Oleh: Basyral Hamidi Harahap
Perjalanan Tuanku Tambusai yang berperang melawan Belanda melintasi pegunungan Bukit Barisan (Mandailing Godang, Angkola, Padang Lawas dan Kota Pinang) kemudian dipandang bagian penting dalam sejarah migrasi orang Mandailing. Jalur perjalanan itu kemudian dipakai para perantau sebagai jalur pertama ke Sumatera Timur. Gelombang kedua migrasi orang Mandailing dalam jumlah besar terjadi pada tahun 1840-an. Ketika itu perkebunan belum dibuka di Sumatera Timur. Sejak itu migrasi orang Mandailing terus berlanjut. (Pelly, 1994:42,55).
Tanah Deli atau Tano Doli yang kini lebih populer dengan Medan, adalah daerah rantau utama orang Mandailing-Angkola. Para perantau awal Mandailing-Angkola tampil di Medan sebagai guru, guru agama, kerani, kadhi atau pedagang.
Pembauran meraka dengan masyarakat Melayu tidak mengalami kesulitan, karena terutama adanya persamaan agama. Keturunan mereka ditambah dengan para migran yang terus berdatangan sejak akhir abad XIX telah membentuk suatu komunitas tersendiri di Medan.
Hubungan mereka yang erat dengan kalangan feodal Melayu menempatkan mereka pada kedudukan yang terhormat di kalangan masyarakat. Banyak diantara mereka yang menjadi pejabat agama kesultanan. Salah satu bukti kehadiran mereka di Medan ialah adanya beberapa perkampungan orang-orang Mandailing dan Tanah Wakaf Mandailing di Sungai Mati, tidak jauh dari lingkungan Mesjid Raya Medan dan Istana Maemoon.
Keberhasilan perantau Mandailing di pesisir Sumatera Timur antara lain karena : kesamaan dalam agama dan keyakinan dengan suku Melayu, pendidikan yang lebih baik dengan suku Melayu, dan kurangnya persaingan kelompok-kelompok etnis lain.
Dalam hal ini perantau Mandailing memiliki dua keuntungan, yaitu; 1. Simpati kesultanan kesultanan Melayu, dan 2. Posisi ekonomi mereka yang lebih lama. (Castles,1972:187;Pelly,1994:61).
Perantau yang semakin banyak dengan berbagai latar belakang pendidikan dan profesi pada tahun 1982 membentuk perkumpulan bernama Himpunan Keluarga Tapanuli Selatan (HIMKATAPSEL).
Perkumpulan ini memegang peranan penting dalam mengangkat marwah orang Mandailing-Angkola, misalnya sebagai panitia pengusul Hamonangan Harahap alias Tuanku Tambusai menjadi Pahlawan Nasional pada tahun 1995. Hal yang sama dilakukan perkumpulan ini pada bulan Februari 1998 sebagai pengusul agar Haji Adam Malik ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional.
Anggaran dasar perkumpulan ini dibuat oleh Notaris Ny. Sartutiyasmi Agoeng Iskandar, S.H., Notaris di Medan pada hari sabtu tanggal 12 Juni 1982. Penulis memuat dokumen ini, sebagai contoh bagaimana orang Mandailing-Angkola mengelola suatu perkumpulan. Jika disimak sungguh-sungguh, tanpak adanya kesadaran untuk menangkal konflik.
Pada bagian awal anggaran awal dimuat sebuah deklarasi yang berisi uraian tentang filosofi pembentukan perkumpulan ini. HIMKATAPSEL juga tidak menunjukkan aktivitas yang secara berkesinambungan melaksanakan tugas untuk mencapai tujuan yang sudah digariskan dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Kepengurusannya hampir tidak mengalami perubahan selama 16 tahun sejak didirikan pada tahun 1982. Program kerjanya terbengkalai, lebih-lebih banyak di antara pengurusnya yang sudah uzur atau meninggal dunia.
Tetapi sekalipun demikian, sekali-sekali organisasi ini masih melakukan kegiatan mengangkat marwah masyarakat Tapanuli Selatan. Pengurus organisasi ini mengusulkan pengukuhan dua tokoh yang berasal dari Tapanuli Selatan untuk menjadi Pahlawan Nasional, yaitu Hamonangan Harahap yang terkenal dengan nama Tuanku Tambusai dan Haji Adam Malik. (dikutip dari buku “Madina Madani” 2004)