mekanisme tersebut antara lain:

Pertama, Islam memerintahkan pada setiap kepala keluarga untuk bekerja. Perintah ini ditunjang dengan kebijakan pemerintah dalam memudahkan laki-laki dalam mencari lapangan pekerjaan.

Kedua, Islam mewajibkan kerabat dekat untuk membantu saudaranya. Jika ada laki-laki yang tidak sanggup bekerja karena cacat, misalnya, kerabat dekatnya wajib membantu.

Ketiga, Islam mewajibkan negara membantu rakyat miskin. Jika ada orang yang tidak mampu bekerja dan tidak memiliki kerabat yang mampu menafkahi, kewajiban nafkah jatuh pada negara. Baitulmal akan memberikan santunan kepada keluarga tersebut hingga ia bisa terbebas dari kemiskinannya.

Keempat, Islam mewajibkan kaum muslim untuk membantu rakyat miskin. Jika kas negara kosong, kewajiban menafkahi orang miskin jatuh pada kaum muslim yang mampu secara kolektif. Teknisnya bisa dengan cara langsung, yaitu kaum muslim yang mampu memberikan bantuan pada orang miskin. Bisa juga dengan perantara negara, yaitu negara memungut dharibah (pungutan temporer) kepada orang kaya untuk diberikan kepada rakyat miskin.

Aturan kepemilikan dalam Islam tidak dimiliki oleh sistem mana pun. Aturan ini menjadikan persoalan kemiskinan niscaya akan terselesaikan. Aturan kepemilikan mencakup jenis-jenis kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan distribusi kekayaan.

Pertama, jenis kepemilikan dalam Islam terbagi menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara. Kepemilikan individu adalah izin dari Allah Swt. kepada individu untuk memanfaatkan sesuatu. Misalnya hasil kerja, warisan, pemberian negara, hadiah, dan lainnya. Jenis kepemilikan ini akan memunculkan semangat bekerja pada individu sebab secara naluriah manusia memang memiliki keinginan untuk memiliki harta.

Jenis kepemilikan umum adalah izin dari Allah Swt. kepada publik untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu sehingga jenis kepemilikan ini haram dikuasai oleh individu. Contohnya padang rumput, hutan, sungai, danau, laut, dan tambang (batu bara, emas, minyak bumi, dll.).

Kepemilikan negara adalah setiap harta yang pengelolaanya diwakilkan kepada khalifah selaku kepala negara. Kepemilikan negara meliputi ganimah, jizyah, kharaj, harta orang murtad, harta orang yang tidak memiliki waris, dharibah, dan lain-lain.

Kedua, pengelolaan kepemilikan. Pengelolaan kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam dilakukan dengan dua cara, yaitu pengembangan kepemilikan dan penggunaan harta. Keduanya harus terikat syariat. Misalnya Islam melarang seseorang untuk menginvestasikan hartanya dengan cara ribawi. Pengaturan pengelolaan kepemilikan seperti ini akan menjadikan harta hanya beredar di sektor riil.

Ketiga, distribusi kekayaan di tengah rakyat. Pengaturan ini menjadi kunci utama dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan. Dalam sistem ekonomi kapitalisme, distribusi kekayaan hanya melalui mekanisme harga sehingga hanya orang yang memiliki uang sajalah yang mampu mengakses semua kebutuhan hidupnya. Ini berbeda dengan Islam, Islam mewajibkan negara mendistribusikan harta kepada yang tidak mampu. Contoh lainnya adalah waris, syarak telah menentukan kepada siapa harta tersebut mengalir.

Dari uraian di atas, telah jelas bahwa Islam adalah solusi atas persoalan kemiskinan. Jangan pernah berharap kesejahteraan hakiki akan bisa terwujud dalam sistem demokrasi kapitalisme. Justru sistem tersebutlah yang membawa umat manusia pada malapetaka yang tak berkesudahan. Sementara itu, keberhasilan sistem Islam telah dibuktikan oleh tinta emas peradaban Islam.

Misalnya pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717—720 M). Meskipun hanya 3 tahun memimpin, cicit Khalifah Umar bin Khaththab ini telah berhasil menyejahterakan rakyatnya. Yahya bin Said, seorang petugas zakat kala itu berkata, “Ketika hendak membagikan zakat, saya tidak menjumpai satu orang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat saat ini berkecukupan.” (Ibnu Abdil Hakam, Sirah ‘Umar bin Abdul ‘Aziz).

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.