PEKANBARU, – Oknum Perwira TNI Angkatan Udara (AU) yang juga mantan Kepala Divisi Personel (Kadis Pers) Lanud Roesmin Noerjadin, Letkol Robert Simanjuntak, terdakwa penganiayaan terhadap fotografer Riau Pos Didik Herwanto dituntut hukuman tiga bulan penjara dalam persidangan yang digelar, Senin (16/9) oleh Pengadilan Militer Tinggi I Medan di UPT Oditur Militer 1-3 Pekanbaru.
Robert Simanjuntak dinilai bersalah melanggar pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. ‘’Terdakwa terbukti bersalah melakukan penganiayaan sesuai pasal 351 KUHP. Menuntut terdakwa dengan hukuman tiga bulan penjara dipotong masa tahanan,’’ ujar Oditur Militer, Kolonel CHK Rizaldi SH di depan majelis hakim yang terdiri dari Hakim Ketua Kolonel CHK Dr Djodi Suranto SH MH serta hakim anggota Kolonel CHK TR Samosir SH MH dan Kolonel CHK Hariadi Eko Purnomo SH.
Penganiayaan terhadap Didik terjadi saat pesawat tempur TNI AU jenis Hawk 200 jatuh di Jalan Amal Kecamatan Pasir Putih Kabupaten Kampar, Selasa (16/10/2012). Saat meliput jatuhnya pesawat ini, Didik dianiaya oleh Letkol Robert Simanjuntak yang kala itu menjabat sebagai Kadis Pers Lanud Roesmin Noerjadin.
Selain mendengarkan tuntutan atas terdakwa, sidang yang digelar marathon sejak pagi ini juga beragendakan mendengarkan keterangan tujuh orang saksi. Dari ketujuh saksi, empat diantaranya hadir dan memberikan keterangannya.
Empat orang yang dihadirkan ini adalah, Didik Herwanto sebagai saksi pertama yang menjadi korban penganiayaan, Lettu (Pnb) Martono sebagai saksi kedua, serta dua orang penyidik POM AU, Sertu Ridwan Abas dan Serda Hendra Pamuji sebagai saksi ketiga dan keempat.
Didik dalam kesaksiannya pada sidang perdana penganiayaan ini mengatakan dirinya saat meliput peristiwa jatuhnya pesawat itu tiba sebelum kedatangan anggota TNI AU. Ia tak menemukan perimeter pembatas disana dan ia tak sedikitpun memegang serpihan pesawat yang jatuh tersebut.
‘’Kejadiannya Selasa (16/10/2012) di pasir putih, jalan amal, Di perkampungan, tidak ingat namanya. Saya dengar ledakan jaraknya 300 meter dari kontrakan saya sekitar pukul 09.30 WIB. Dengar masyarakat berkata ada pesawat jatuh. Saya reflek mengambil kamera dan kesana,’’ jelas Didik yang menjadi saksi dalam persidangan itu.
Ia menuturkan, di lokasi saat mengambil gambar, belum ada anggota TNI AU yang berada di lokasi.’’Setelah 15 sampai 20 menit, baru datang anggota AU, sekitar 50 orang,’’ lanjutnya. Anggota yang datang ini, lanjut Didik lalu menyuruh masyarakat untuk mundur dari sekitar lokasi jatuhnya pesawat.’’Masyarakat disuruh mundur, pakai teriakan. Saya ikut mundur sekitar 50 meter. Dari jarak 50 meter itu ada serpihan pesawat. Ini mau saya abadikan,’’ jelasnya.
Saat akan mengambil gambar itulah, terdakwa lalu datang dengan emosi sambil mengatakan orang mati kok kamu ambil gambarnya. ‘’Sambil emosi dia bilang begitu,’’ tutur Didik.
Sambil mendatangi Didik, terdakwa saat itu menendang, namun tidak kena.’’Terdakwa mencekik, membanting dan memukul,’’ terang Didik.
Penjelasan Didik ini lalu diminta majelis hakim untuk dipraktekan. Tampak Didik menjelaskan prosesi penganiayaan yang dialaminya. Dalam peristiwa penganiayaan ini, Didik juga mengatakan bahwa ia sudah menjelaskan pada Robert bahwa ia adalah wartawan Riau Pos. Ia juga mengaku selama peliputan jatuhnya pesawat itu ia mengenakan Id Card wartawannya.
