Oleh : Moechtar Nasution
Wakil Direktur GEREP Institute
Erupsi Gunung Sinabung beberapa tahun yang lalu selain menimbulkan korban jiwa dikalangan penduduk juga meninggalkan luka yang mendalam dikalangan jurnalis karena salah satu jurnalis televisi nasional ikut menjadi korban. Kejadian yang mengharu birukan ini tentunya menjadi evaluasi secara total tentang pentingnya menjaga keselamatan disaat sedang menjalani tugas profesi.
Harus diakui peran jurnalis menjadi sangat signifikan dan urgen untuk melaporkan perkembangan terkini dari lokasi bencana sebagai referensi bagi banyak pihak yang berkepentingan utamanya bagi pemerintah. Sangat jelas sekali, pemerintah punya kepentingan yang teramat besar dalam pemberitaan bencana karena hal ini bisa menjadi pedoman untuk menerbitkan langkah-langkah secara sistimatis dalam rangka penanggulangan bencana.
Dengan adanya pemberintaan ini, bantuan dari berbagai pihak pemberi donasi juga akan datang yang pada akhirnya hal ini akan sangat membantu pemerintah dalam penanggulangan bencana. Berita media cetak, online atau juga elekronik akan menjadi referensi yang valid bagi pihak pemberi donasi untuk menentukan jenis dan kuantitas bantuan yang akan dikirim. Selain itu, tentu saja masyarakat juga sangat membutuhkan informasi secara cepat dan akurat mengenai kondisi bencana tersebut.
Akan tetapi pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah memang peliputan jurnalis ini sudah sesuai dengan etika, norma yang berlaku dikalangan masyarakat atau pernahkah kita berpikir apakah jurnalis yang turun kelokasi bencana ini sudah mempersiapkan diri secara “aman” sehingga kemudian tidak menjadi korban bencana?
Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Sutop Purwo Nugroho pernah menyebut berdasar analis terhadap berita bencana boleh disebut kecendrungan media masih mepergunakan konsep “bad news is a good news”. Menjadi tugas yang mulia bagi media untuk selalu melaporkan perkembangan terkini dari setiap lokasi bencana karena hanya dengan medialah, masyarakat akan lebih tahu dan mengerti tentang bencana yang terjadi. Mereka memberitakan jumlah korban,jumlah kerusakan bahkan dampak yang dirasakan masyarakat akibat bencana tersebut.
Namun tidak jarang kita saksikan bagaimana juga kemudian media seakan-akan “tidak berprikemanusiaan” dengan menayangkan foto atau gambar kondisi jenazah yang hancur, ratapan orang tua yang kehilangan anak, atau juga wawancara dengan masyarakat yang terkena dampak bencana dengan cara yang sangat tidak mengindahkan etika semisal mencecar nara sumber dengan banyak pertanyaan dan sebagainya yang akhirnya membuat psikologi mereka semakin bertambah berat. “Apakah anda punya firasat sebelumnya” dan deretan pertanyaan lainnya bagi saya jelas akan sangat berpengaruh bagi situasi psikologis masyarakat.
Tentunya ini memiliki korelasi yang bisa mengakibatkan trauma berkepanjangan. Media sangat “lihai” memainkan perasaan dan “mengaduk” situasi kebatinan masyarakat sehingga kemudian melahirkan airmata dan perasaan sedih ketika diwawancarai. Kamera zoompun tentu akan mengabadikan dan membidik ini. Benar-benar sangat dramatis dan mengharu birukan bagi yang menonton atau mendengar.
Tidak dapat disangkal, tentunya kesedihan dan perasaan yang berkecamuk pasti akan dialami para korban bencana. Nah, disinilah pertanyaan besarnya apakah kesedihan mereka tersebut pantas dan wajar untuk diekspos secara berlebihan? Dimana letak empati dan simpati media?
