Oleh: Dewi Soviariani
Pemerhati umat
Dilalui garis khatulistiwa, dengan bentangan alam yang menghijau, negeri ini telah menjadi cagar alam dunia. Tapi sesaat saja, keteduhan alam tersebut sirna berganti kerusakan alam parah. Pengelolaan SDA salah kaprah membawa dampak buruk kerusakan lingkungan dan sangat merugikan kehidupan ekosistem kedepannya.
Mekanisme yang buruk pada akhirnya seperti bom waktu, menunjukkan betapa banyaknya kerugian yang harus ditanggung oleh rakyat atas pengelolaan SDA di tangan swasta dan asing. Seperti beroperasinya PT Freeport Indonesia yang bertahun tahun lamanya, mengeruk isi perut bumi Papua akhirnya terkuak sudah jejak tak bertanggung jawab atas rusaknya lingkungan akibat pembuangan limbah tailing ke sungai sungai di Mimika.
Limbah tailing, yang merupakan sisa dari proses pengolahan hasil tambang PT Freeport Indonesia, akibatnya, sungai tercemar, warga mengalami krisis air, hilangnya mata pencarian, ikan mati massal, gangguan penyakit menular, pulau keramat hilang, sungai dan laut terdegradasi, desa-desa dikepung oleh limbah tailing, hilangnya habitat hidup manusia karena tercemarnya sungai, terjadi pedangkalan, matinya seluruh sumber proten hewani dan nabati bagi masyarakat sekitar, serta semakin hilangnya akses masyarakat keluar sehingga berdampak pada kian mahalnya biaya hidup, termasuk ongkos transportasi. (www.voaindonesia.com).
Kondisi ini mendapat sorotan dari Komisi IV DPR, yang sepakat untuk melakukan advokasi atas dampak buruk kegiatan pembuangan limbah tailing yang dilakukan PT Freeport Indonesia terhadap masyarakat setempat dan lingkungan alamnya.
John NR Gobai, anggota DPR Papua dari daerah pengangkatan Meepago, menceritakan bagaimana perubahan terjadi di kawasan Kokonao, Kabupaten Mimika, untuk menggambarkan kerusakan lingkungan yang terjadi di kawasan itu. Kepada Anggota Komisi IV DPR yang menemuinya, dia mengatakan limbah tailing PT Freeport menyebar luas dan menimbulkan pengendapan hingga ke Mimika Barat.
“Pada waktu zaman Belanda, sebelum Freeport ada, misalnya di Kokonao, kapal bisa sandar di pinggiran Kokonao. Sekarang, orang mau berpergian, itu dia harus menghitung pasang surutnya air. Ini Kokonao jauh dari areal Freeport,” kata Gobai di gedung DPR, Rabu (1/2).(www.antaranews.com).
Keluhan serupa juga disampaikan oleh Adolfina Kuum, koordinator umum Komunita Peduli Lingkungan Hidup (Lepemawi) Timika, telah memperjuangkan hak masyarakat adat sejak 2013 lalu. Kaum ibu di sana, menghabiskan lima jam untuk jalan, mencari sumber air bersih untuk melakukan aktivitas air, sebagai pendukung kehidupan dalam rumah tangga. Adolfina juga menyebut Freeport tidak bersedia membangun jembatan di atas sungai yang dipenuhi limbah tailing itu, agar masyarakat tetap dapat beraktivitas.
Paulus Kemong dari Yayasan Lorents juga menguatkan apa yang disampaikan Adolfina. “Kita bisa bayangkan, hampir setiap hari itu berapa ton metrik yang dibuang tailing oleh PT Freeport. Dan itu terus terjadi di daerah-daerah pesisir yang saat ini sedang mengalami situasi kondisi yang sangat memprihatinkan,” imbuhnya.
Melihat fakta fakta tersebut, kondisi daerah terdampak sungguh memprihatinkan. Upaya solusi yang diberikan pemerintah berjalan lambat, bahkan terkesan melindungi Freeport. PT Freeport telah beroperasi sejak 1967 di Kabupaten Mimika, Papua. Tahun 2019, pemerintah mengambil alih kepemilikannya, melalui proses divestasi 51 persen saham. Dalam dokumen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tercatat bahwa PT. Freeport sejak tahun 1974 hingga 2018 telah mengalirkan limbah tailing melalui Sungai Aghawagon dan Sungai Ajkwa. Limbah ini kemudian ditempatkan di Modified Ajkwa Deposition Area (ModADA) seluas 230 kilometer persegi. Dokumen ini juga menyebut, dalam perhitungan limbah tailing yang dihasilkan Freeport adalah 167 juta metrik ton perhari. (www.antaranews.com).
Sayangnya dari hasil pengamatan di lapangan Freeport dilaporkan buang 300 ribu ton limbah tailing setiap hari.
