Oleh: Sri Purwanti
“Dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk memenuhi keserakahan manusia.” – Mahatma Gandhi.
Begitulah orang serakah. Tak akan pernah merasa puas. Selalu ingin mendapat yang lebih lagi. Tak mempedulikan cara yang diambil adalah suatu kesalahan, dan juga suatu kezaliman.
Hal tersebut, seperti yang dilakukan oleh seorang pelaku penimbun hingga 1005 liter BBM bersubsidi jenis solar di Singkawang. Dengan tujuan untuk mendapat keuntungan yang berlipat. (TribunSingkawang.com, 17/1/2022)
Walaupun sanksi sudah jelas tertuang dalam pasal 55 Undang – Undang Republik Indonesia nomor 22 tahun 2001. Namun, tak membuat kasus tersebut berhenti berulang.
Karena hukuman tersebut dinilai tidak menimbulkan efek jera. Apalagi didukung oleh sistem yang membuat orang-orang di dalamnya hanya memikirkan keuntungan semata.
Padahal jelas, praktik penimbunan ini adalah suatu bentuk kezaliman. Karena dampaknya dapat membuat masyarakat umum merasakan sulit akibat kelangkaan pasokan, hingga terpaksa membeli dengan harga yang pasti akan sangat menjulang.
Hal yang menyedihkan lagi, kenaikan harga ini tentu akan berimbas pada kenaikan harga yang lain terutama harga produk industri yang menggunakan BBM jenis solar ini. Pastinya juga akan berpengaruh pada kenaikan harga jual dari hasil produksi tadi.
Para pelaku industri tentu tidak akan mau mengambil risiko kerugian. Lalu, siapa yang dapat memecahkan masalah ini? Mencegah perbuatan menyimpang nan zolim, serta menjamin kesejahteraan?
Apakah bisa dilaksanakan pada sistem yang memisahkan agama dari kehidupannya? Melakukan semua hal atas dasar kemanfaatannya? Tentu tidak!
Dengan demikian, satu-satunya solusi yang bisa diterapkan untuk mengatasi hal tersebut, ialah beralih kepada sistem yang paripurna aturannya, yaitu sistem islam.
Sistem yang menyandarkan seluruh aspek kehidupan pada aturan pencipta. Termasuk pada roda perekonomian pun disandarkan pada hukum syara. Yang membuat masyarakat di dalamnya tidak hanya fokus terhadap bagaimana cara untuk mendapatkan materi dan keuntungan, tapi juga keberkahan.
Sri Purwanti tinggal di Sambas