Oleh: M. Daud Batubara
Seperti biasanya, pemberangkatan Jemaah Haji Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara terasa penuh haru dengan ribuan keluarga dan pengunjung yang sangaja hadir ke lokasi Masjid Agung Nur Alanur di Panyabungan. Sama halnya dengan penjemputan jemaah, di Madina proses pemberangkatan jemaah membutuhkan penataan yang khas. Proses ini oleh pemerintah daerah tidak hanya sekedar memberangkatkan dengan prioritas untuk kenyamanan rombongan jemaah, tapi juga harus respek terhadap keinginan masyarakat.
Masyarakat sedemikian antusias terhadap jemaah haji, bukan saja mereka yang datang dengan sengaja ke lokasi pemberangkatan, tapi juga masyarakat yang ada di sepanjang lintasan yang akan dilalui rombongan jemaah haji sampai ke Gerbang Batas Kabuapten Madina-Tapsel. Bukan saja orang dewasa tapi anak sekolah juga dengan sengaja akan keluar dari kelas sesaat rombongan jemaah haji melintas di depan sekolahnya. Pantaslah Madina ini dijuluki sebagai kabupaten santri, karena sedemikian kondisinya telah menjadikan proses pemberangkatan haji serasa menjadi lebih sakral.
Jadwal pemberangakatan sudah dicecar waktunya oleh masyarakat sekitar seminggu sebelum hari pemberangkatan. Chek and Rechek dilakukan untuk memastikan jadwal pemberangkatan telah benar. Hal ini juga berhubungan dengan rencana meliburkan diri dari hari kerja. Itulah keunikannya rakyat di Mandailing, yakni serasa sah-sah saja para petani yang hidup pas-pasan sekalipun, serasa harus hadir setidaknya di pinggir jalan untuk melambaikan tangan kepada jemaah haji.
Konsekwensinya selain harus berangkat di siang hari, jalur lalulintas juga harus lewat Kota Panyabungan (meskipun sebenarnya terlarang untuk tingkat bus). Hal ini dilakukan menghindari cemoohan masyarakat terhadap penyelenggaran haji daerah, seakan tidak mampu memuliakan jemaah haji bila tidak melewati jalan utama kota. Sedemikian mulianya haji yang telah membatin di diri masyarakat Madina.
Setiap melintasi pemukiman penduduk, tak akan ada yang lepas dari lambaian tangan dengan wajah yang berurai air mata seiring doa terhadap jemaah dan harap Alloh berkenan memanggil diri menjadi tamu-Nya. Sungguh mungkin suasana inilah yang selalu membuat proses pemberangkatan dan pemulangan haji di Mandailing terlihat sakral. Merasa ketinggalan bila tak ikut serta hadir, setidaknya melihat dan sangat bahagianya terlibat dalam proses ini, dengan keihklasan terbukti dari sikap sampai meninggalkan pekerjaan.
Malah PT. ALS sebagai bis yang dibanggakan masyarakat Madina, yang mejadi andalan transportasi angkutan haji dari daerah menuju Embarkasi Haji Medan punya cerita tersendiri pula. Dalam bincang-bincang dengan crew bis ALS, mereka menyebut bahwa bila bis-nya yang terdiri dari ratusan unit tersebut, terpilih sebagai salah satu angkutan yang dihunjuk sebagai pengangkut haji oleh perusahaan, mereka memiliki kebahgiaan tersendiri dan kayakinan bahwa bis mereka akan lebih berkah rezekinya dibanding bis lain yang belum terpilih untuk mengangkut haji. Anehnya, mereka mengaku bahwa bis-bis tersebut jarang tidak baik setorannya (rezeki) sepanjang tahun setelah terlibat dalam proses pembarangkatan atau penjemputan haji.
Secara finansial, mereka pada umumnya tidak mendapat penumpang satu arah ketika akan menjeput atau mengantar haji, karena sangat minim penumang ketika akan datang atau kembali ke pool-nya di Medan. Tapi mereka tetap selalu berharap menjadi bagian dari kenderaan yang dihunjuk dan dipercaya untuk mengantar dan menjemput haji tiap tahunnya.
Demikian penting dan sakralnya bagi masyarakat Madina, karena ibadah ini memang bagian dari rukun penyempurna bagi seorang muslim. Juga keyakinan masyarakat bahwa bukan hanya kesanggupan ekonomi yang menentukan orang pergi melaksanakan ibadah ini, tapi butuh pamanggilan yang merasuk ke dalam pikiran dan jiwa seorang muslim dari Sang Khaliknya.
Oleh karena itu, bukan orang berpendapatan tinggi saja, banyak orang yang berjuang dengan mengumpulkan sedikit demi sedikit dengan menyisihkan pendapatannya yang kecil hingga pada waktunya mampu memenuhi panggilan penyempurnaan keislamannya. Dengan kondisi ini dominasi jemaah haji terlihat banyak yang usianya telah cukup tua. Disisi lain, pelaksanaan ibadah haji sungguh sangat membutuhkan fisik yang prima.
Memang tidak ada jaminan bagi usia muda akan lebih gesit dan sempurna ibadahnya dari yang berusia lanjut, atau sebaliknya. Hanya saja seperti disebut sebelumnya bahwa rangkaian ibadah haji di tanah suci sangatlah membutuhkan fisik yang prima. Artinya, secara kasat mata terlihat bahwa mereka yang usia muda jauh lebih menikmati ibadah dengan biaya yang cukup mahal ini dibanding dengan saudara-saudara yang usia lebih tua.