Hampir 80% wilayah Papua merupakan wilayah usaha pertambangan. Sebanyak 20% dari seluruh tanah Papua telah dibebani izin atas empat jenis konsesi tersebut. Tidak akan ada asap tanpa api. Nyaris, di semua wilayah usaha tambang di Indonesia selalu menghasilkan konflik dengan masyarakat setempat, seperti hak tanah terampas, kemiskinan membayangi, dan kerusakan lingkungan yang menimbulkan bencana di mana-mana.
Lagi lagi tentang pengelolaan SDA yang menyalahi aturan, membawa dampak yang memberikan penderitaan bagi kehidupan masyarakat. Negara dalam hal ini tidak mengurus dengan baik dampak kerugian dari kerusakan lingkungan tersebut yang telah berjalan sekian lama. Lantaran sistem kapitalisme yang memengaruhi dalam tatanan mengatur negara, alhasil pemilik modal/pengusaha dan oligarki bebas berkuasa. Penguasa jadi perpanjangan tangan mereka, lewat undang undang, seperti halnya UU Cipta Kerja yang tetap melenggang meski ditentang banyak kalangan dan kebijakan yang diputuskan selalu oligarki yang menjadi pemenang akhirnya. Rakyat tetap pada posisi tertindas dengan segala kerugian. Pengelolaan SDA ala sistem kapitalis terbukti memberikan dampak buruk terhadap lingkungan. Keserakahan telah melalaikan penjagaan lingkungan yang penting untuk umat manusia, dan bahkan membahayakan kehidupan.
Bagaimana tidak kondisi ini kian parah, solusinya hanya tambal sulam belaka. Tak membawa perubahan malah nasib rakyat makin suram. Korporasi dan kapitalis menikmati hasilnya rakyat dapat limbah. Hukum yang berlaku di negeri ini seolah bisa dibeli, korporasi bersembunyi di balik kebijakan penguasa. Karena itu negeri ini membutuhkan solusi hakiki yang membawa kemaslahatan bagi kehidupan.
Hanya Islam yang bisa memberikan jaminan tersebut. Pengelolaan sumber daya alam menjadi titik perhatian dengan bersumber aturan dari Al Qur’an dan as-sunah, Islam memiliki regulasi pengaturan pengelolaan SDA yang membawa kemaslahatan.
Dalam aturan Islam SDA tidak boleh diserahkan kepemilikan dan pengelolaannya yang menjadi milik umum kepada individu, swasta, atau asing. Kekayaan alam seperti barang tambang, minyak bumi, laut, hutan, air, sungai, jalan umum yang jumlahnya banyak dan dibutuhkan masyarakat, merupakan harta milik umum. Hal ini merujuk pada hadis Nabi ﷺ, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud).
Pengelolaan harta milik umum dapat dilakukan dengan dua cara, yakni (1) masyarakat memanfaatkannya secara langsung, semisal air, jalan umum, laut, sungai, dan benda-benda lain yang bisa dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu. Dalam hal ini, negara melakukan pengawasan agar harta milik umum ini tidak menimbulkan mudarat bagi masyarakat; dan (2) negara mengelola secara langsung. Hal ini dilakukan pada SDA yang membutuhkan keahlian, teknologi, dan biaya besar, seperti barang tambang, dll. Negara dapat mengeksplorasi dan mengelolanya agar hasil tambang dapat didistribusikan ke masyarakat. Negara tidak boleh menjual hasil tambang — sebagai konsumsi rumah tangga — kepada rakyat untuk mendapat keuntungan. Harga jual kepada rakyat sebatas harga produksi. Sektor pertambangan menjadi salah satu pos penerimaan Baitulmal. Pos milik umum ini dikhususkan dari penerimaan negara, seperti fai, kharaj, jizyah, dan zakat. Distribusi hasil tambang hanya dikhususkan untuk rakyat, termasuk untuk membiayai sarana dan fasilitas publik.
Islam memiliki perincian yang detail dan aturan yang jelas. Kontrol yang terbina antara, individu, masyarakat dan negara, mencegah terjadinya penyimpangan dan kecurangan dalam penanganan limbah. Berprinsip pada kemaslahatan umat. Pengelolaan dan pemanfaatannya harus memperhatikan AMDAL sehingga tidak merusak lingkungan di sekitar wilayah pertambangan. Hal ini tentu akan mencegah terjadinya dampak kerusakan lingkungan. Tentunya solusi hakiki ini akan berjalan jika negara mengadopsi syariat Islam secara kaffah. Melalui penerapan yang dilaksanakan negara, swasta dan asing tak punya taring untuk mengeruk kekayaan SDA Indonesia yang melimpah ruah ini. Selamatkan Papua, selamatkan Indonesia dengan syariah satu satunya solusi yang akan menyelamatkan SDA dari perampokan penjajah kapitalis yang bernaung dalam korporasi.
Wallahu a’lam bishshawwab