Artikel

PASKIBRAKA DAN HIJAB

Oleh: Dr. M. Daud Batubara

Penomena buka hijab pada Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka), saat Upacara Pengukuhan, telah meramaikan berbagai media sosial. Seperti biasanya, tidak bisa meghindari pro dan kontra pendapat dari berbagai kalangan dan usia.  Karena harus diingat bahwa, kecepatan informasi melalui teknolgi informasi dapat membawa manusia makin menjadi cepat mengerti mengenai perkembangan informasi di sekitarnya.

Informasi yang menyangkut komunitas khalayak tertentu, mampu membuat ikatan empati dan kebersamaan sesama anggota masyarakat, bahkan bergeser dan bergerak, semakin meningkat dan semakin cepat. Untuk itu, informasi yang kurang sedap bila muncul dari lembaga pemerintah akan sangat membuka persimpangan baru.

Sukurnya, hal ini terdeteksi lebih awal, yang bisa saja akan semakin runyam bila kejadian terinformasi, saat melaksanakan tugas untuk Pengibaran Bendera Merah Putih di HUT Kemerdekaan ke 79 RI, berikut saat Penurunan Bendera. Begitupun cepat terdeteksi, masih jadi bincangan masyarakat seakan protes terhadap tindakan tersebut. Berbagai bahasan muncul, bahkan ada yang menduga bahwa hal-hal seperti ini disengaja untuk menguji coba (cek ombak) peduli atau tidak, melawan atau tidak, dari kalangan muslim.

Hal ini, juga boleh dihubungkan dengan adanya rencana tidak pentingnya memasukkan pendidikan agama di sekolah formal dan juga penghilangan identitas agama bagi pemegang Kartu Tanda Pernduduk. Tentu, pemikiran seperti ini sangat merugikan dalam konteks bernegara, terutama saat ini sedang giat-giatnya mengetengahkan penguatan pemikiran yang mendalam terhadap moderasi beragama.

Sangat jelas bahwa kewajiban berhijab adalah mutlak adanya bagi seorang muslimah yang telah dewasa. Untuk itu, berhijab bagi muslimah bukan pilihan, karena hal ini bukan alternatif kecantikan (model) atau kebersamaan/keseragaman. Hijab adalah sebuah kewajiban muslimah yang sifatnya mutlak dikerjakan dan dipatuhi atas perintah agama sebagai bagian dari menutup aurat muslimah.
Mungkin ada yang menilai hal ini sepele dan sangat kecil karena sangat banyak ditemui di rumah-rumah muslim bahkan di luar sana, pun tidak sulit menemukan muslimah yang senyatanya memahami hukum aurat namun tidak berhijab. Dengan demikian, mengedepankan alasan keseragaman, kebersamaan atau alasan lainnya, muncullah kebijakan tersebut.

Sayangnya, bagi muslim, tidak sekecil yang dibayangkan nilai berhijab, terutama tindakan itu muncul dari lembaga pengasuhnya yakni Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang di masa Pemerintahan Jokowi sengaja dibentuk untuk melakukan Pembinaan Ideologi Pancasila melalui program yang disusun secara terencana, sistematis dan terpadu sehingga menjadi panduan bagi seluruh penyelenggara negara, komponen bangsa dan Warga Negara Indonesia.

Seharusnya, jauh lebih cermat berujar apalagi bertindak yang menyangkut agama, dengan berpedoman yang sesuai dengan tuntutan moderasi beragama. Pilar dalam moderasi beragama dari sisi Komitmen Kebangsaan yang menggambarkan Pancasila sebagai dasar negara menjadi panduan dalam menjunjung moderasi beragama. Sila pertama, “Ketuhanan yang Maha Esa”, mencerminkan komitmen kebangsaan untuk menghargai keberagaman agama dan kepercayaan. Masyarakat perlu membangun sikap saling menghormati dan menghargai keyakinan orang lain, sehingga tidak ada pihak yang merasa dianaktirikan atau dikesampingkan.

Komitmen kebangsaan dalam konteks moderasi beragama mencakup upaya untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi berbagai agama dan kepercayaan untuk berkembang dan berdampingan secara damai. Pendidikan kebangsaan yang inklusif, misalnya, menjadi salah satu cara untuk memperkenalkan nilai-nilai moderasi beragama kepada para penerus bangsa ini. Melalui pendidikan, generasi muda seperti Paskibraka ini diajarkan sebagai teladan bagi remaja lainnya, untuk saling menghargai perbedaan dan menjaga kerukunan antar umat beragama.