Setelah dipukul, kata Didik lagi, kameranya lalu dirampas.’’Setelah itu saya diamankan petugas POM, saya tidak tahu orangnya, lalu saya diamankan POM AU, saya dimasukkan ke dalam mobil. Seingat saya yang membawa ke dalam mobil Hendra, Provost AU. Jaraknya dari lokasi kejadian 10 meter. Karena kondisi yang ramai, saya dibawa manual,’’ lanjutnya.
Saat dibawa ke luar, kepada majelis hakim Didik menjelaskan bahwa ia dipertemukan dengan terdakwa setelah sebelumnya ia bertemu dengan Yuki, seorang wartawan.’’Saya bilang saya dipukul. Saya dipertemukan dengan terdakwa. Terdakwa mengaku tidak mengenal saya. Lalu saya dibawa ke POM AU,’’ jelas Didik.
Di lokasi, Didik mengungkapkan juga bahwa identitas wartawannya dikalungkan ke leher dan di lokasi ia hanya mengambil foto, dan sedikitpun tidak menyentuh bagian-bagian pesawat jatuh itu.’’Saya hanya memfoto saja. Serpihan bagian pesawat yang saya foto,’’ katanya.
Mengenai posisinya saat mengambil foto, Didik mengatakan bahwa Fahri Rubianto, wartawan Riau Televisi yang juga melakukan peliputan dan merupakan orang yang merekam penganiayan terhadap Didik terjadi, berada lebih dekat dengan lokasi jatuhnya pesawat.’’Teman saya Robi (Fahri Rubianto) yang mengabadikan gambar saya, lebih dekat dari areal. Dan saat itu tidak ada parameter (pembatas),’’ paparnya.
Setelah kejadian kata Didik, pada malam harinya ia sempat diikuti oleh orang tak dikenal.’’Pada saat kejadian, saya diwawancarai Metro Tv malamnya. Pulang dari sana saya ke kantor, diikuti mobil yang sama,’’ jelasnya.
Usai Didik memberikan keterangan, majelis hakim lalu menanyakan pendapat Robert. Robert menjelaskan bahwa ia sudah meminta agar Didik pergi dari lokasi.’’Yang ingin kami sampaikan bahwa kami sudah menyampaikan pergi-pergi. Saya berdiri di belakang menghadap ke depan. Saya teriak, jangan mendekat ada mesiu bisa meledak,’’ katanya.
Namun, lanjut Robet, karena Didik tak juga pergi ia lalu mengusir memakai kaki.’’Saya mengusir pakai kaki tapi tidak kena. Saat itu saya tidak mungkin melakukan pemukulan dalam kondisi itu. Pukulan terakhir tidak kena,’’ katanya.
Selain Didik dan tiga orang anggota TNI AU, pada persidangan ini juga didengarkan keterangan tiga orang saksi lainnya yang tidak bisa menghadiri persidangan. Pembacaan keterangan dilakukan Oditur Militer, Kolonel CHK Rizaldi SH dengan memaparkan BAP ketiga saksi.
Untuk saksi, Indra Yoserizal, seorang kontributor televisi swasta, dikatakan bahwa pada kronologis kejadian ia sudah berada di lokasi saat anggota TNI AU belum satupun berada disana.’’15 menit kemudian saya bertemu Didik di lokasi. Tiba-tiba datanglah mobil pemadam. Dan anggota TNI AU berteriak untuk mundur,’’ ujar Oditur sesuai isi BAP Yoserizal.
Saat itulah, saksi melihat anggota TNI AU yang mengenakan PDH (Pakaian Dinas Harian) berpangkat perwira datang ke Didik.’’Saya mengetahui ada Didik ditendang,’’ lanjut Oditur. Keterangan ini tidak dibantah oleh terdakwa.
Selanjutnya, saksi Fahri Rubianto dalam BAPnya mengatakan lima menit setelah ia berada di lokasi, ia mendengar ada mobil pemadam kebakaran datang.’’Tak lama datang Letkol Robert kearah Didik berkata orang mati kamu ambil gambarnya. Lalu ditendang tidak kena, dan kemudian dicekik. Saya ambil gambar lebih kurang dua menit,’’ tutur Oditur membacakan BAP Fahri Rubianto.