Gempa bumi dengan kekuatan 8,9 SR dan memicu tsunami setinggi 10 meter terjadi di Jepang bulan Maret 2011. Gempa yang menyebabkan puluhan ribu jiwa meninggal namun anehnya berita-berita yang terbit dinegara “matahari terbit” ini justru sunyi dari gambar, foto atau video yang menampilkan jenazah atau korban yang luka. Media memang menayangkan kerusakan berikut dengan jumlah biaya kerusakan namun sangat terkesan berhati-hati untuk menampilkan gambar atau foto para korban baik yang luka maupun tewas.Justru yang terjadi malah sebaliknya dinegara kita ini. Dominan media kita selalu menggambarkan kesedihan, raut muka yang menangis dan sebagainya. Bahkan pernah salah satu media nasional yang memperlihatkan korban yang terpanggang awan panas saat erupsi gunung Merapi beberapa tahun yang lalu.
Dalam melihat bencana, seakan-akan media sedang memainkan peran antagonis yang sarat dengan dramatisasi. Padahal bencana adalah sebuah fakta yang sama sekali tidak bisa diskenarioi. Saya memandang ada kesalahan yang fatal bagi media dalam melihat bencana. Tercipta pradigma yang sesat dan salah bahwa seakan-akan bencana yang terjadi merupakan komoditas yang mampu menaikkan gengsi atau rating mereka. Secara ekstrim, saya menyebut ini adalah eksploitasi terhadap korban.
Sangat terkesan banyak media sekarang yang mengejar efek dramatis dan kepedihan setelah bencana menerjang dan bagi saya ini bukanlah faktor ketidak tahuan atau ketidakpahaman tentang etika peliputan namun lebih kepada kesengajaan.
Media telah mengekspos berbagai bentuk peristiwa becana alam dengan mengikuti logika komersial walaupun tidak sepenuhnya menghilangkan fungsi sosialnya untuk mengejar label “berita yang seksi”. Bukankah rating dalam media televisi merupakan indikator yang paling signifikan untuk menentukan keberhasilan? Atau juga berita hits bagi media online dianggap moment yang paling ditunggu untuk mendongkrak komersialisasi? Atau tingkat keterbacaan bagi media cetak merupakan capaian yang harus dikejar? Semakin “heboh” suatu pemberitaan tentu saja dianggap akan mampu menaikkan peringkat perhatian pemirsa. Dan ini tentu saja dalam bahasa komersial dianggap mampu menarik pundi-pundi yang ditandai dengan makin banyaknya spot iklan.
Tentunya menjadi harapan kedepan agar media bisa lebih selektif dan professional lagi untuk menampilkan foto atau gambar dari lokasi bencana. Jangan hanya memberitakan jumlah korban tewas ataupun luka atau sarana fasilitas umum yang rusak namun lebih dari itu agar tercipta semangat dikalangan korban juga harus memberitakan semangat para korban yang terdampak bencana misalnya kesaksian atau testimoni korban yang selamat dengan harapan akan menjadi sprit dan semangat baru untuk membangkitkan harapan hidup. Ini tentunya menjadi pemicu bagi lahirnya manusia yang tangguh menghadapi bencana.
Tentunya dengan semangat ini juga diharapkan masyarakat yang menjadi korban dapat secepatnya pulih dari trauma dan bisa membangun desa atau kota mereka. Paling tidak ada upaya, usaha, kemauan yang tinggi dan kuat untuk lebih bergiat lagi. Media harus memformat ulang pradigmanya dalam melihat bencana. Media harus bisa mencerdaskan masyarakat dan jangan terjebak kepada kepentingan bisnis semata karena media sama sekali tidak bisa meningggalkan misi sosial dan misi kemanusiaannya. Kendatipun ini berat namun tentunya kedepan harapan ini sejatinya harus dapat diejawantahkan media. Bukankah media merupakan pilar keempat dari demokrasi yang menomorsatukan kepentingan masyarakat dibandingkan dengan kepentingan pribadi dan kelompok? ***