Toleransi merupakan kunci dalam menjaga kerukunan antar umat beragama. Toleransi bukan hanya sekadar sikap saling menghormati, apalagi hanya untuk keseragaman, tetapi juga saling membantu dan bekerja sama untuk menciptakan suasana damai dan harmonis. Tidak ada agama yang mengajarkan kebencian dan kekerasan, sehingga penting bagi setiap individu untuk mengekang diri dari prasangka dan kebencian.

Toleransi dalam konteks moderasi beragama mencakup kemampuan untuk menghargai perbedaan keyakinan dan agama orang lain, serta memberi mereka kebebasan untuk mengekspresikan keyakinan mereka tanpa rasa takut atau tekanan. Ini menciptakan lingkungan yang kondusif bagi masing-masing individu untuk tumbuh dan berkembang sebagai pribadi yang unik dan berharga, sekaligus memperkaya kehidupan bersama dalam masyarakat yang beragam.

Nilai falsafah seperti ini, agaknya harus dicermati dengan baik kembali oleh BPIP, dengan membuang jauh-jauh alasan khilaf yang nantinya bila dibiarkan kebijakan dan tindakan tidak dilandasi dengan kecermatan, dikhawatirkan berbagai kekhilafan dapat meremukkan bangsa ini. Karena sangat diyakini bahwa pemindahan pembinaan Pskibraka dari Kementerian Kepemudaan juga untuk menjadikan Paskibaraka tersebut memiliki nilai yang falsafah kebangsaannya jauh lebih sakral dibanding hanya di Kementerian Kepemudaan.

Sangat jelasnya bahwa moderasi beragama dalam indikator toleransi, harus mampu melihat tiap rakyat Indonesia menjalani kehidupan sehari-hari dengan saling menghargai dan menghormati jangankan yang menyangkut aqidah, perayaan agama yang berbeda saja, ketika umat muslim merayakan Idul Fitri, umat Kristen, Hindu, Buddha, dan lainnya turut berpartisipasi dalam kebahagiaan dan kebersamaan, seperti mengunjungi rumah tetangga yang merayakan, saling mengucapkan selamat, atau bahkan membantu persiapan. Hal serupa juga terjadi ketika umat agama lain merayakan hari besar mereka.

Jangankan agama, toleransi juga harus tercermin dalam bagaimana masyarakat bersikap terhadap keberagaman tradisi dan cara beribadah yang ada di Indonesia. Misalnya, masyarakat yang tinggal di sekitar tempat ibadah yang berbeda, seperti masjid, gereja, pura, atau vihara, saling menghormati dengan menjaga kebersihan lingkungan, mengendalikan suara, dan tidak mengganggu aktivitas ibadah yang sedang berlangsung. Hal ini menciptakan suasana yang kondusif untuk kegiatan keagamaan dan menguatkan ikatan persaudaraan antar umat beragama.

Kita tidak bisa benar-benar melaksanakan moderasi jika kita masih memaksakan kebenaran kita pada orang lain. Dengan mencoba memahami orang lain apapun latar belakangnya yang berbeda agama adalah saudara dalam kemanusiaan, karenanya kita sebagai umat beragama perlu menanamkan moderasi beragama dalam kehidupan sehari hari.

Bak… Kabupaten Madina yang setingkat daerah otonom, dengan bijak mampu menata Pakaian Paskibraka sedemikian apik hingga tetap tampil gagah dengan hijab sesuai Peraturan Daerah yang mewajibkan penganut agama Islam wajib berpakaian sesuai aturan agama, dan tetap memberi kesempatan yang sama sesuai agamanya bagi satu orang peserta yang non muslim (tidak menyeragamkan tata agama).

Kebenaran adalah kebenaran dari siapapun ajarannya dan karenanya BPIP harus dapat menjadi corong kebenaran hingga BPIP mampu membawa cermin wajah kedamaian sebagai kunci moderasi beragama. Salam Toleransi…… MERDEKAAAAAA…..!!!

Dr. M. Daud Batubara, Sahli Bupati Madina Bidang Pemerintahan dan Hukum

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.