Setelah mengambil gambar itu, ia lalu dikejar oleh anggota TNI AU yang berpakaian kaos.’’Saya lalu berlari mengeluarkan kaset. Tiba-tiba datang Paskhas mengepung saya. Langsung saya ditangkap dipegang, dan dipukul oleh orang yg dipanggil Monte. Kaset yang ada pemukulan sudah saya amankan. Selanjutnya saya kabur meninggalkan TKP dan pulang ke kantor,’’ lanjutnya.
Sementara itu, editor Riau Televisi, Tomi Pranata yang juga di BAP mengatakan, ia menerima penyerahan kaset rekaman dari Fahri.’’Kaset itu saya putar di komputer kantor dan saya edit kemudian diputar. Mengenai bagaimana beredar saya tidak tahu, saya hanya editor,’’ ujarnya.
Dua orang saksi dari POM AU yang dihadirkan sempat dibentak dan dimarahi majelis hakim. Pasalnya, keduanya yang diketahui tahu terhadap peristiwa yang menimpa Didik banyak menjawab tidak tahu.
‘’Saya datang melakukan pengamanan. Saksi I (Didik) terbaring di tanah,’’ ujar saksi Sertu Ridwan Abas menjelaskan kehadirannya di lokasi saat itu. Keterangan saksi ini membuat hakim kembali bertanya, kenapa korban bisa ditemukan dalam keadaan terbaring – Ini dijawab saksi tidak tahu, ia mengatakan Didik terlihat baik-baik saja.’’Dia biasa saja,’’ kata saksi.
Merespon jawaban saksi ini, hakim lalu menegaskan, bahwa saksi yang merupakan seorang penyidik harusnya mempertanyakan kenapa Didik bisa berada dalam posisi tersebut.’’Kalau tidak tahu, kamu bukan penyidik namanya,’’ tegas hakim.
Hakim lalu mengatakan, bahwa jika seseorang berada dalam posisi terbaring bukan pada tempatnya, seperti Didik yang ditemukan saksi tertidur di tanah, itu bukan biasa saja.’’Ngapain kamu disana kalau tidak tahu-tidak tahu,’’ kata ketua majelis.
Beberapa pertanyaan hakim kemudian kembali dijawab dengan tidak tahu dan siap oleh saksi. Salah satunya adalah apakah saksi tahu apa yang menimpa Didik. Hakim lalu meminta saksi untuk tidak menutup-nutupi dan berkata jujur.’’yang diperlukan disini kejujuran. Jangan sampai BAP dibuka. Saksi I (Didik) bilang dia menerangkan kepada saudara bagaimana kondisinya,’’ kata hakim.
Usai mengatakan itu, saksi lalu ditunjukkan BAP yang berisikan tanda tangannya yang sudah memberikan keterangan. Saksi lalu diminta membacakan BAP itu keras-keras di dalam ruang sidang.’’Di BAP pada Poin 8, kapan dan dimana saksi melihat adanya tindakan kekerasan oleh robert Simanjuntak dan apa ada orang lain – Saya tidak melihat langsung, tapi saya mengetahui ada dugaan kekerasan, bahwa korban terbaring di tanah dan tersangka ada di sampingnya, Selasa (16/10/2012) saat pesawat tempur jatuh di Pasir Putih,’’ kata saksi.
Setelah BAP dibacakan, saksi akhirnya berkata jujur bahwa berdasarkan keterangan korban, ia dipukul oleh letkol Robert Simanjuntak. Hakim lalu bertanya, saat saksi menemukan Didik dalam keadaan terbaring dan membawanya, memposisikan sebagai apa saksi terhadap Didik saat membawanya, apakah korban pemukulan atau melanggar aturan “’’Dia diamankan karena melanggar aturan,’’ kata saksi.
