Oleh : Novida Sari, S.Kom
Ketua Forum Muslimah Peduli Generasi Mandailing Natal
Pertiwi kembali berduka, SN (18) seorang adik kandung korban dengan terpaksa membunuh abang kandungnya sendiri AN (34). Pelaku menggunakan kayu yang diambil dari samping rumahnya lalu memukul abangnya di bagian kepala sebanyak 6 kali hingga tewas di tempat kejadian.
SN adik kandung korban dengan terpaksa melakukannya karena AN (34) karena mencekik leher ibunya. Selain itu, korban juga diduga hendak menusuk pakai gunting yang sudah dipersiapkan (beritatapanuli.com, 11 Maret 2021).
Sekularisme Menggerus Bakti
Ibu yang telah mengandung, melahirkan dan membesarkan seharusnya menjadi sosok yang dihormati dan disegani. Keridhoannya sebagai pemilik doa terampuh sejagad di dunia adalah sesuatu yang tidak boleh disia-siakan selama ia hidup. Sosok keramat yang dapat menyelamatkan atau malah menjerumuskan anak di hadapan Rabb-Nya kelak.
Namun tampaknya sekularisme yang menggerogoti negeri ini telah menghilangkan segala jenis kebaikan dan investasi pahala yang bisa didapatkan melalui orang tua. Seperti tidak menyadari kelak akan menjadi orang tua yang renta, kasus ini telah menambah rentetan daftar panjang anak-anak durhaka pada orang tua. Padahal agama manapun tidak ada yang menganjurkan untuk melupakan jasa dan kebaikan orang tua. Mereka adalah sosok yang tidak bisa dihilangkan perannya di dalam menjalani lika-liku kehidupan sejak dilahirkan hingga dewasa dan menikah.
Sekularisme memang banyak menghasilkan orangtua yang salah dalam pengasuhan, sehingga menimbulkan luka yang sulit untuk dihapuskan. Di satu sisi, kesalahan pengasuhan orang tua diakibatkan oleh rusaknya sistem pergaulan, tatanan masyarakat dan sulitnya ekonomi sehingga menitikberatkan kesalahan pada orang tua bukanlah suatu keniscayaan. Karena bagaimanapun orang tua dan keluarga adalah benteng terakhir dalam mendidik dan membesarkan anak mereka di tengah gempuran pengrusakan akidah dan moral.
Negara Benteng Utama Pertahanan Keluarga
Berharap peran negara di tengah sistem kapitalisme yang nyatanya menjauhkan agama dari kehidupan tak ubahnya bagaikan pungguk merindukan bulan. Ketahanan keluarga diserahkan kembali pada individu-individu keluarga yang seharusnya dinaunginya. Keluarga lebih sibuk memperhatikan urusan perut yang kian sulit dijangkau di tengah dibukanya keran liberalisasi budaya dan peradaban asing yang kebanyakan berlawanan dengan budaya dan peradaban Islam dan ketimuran.
Namun Islam adalah ajaran yang paripurna, di dalamnya terdapat aturan yang mahasempurna untuk diterapkan di tengah-tengah manusia. Keberadaannya sebagai benteng utama yang menghadang dan melindungi segala jenis kerusakan di tengah-tengah masyarakat, sebagaimana sabda Rasul SAW, “Innamâ al-imâmu junnatun yuqâtalu min warâ`ihi wa yuttaqâ bihi fa in amara bitaqwallâhi wa ‘adala kâna lahu bidzâlika ajrun wa in ya`muru bi ghayrihi kâna ‘alayhi minhu”
Artinya : “Sesungguhnya seorang imam adalah perisai, orang-orang berperang dari belakangnya dan menjadikannya pelindung, maka jika dia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘azza wa jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika dia memerintahkan yang selainnya maka dia harus bertanggungjawab atasnya)” (HR. al-Bukhari, Muslim, an-Nasai dan Ahmad).
Hadits ini memberikan makna bahawa keberadaan seorang al-imâm atau khalifah itu akan menjadikan umat Islam memiliki junnah atau perisai yang melindungi umat Islam dari berbagai marabahaya, keburukan, kemudaratan, kezaliman, perusakan moral dan sebagainya.
Nampak jelas fakta hari ini, dengan ketiadaan Imam yang dimaksudkan oleh hukum syara’ yakni Khilafah atau Imarah telah terjadi. Hilangnya makna yuttaqâ bihi (berlindung dengannya) bukan menjadikan imam sebagai perisai dalam pertempuran. Tetapi maknanya adalah masyarakat berlindung dengannya dari keburukan musuh, para pembuat kerusakan, kezaliman dan segala bentuk keburukan dan kemudaratan.
Karena imam itu memerintahkan fa in amara bitaqwallâhi (imam memerintahkan ketakwaan) bukan dengan penjauhan agama dari kehidupan. Sehingga apabila imam tersebut berlaku adil maka baginya pahala. Ini sekaligus menunjukkan dengan apa seorang imam menjalankan pengurusannya kepada rakyat dan orang-orang yang diurusnya.
Tidak seperti hari ini, Negara lebih sibuk mencari investor swasta, asing dan aseng yang hanya mengeksploitasi kekayaan alam tanpa memperhatikan untuk siapa sebenarnya kekayaan alam itu dianugerahkan Allah SWT.
Di samping itu, Negara hari ini lebih serius menjaga kepentingan diri dan kelompoknya daripada menjaga keutuhan keluarga. Meskipun kerusakan dan kebobrokan dari kebijakan sekularisme ini telah merambah ke seluruh penjuru negeri, muda maupun tua. Anak dan orang tuapun bersaing dan saling membunuh demi nafsu dunia. Keserakahan yang telah menggantikan posisi moral dan akhlak yang seharusnya bersemayam di dalam diri.
Kita tidak perlu lagi menunggu kasus anak lain yang mencekik leher orang tuanya dan berakhir kehilangan nyawa di tangan saudara kandung sendiri. Karena sebenarnya kapitalisme yang dilahirkan dari sekularismelah yang menjadi penyebabnya. Padahal Allah SWT telah menantang keimanan kita untuk mengimani hukum yang berasal darinya yakni Islam, sebagaimana firman Allah SAW:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Artinya : “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin”(TQS Al Maidah : 50)
Oleh karenanya, sudah seharusnya muslim beriman menjawab seruan Allah SWT untuk mengambil hukum yang berasal dari Allah SWT agar tercipta Islam Rahmatan Lil Alamin.***