Oleh : Miswaruddin Daulay
Pemerhati Hukum dan Sosial
Beberapa hari terakhir ini publik dikagetkan oleh berita tentang adanya Bimtek yang diterapkan kepada Tim Penggerak PKK Pemerintah Desa di Kabupaten Mandailing Natal. Bimtek ini menjadi kontroversi disamping suasana Covid-19, ketidakefektifan, tidak tepat sasaran, pemborosan anggaran juga terindikasi melanggar hukum.
Berdasarkan pengalaman sebelumnya dimana telah dilakukan beberapa kali bimtek dalam sejarah Dana Desa yang hampir semuanya dilakukan di luar daerah. Apakah pemerintah Kabupaten Mandailing Natal pernah melakukan evaluasi terhadap seluruh pelaksanaan bimtek tersebut? Sudah berapa total anggaran yang telah dihabiskan untuk bimtek? Dan apa hasil yg telah dicapai?
Berdasarkan pengalaman di lapangan, sebagian besar pemerintah desa belum mampu mengerjakan RPJMDes, RKPDes, APBDes, SPJ, Rancangan Anggaran Biaya dan gambar proyek pisik, Laporan Pelaksanaan Anggaran, dan administrasi lainnya. Semuanya masih harus dikerjakan oleh pihak luar pemerintah desa dengan biaya yang sangat tinggi dan diduga melibatkan perangkat kecamatan dan pendamping lokal desa.
Dengan kondisi kualitas pengelolaan administrasi pemerintahan desa yang seperti ini, dimanakah urgensi dan apa kriteria skala prioritas sehingga Bimtek TP PKK harus segera dan terkesan buru-buru untuk dilaksanakan?
Bila kita kaji dari sisi jumlah anggaran yang dihabiskan untuk melaksanakan Bimtek TP PKK tersebut dengan biaya Rp. 5 juta dikali 377 desa sehingga total Rp. 1.885.000.000 yang diselenggarakan di luar daerah. Belum lagi biaya transportasi dan akomodasi yang akan memakan biaya jutaan rupiah. Biaya tersebut akan habis untuk sewa gedung, sewa kamar, konsumsi, honorarium dan akomodasi narasumber dan tentu saja keuntungan lembaga penyelenggara bimtek swasta yang bersangkutan. Apabila bimtek diselenggarakan di Madina dengan cara gabungan desa tiap 4 kecamatan sehingga terselenggara 6 putaran bimtek di kecamatan yang disepakati maka akan bisa dihemat biaya sewa gedung karena memakai aula kecamatan, akan menghemat sewa kamar karena peserta bisa pulang setiap hari dan tidak perlu ada keuntungan penyelenggara karena pemerintah desa dikoordinir camat langsung mendatangkan narasumber dari kementerian. Dengan cara ini diperkirakan bisa menghemat biaya yang sangat banyak, lebih dari Âľ biaya bisa kita hemat dan bisa dipergunakan utk keperluan lain seperti modal usaha bergulir atau membangun sarana infrastruktur. Dengan demikian bimtek di luar daerah bisa terindikasi melanggar UU nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 2 ayat 1 yang menyatakan tindakan memperkaya diri atau orang lain atau korporasi yang mengakibatkan merugikan keuangan negara dipidana paling singkat 4 tahun. Perbandingan biaya bimtek dilaksanakan di Madina dengan di luar Madina terindikasi merugikan keuangan negara.
Bila kita kaji dari sisi tanggungjawab penyelenggaraan, dengan mempedomani Permendagri Nomor 82 Tahun 2015 Pasal 6 untuk bimtek kepala desa, Permendagri Nomor 110 Tahun 2016 Pasal 18 untuk bimtek BPD, Permendagri Nomor 83 Tahun 2015 Pasal 11 untuk bimtek perangkat desa, semuanya seharusnya menjadi tanggungjawab penyelenggaraan oleh pemerintah daerah, bukan oleh penyelenggaraan lembaga bimtek swasta. Dan semuanya wajib dilaksanakan di awal masa jabatan, bukan di tengah masa jabatan. Kenapa harus di awal masa jabatan? Tentunya agar mereka tahu tugas dan tanggungjawab serta tata cara menjalankan pemerintahan desa. Di sini diduga terjadi kelalaian sistemik oleh pemerintah daerah yang menyebabkan pemerintah desa tidak berfungsi dengan baik.
Bila kita kaji dari sisi gerakan PKK dengan payung hukum Permendagri Nomor 36 Tahun 2020 Tentang Peraturan Pelaksanaan Perpres Nomor 99 Tahun 2017 Tentang Gerakan PKK Pasal 52 juga mengamanahkan pemerintah daerah melaksanakan pembinaan seperti bimtek, tidak mengamanahkan lembaga bimtek swasta yang melakukan pembinaan.
Dengan uraian singkat di atas terlihat bahwa pemerintah daerah tidak menguasai peraturan yang ada sehingga terjadi pelanggaran terhadap peraturan. Ketidakmampuan menguasai peraturan ini disamping mengakibatkan indikasi kerugian negara, juga terlihat tidak ada skala prioritas sama sekali.
Buktinya, bimtek justru lebih dikejar pelaksanaannya daripada menegakkan pelaksanaan UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa Pasal 27 yang mengatur tentang kewajiban penyampaian Laporan Pelaksanaan Pemerintahan Desa setiap akhir tahun kepada BPD dan masyarakat. Dalam sejarah Dana Desa sejak UU Nomor 6 Tahun 2014 hal ini belum pernah dilaksanakan. Yang lebih parah lagi Pasal 28 yang mengatur tentang sanksi atas pelanggaran Pasal 27 tidak juga pernah dilaksanakan dimana sanksi terhadap pelanggaran Pasal 27 berupa teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap harus diberlakukan kepada seluruh kepala desa yang melanggar pasal 27.
Lantas, siapakah yang paling bertanggungjawab atas kesemrawutan pembinaan dan pengawasan pemerintahan desa tersebut? Kita kembali saja pada peraturan yang ada. Kita mempedomani Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 154 yang menyebutkan Camat atau sebutan lainnya melakukan tugas pembinaan dan pengawasan desa. Ada 18 tugas Camat yang tercantum dalam pasal tersebut. Namun kenyataannya Camat diduga lebih sibuk mengurus Bimtek TP PKK daripada menjalankan tugas dan tanggungjawab sesuai Pasal 154 tersebut.
Pelanggaran terhadap UU Nomor 6 Tahun 2014 dan seluruh peraturan turunannya bertahun-tahun merupakan pelanggaran yang sangat memalukan Madina di mata pemerintah pusat terutama Kementerian Desa PDTT dan sudah selayaknya DPRD Madina membentuk Pansus Dana Desa untuk menyelamatkan Dana Desa dan mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan. Terutama demi Madina yang lebih baik.
Wassalam