Jawaban ini menimbulkan keheranan hakim yang membuatnya menegaskan lagi pertanyaan tersebut. Penegasan hakim lalu dijawab dengan keterangan berbeda.’’Dia sebagai korban,’’ kata saksi. Berbelit-belitnya jawaban ini membuat hakim lalu membentak.’’Kamu bohongpun saya tahu. Karena kamu penyidik. Harus profesional,’’ tegas hakim.
Sementara itu, saksi Hendra Pamuji lebih terbuka dalam memberikan kesaksian, walaupun tetap berbelit-belit juga.’’Sewaktu saya pengamanan, saya dipanggil. Hendra kamu amankan bawa ke kantor,’’ ujar Hendra yang mengaku tahu kondisi Didik setelah Didik diamankan di mobil Patwal POM.
Hendra mengaku tahu apa yang menimpa Didik dari penuturan Didik padanya saat akan dibawa ke Markas POM AU.’’Sebelumnya saya tidak tahu. Sambil jalan dia bilang di pukul oleh Letkol Robert. Saya lihat di daerah sekitar telinga merah. Dia bilang dipukul sekali,’’ kata Hendra yang mengaku diperintahkan oleh Mayor POM Hari Ambon membawa Didik ke markas itu.
Saat ditanya hakim, kenapa Didik bisa sampai dipukul, Hendra mengatakan bahwa Didik dipukul karena peliputan.’’Saksi I dipukul karena peliputan tak meminta izin terlebih dahulu,’’ ucapnya.
Hakim lalu berkata bagaimana dengan peliputan di daerah pertempuran, apakah harus meminta izin juga, saksi menjawab itu hal berbeda. Hakim lalu menekankan bahwa saat ini sudah ada UU keterbukaan informasi publik yang membuat peliputan tidak boleh dihalangi jika memang wartawan membawa identitas.’’Saya tidak tahun UU itu,’’ ujar Hendra.
Ditanyakan hakim lagi, apakah setiap orang yang akan datang ke lokasi jatuhnya pesawat harus meminta izin ke markas TNI AU, saksi terdiam dengan pertanyaan ini. Pertanyaannya yang tak dijawab membuat hakim bertanya lagi kenapa Didik dilarang meliput jatuhnya pesawat itu.’’Dilarang biar tidak tersebar keluar beritanya,’’ kata saksi. Dikatakannya juga saat bertemu dengan Didik ia melihat Didik mengenaka Id Card wartawan.
Sementara itu, pembela terdakwa beberapa kali memberi sinyal bahwa Didik mungkin melanggar UU No 1/2009 tentang penerbangan pasal 440 menyatakan siapapun yang masuk ke areal 50 meter dari peristiwa kecelakaan pesawat dan mengutak-atik, memegang serta merubah ada ancaman satu tahun penjara.’’Jadi bukan dilarang memotret, tapi ada caranya,’’ kata pembela terdakwa.
Mendengar keterangan saksi serta penjelasan dari pembela terdakwa tentang UU Penerbangan, hakim lalu berujar bahwa ia faham jika ada kemungkinan saksi mendapat pengarahan.’’Saya ngerti kalau kalian dibriefing. Percuma, itu tidak menguntungkan. Jangan menunjukkan yang salah. Saat ini sudah reformasi birokrasi, ceritalah saat kejadian. Penasehat hukum juga ngomongnya ngelantur. Tidak ada itu ancaman-ancaman,’’ tegas hakim lagi.
Sementara itu, Letkol Robert Simanjuntak Terdakwa dalam kasus ini berkeras ia melihat Didik memegang serpihan pesawat yang jatuh. Awalnya ia berusaha mengusir dengan kaki. Karena tak digubris akhirnya ia membanting, mencekik dan memukul Didik.’’Saya melihat saksi memegang serpihan pesawat. Lalu mengusir menggunakan kaki,’’ kata Robert Kepada majelis hakim. Karena merasa tak digubris, ia lalu mendorong Didik.
Serupa dengan Didik saat menjelaskan di depan majelis hakim, Robert juga diminta untuk mempraktekkan apa yang dilakukan. Tampak, ia yang memiliki keahlian beladiri judo mendorong Didik hingga akhirnya mengunci dan memukul.
Robert sendiri mengaku menyesal atas perbuatan yang telah dilakukannya. Akibat menganiaya Didik, ia diskorsing tanpa jabatan selama tujuh bulan.’’Siap menyesal. Diskorsing tujuh bulan,’’ ujarnya menjawab pertanyaan hakim.
