Zulkifli Lubis tak punya gelar segambreng macam Ph.D., atau master dari kampus-kampus bergengsi. Kuliah di sebuah kampus saja tidak pernah. Pendidikan SMA-nya pun tak jelas, kerena Perang Pasifik telah menutup sekolah pemuda cerdas ini. Dia menghabiskan masa mudanya di zaman Jepang untuk belajar jadi intel militer dan tak melanjutkan SMA-nya.
"Sejak awal 1943 ia juga menjadi salah seorang pemuda Indonesia pertama yang terpilih sebagai taruna yang tergabung dalam PETA (baca: Tentara Sukarela Pembela Tanah Air). Di PETA, Lubis berkenalan dengan untuk pertama kalinya dengan dasar-dasar intelijen. Di Tangerang, yang terletak sedikit di luar kota Jakarta, Tentara Jepang mendirikan versi lokal sekolah intelijen militer Nakano Gakko yang terkenal itu,” tulis Ken Conboy.
Pertengahan 1944, Lubis dikirim ke Singapura. Di sana ia belajar lebih banyak dan lebih intensif lagi soal intelijen. Seorang perwira Jepang kerap bercerita padanya bagaimana aksi intelijen Perancis menaklukan Indocina.
Ken Conboy menulis bagaimana penampilan Zulkifli Lubis: “Perawakan Zulkifli Lubis sama sekali tak ada potongan sebagai Spymaster (Kepala Badan Intelijen) pertama Indonesia…Lubis yang berkacamata tidak menyukai olahraga semasa mudanya. Bahkan kulitnya mulus seputih pualam, serta suaranya juga lembut seperti wanita.”
Lubis terkesan menyembunyikan kejantanannya. Kesan-kesan yang ditulis Ken Conboy itu mengindikasikan jika Zulkifli Lubis jauh dari kesan sebagai "intel melayu": sebuah sindiran di dunia intelijen yang meremehkan orang-orang berbadan tegap, membawa pistol dan handy talky, memakai jaket berwarna gelap dan kerap mengaku intel dan banyak bertanya layaknya reserse kepolisian. Intel-intel macam ini biasanya adalah anggota militer (TNI) atau polisi yang ditempatkan dalam seksi intelijen di kesatuan mereka. Ketika menyamar pun publik akan mudah mengenali jika mereka adalah aparat.
Soal intel melayu, Kepala BIN yang saat itu dijabat Sutiyoso pernah memecat seseorang yang mengunggah surat tugasnya sebagai anggota BIN. Dalam dunia intelijen, sebetulnya sangatlah tidak pantas seorang intel mengaku diri ke publik jika dirinya adalah intel. Bahkan, satuan tugas di bawah komando Kopassus di Papua yang sering berkeliaran di sekitar Papua dengan pakaian preman pun tak mau mengaku intel meski keberadaan satgas intel di Papua itu adalah bagian dari operasi intelijen terbuka. Soal keintelen mereka, mereka lebih memilih cukup hanya dirinya, komandannya dan Tuhan saja yang tahu dirinya adalah intel. (dikopy dari tirto.id/ Petrik Matanasi)