Pengantar redaksi:
Berikut ini catatan ringkas yang disusun oleh Askolani Nasution tentang sejumlah tokoh dari Mandailing yang mewarnai dinamika kebangsaan sejak era pertengahan 1800-an hingga awal kemerdekaan Indonesia.
Mereka memiliki peran penting di dalam gerak dinamika kebangsaan, baik peran dalam ilmu pengetahuan maupun gerakan kemerdekaan.
Mengejutkan, karena semua tokoh-tokoh dalam catatan ini berasal dari satu keluarga di Gunung Tua, Panyabungan, Mandailing, Sumatera Utara.
Kiprah Para Tokoh Gunung Tua Panyabungan dalam Perjalanan Kebangsaan Indonesia
Catatan ringkas: Askolani Nasution
Budayawan
Sutan Abdul Azis Nasution (1830-1920) Gelar Sutan Kenaikan dari Gunung Tua Panyabungan. Ia anak dari Djamondang (1765-1825) bin Sutan Kumala. Tahun 1916 lulus dokter hewan Univ. Utrecht, Belanda.
Sutan Abdul Azis memiliki anak:
1) DR Harun Al-Rasid Nasution (1884-1945). Lulus sekolah kedokteran STOVIA, bekerja sebagai dokter di Lampung.
2) DR Abdul Hakim Nasution (1884-1962), ahli hukum masa kolonial.
3) Nagar Samad Nasution (1830-1890), pedagang ternama di residen Tapanuli.
DR. Harun Al-Rasyid Nasution memiliki anak:
1) Ida Loemongga Nasution (1905-1960) dokter pribumi pertama yang berhasil meraih gelar doktor di Belanda tahun 1932.
2) Mr. Gele Harun Nasution (1890-1973). Diusulkan sebagai Pahlawan Nasional dari Lampung atas perannya dalam Perang Kemerdekaan.
DR. Abdul Hakim Nasution. Menjadi walikota pertama Padang. Anaknya Mr. Egon Hakim Nasution, ahli hukum yang menikah dengan putri Husni Thamrin (anggota Volksraad pribumi di Batavia). Ia pengacara terkenal masa itu. Ketika Jepang masuk Indonesia dan Soekarno dibawa Belanda ke Padang, Mr. Egon yang menculiknya dan membawa Soekarno ke Bukit Tinggi.
Nagar Samad memiliki anak;
1) DR. Mr. Masdoelhak Hamonangan Nasution. Sekretaris Wakil Presiden Hatta masa awal Kemerdekaan. Dibunuh oleh Belanda tahun 1948.
2) DR. Makmoen Al-Rasid Nasution. Dokter lulusan STOVIA.
Mereka semua tokoh-tokoh penting masa kolonial yang semuanya berasal dari sebuah rumah di Gunung Tua, Panyabungan.
Mengapa sekarang Mandailing tampak seperti kampung kecil? Karena tidak ada ruang untuk berpikir besar.
(Diramu dari berbagai referensi)