Beranjak dari kondisi tersebut, tulisan ini ingin berbagi mensiasati keberangkatan jemaah haji pada usia yang relatif lebih muda, sehingga dapat menikmati ibadah penyempurnaan keislaman ini dengan lebih nyaman.
Boleh dibayangkan peluang untuk melaksanakan ibadah haji bagi orang yang terpanggil hati dan jiwa oleh-Nya, pada kondisi saat ini bagi pendaftar di wilayah Provinsi Sumatera Utara harus rela menunggu selama +18 tahun ke depan bila berada pada program haji reguler. Ini juga dapat diartikan bahwa saudara-saudara yang berangkat haji saat ini, adalah mereka yang sudah menyiapkan diri secara adminstrasi dan biaya dari belasan tahun lalu, terkecuali mengikuti program Haji Plus dengan biaya yang bagi kita masyarakat dengan ekonomi biasa terhitung sangatlah mahal karena pada saat ini berada pada posisi di atas 200 jutaan rupiah.
Sementara sebahagian rukun haji, membutuhkan energi yang mumpuni seperti Wukuf
sebagai pertanda puncak dari rangkaian ibadah haji, yang dikerjakan di Padang Arafah; Tawaf, yang dilakukan dengan mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali di Masjidil Haram, dan harus dalam keadaan suci dari hadas kecil dan juga hadas besar. Lebih lanjut Sa’i yang dilakukan dengan cara berlari-lari kecil atau berjalan kaki sebanyak 7 kali, dari bukit Shafa ke bukit Marwa dan sebaliknya. Kesemuan ini benar-benar membutuhkan tenaga yang prima, yang tentu secara logis akan sangat baik dan lebih nyaman melakukannya pada saat usia lebih muda.
Ketentuan negara saat ini menetapkan syarat bagi seorang muslim atau muslimah baru dapat mendaftar diri, dari sisi usia minimal telah berumur 12 tahun. Lebih lanjut dapat diberi kursi bila telah melunasi sebanyak dua puluh lima juta lima ratus ribu rupiah. Hingga dapat dibayangkan usia kita saa ini untuk keberangkatan haji tentu ditambah dengan masa menunggu sampai 18 tahun setelah terpenuhi pembayaran minimal Rp. 25.500.000,-.
Dengan demikian penting rasanya disiasati peluang haji agar dapat lebih ternikmati dan lebih nyaman ibadahnya dapat terlaksana pada usia yang relatif lebih muda. Hal ini oleh sebahagian masyarakat yang telah berusia lanjut tidak lagi menunggu haji maka mereka melakukan umroh. Meskipun bukan haji tapi pemikiran sebahagian masyarakat, setidaknya telah pergi mengunjungi Baitullah. Tentu ini bagian dari alternatif yang sangat baik.
Untuk mensiasati usia yang relatif dengan kondisi fisik lebih enerjik, sehingga lebih nyaman ibadahnya perlu merancang pendaftaran bagi orang yang dalam hati dan jiwanya telah merasa terpanggil.
Bagi orangtua yang mampu sangatlah baiknya, memberi kesempatan kemampuan tersebut sejak dini kepada putra dan putrinya. Tentu mendaftarkan mereka pada kesempatan usia sesuai syarat di kesempatan pertama. Sebagai orangtua terhadap anak telah memfasilitasi anak untuk dapat berangkat pada usia lebih muda sangatlah baiknya. Bila rasanya harus diganti tentu sang anak akan juga banyak berterimakasih telah memberi peluang usia muda untuk menunaikan ibadah haji, meskipun kalau kemudian biayanya memungkinkan untuk dikembalikan sang anak kepada orang tuanya.
Bagi masyarakat yang hidup sederhana, namun semangatnya untuk berhaji cukup tinggi, sepertinya sudah harus meyakinkan diri bahwa panggilan itu ada di diri dan jiwa kita, sehingga tidak ada salahnya lebih awal melakukan tabungan haji terlebih dahulu, sehingga peluang pendaftaran juga lebih awal, dengan demikian batasan memperoleh kursi sudah lebih cepat.
Sepertinya prinsip menunggu sampai peroleh uang banyak baru mendaftarkan diri adalah prinsip yang sudah harus dikesampingkan. Ini terbukti dari kasus-kasus yang fenomenal dari jemaah haji yang berangkat dengan latar belakang yang ternyata secara ekonomi sangat minim. Akan tetapi pengumpulan dana dengan niat haji yang ditabung tiap hari dengan jumlah yang sedikit dari pendapatan yang sedikit, telah membawa mereka menjadi jemaah haji.
Mari siasati haji sejak dini, dan yakinkan bahwa penyempuraan rukun keislaman bukan hanya milik mereka yang secara ekonomi berada di kelas atas saja.
Kasuistik dari saudara-saudara kita yang menjadi fenomena berita seperti tukang jual sayur, tukang beca, pelaku ekonomi kecil atau pegawai kecil, yang secara logis sulit diayakini akan mampu naik haji, bukanlah hal kebetulan. Harus diyakini bahwa hal tersebut adalah atas niat dan perbuatan yang harus dilakoni dengan siasat untuk menyempurakan keislaman mereka menuju Rumahnya Alloh. (M. Daud Batubara, Staf Ahli Bupati Madina Bid. Pemerintahan dan Hukum)