Hakim lalu bertanya, apakah ada upaya permintaan maaf, Robert menjawab ada sebanyak dua kali.’’Pertama live di TV one. Kedua, kami didampingi komisi I dalam pertemuan di Riau Pos,’’ ujarnya.
Majelis hakim kemudian bertanya apakah wajar perbuatan terdakwa terhadap Didik. Robert mengakui bahwa apa yang dilakukannya memang tidak pantas untuk dilakukan.’’Siap tidak wajar,’’ jawab Robert. Hakim lalu mengatakan, jika Robert menganggap Didik melanggar aturan, maka ada mekanisme hukum untuk memprosesnya.’’Jangan main arogansi seperti itu,’’ kata hakim.
Pesawat yang jatuh itu, jelas Robert sedang dalam misi latihan basic intercep. Majelis lalu bertanya, apakah dalam setiap latihan memang pesawat membawa misil, Robert menjawab tidak tahu pasti.’’Kalau membawa mesiu meledak atau tidak, jadi rakyat tidak perlu dibodohi lagi. Jika setiap latihan bawa rudal, apa tidak mati pilotnya,’’ kata Hakim dengan nada heran pada Robert.
Pada jatuhnya pesawat itu, jelas Robert saat ia tiba di lokasi hidung pesawat sudah dalam posisi ke tanah. Ia beralasan, melakukan penganiayaan karena Didik memegang serpihan dan mengambilgambar.’’Negara kita adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Jika dia salah, maka proses,’’ kata hakim mengomentari apa yang dikatakan Robert.
Hakim lalu bertanya, bagaimana sampai Robert berhenti memukul Didik.’’Saya tahu dia wartawan setelah mengatakan wartawan Riau Pos. Kalau dia bilang wartawan, tidak diperlakukan seperti itu,’’ kata Robert. Hal ini ditimpali hakim lagi. Jika Didik bukan wartawan namun mengambil gambar apakah apa yang terjadi (pemukulan) tetap diteruskan “.
Setelah sempat lama terdiam, Robert akhirnya menjawab tidak. Mendengar jawaban Robert, hakim menimpali kembali.’’Ibarat KPK, anda sudah tertangkap tangan. Ada rekaman adegannya,’’ tegas hakim.
Kepada Robert, Oditur Militer sempat menanyakan, apakah Robert pernah ikut dalam operasi militer.’’Belum pernah ikut operasi. Hanya pengamanan perbatasan di Pekanbaru,’’ jawab Robert.
Dari rekam jejaknya saat dihadirkan, Robert menjelaskan setelah lulus Akademi Angkatan Udara 8 Juli 1992 dengan pangkat Letnan Dua (Letda) ia langsung bertugas di Wing Pendidikan Umum. Selanjutnya ia berturut-turut pindah ke Lanud Ngurah Rai Bali, Halim Perdana Kusuma, Adi Sucipto, lalu kembali ke Halim Perdana Kusuma, pidah ke Adi Sumarmo, ke Jogjakarta, kemudian Mabes AU hingga akhirnya ke Lanud Roesmin Nurjadin menjabat Kepala Dinas Personel (Kadis Pers) dengan pangkat Letkol.
Oditur Militer di depan majelis hakim kemudian menunjukkan barang bukti dalam perkara dugaan penganiayaan ini. Visum yang dilakukan terhadap Didik menunjukkanadanya keluhan luka dan memar setelah mengalami penganiayaan.’’Hasil pemeriksaan terdapat luka lecet di belakang telinga kiri, luka lecet di siku kiri dan punggung atas. Ditemukan pula luka lecet akibat trauma pukul,’’ jelas Oditur.
Dihadirkan pula, kartu Pers milik Didi serta bukti rekaman peristiwa penganiayaan itu. Rekaman ini selanjutnya diputar dan ditonton oleh majelis hakim.(jpnn)
RT @mandailing_on: Kabar Terbaru: PEKANBARU, – Oknum Perwira TNI Angkatan Udara (AU) yang juga mantan Kepala Divisi Per… http://t.co/ue7U…