Puasa bagi ummat Islam, adalah pengabdian sekaligus training mental. Puasa tidak hanya mengajarkan kepada kita menahan diri dari makan, minum, tapi juga menahan nafsu-nafsu pancaindera, dan hati.
Puasa Ramadhan tidak hanya sekadar masalah ubudiyah yang mendatangkan pahala dan ganjaran di akhirat kelak, tapi juga mendatangkan pengaruh yang langsung dalam kehidupan dunia ini.
Dari segi jasmaniyah, puasa bermanfaat sekali dalam menjaga kesehatan. Para dokter sepakat bahwa puasa itu menyehatkan, sebagaimana Rasulullah telah menetapkan 14 abad yang lalu dalam sebuah haditnya,” Puasalah, tentu kamu sehat.”
Dari segi ruhiyah, puasa adalah latihan disiplin terhadap peraturan. Melaksanakan dan menjauhi larangan bukan karena takut sanksi dan hukuman, tapi merupakan pengabdian atas dasar cinta kepada hukum-hukum Allah. Puasa membentuk sikap mental, watak dan kepribadian yang patuh dan disiplin.
Selain itu, puasa juga mengajarkan kesabaran. Orang yang sedang berpuasa berjuang menguasai dan mengendalikan hawa nafsunya, dengan mempertinggi sifat sabar, yaitu kemampuan untuk mengatur dan memimpin, memperkuat daya tahan dan kesanggupan menderita.
Dari Ibnu Majah diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda,” Puasa itu separuh kesabaran.”
Dari segi kemasyarakatan, puasa mendidik kaum muslimin untuk mengurangi bibit-bibit diskriminasi, sekaligus memperkokoh kesetiakawanan sosial.
Di luar bulan Ramadhan, orang kaya menikmati segala kemewahannya, makan serba ada dan memenuhi segala selera. Sebaliknya, orang miskin hidup serba kekurangan, dapat makan 3 kali sehari untung-untungan, apalagi utuk memenuhi standar gizi. Akan tetapi, dalam bulan Ramadhan ini semuaa manusia punya kedudukan sama. Baik yang kaya maupun yang miskin sama-sama laparnya. Tidak makan dan minum, juga tidak berhubungan suami istri. Bila tiba saat berbuka, mereka serentak makan. Semua merasakan nikmatnya.
Banyak masjid, mushalla atau rumah menyediakan ta’jil bersama. Di sana semua kaum muslimin membaur jadi satu, tak peduli kaya dan miskin, bersila dan berderet menghadapi makanan. Diharapkan dari sana tumbuh rasa kebersamaan dan hilang diskriminasi sosial…
Pada bulan Ramadhan, semua kaum muslimin dilatih untuk merasakan pahit getirnya menahan lapar. Maksudnya, agar mereka ikut juga merasakan derita lapar yang dialami sebagian besar masyarakat ‘akar rumput’ yang menahan lapar setiap hari dalam jangka waktu yang panjang. Orang yang merasakan derita lapar seperti ini jumlahnya tidak sedikit, dan menyebar di berbagai belahan bumi, di negara maju maupun di lingkungan komunitas suku-suku. Harapan selanjutnya, lahir sifat santun dan kasih sayang kepada orang yang nasibnya tak semujur dirinya.
Kepada orang kaya, lewat ibadah puasa ini Allah hendak mendidik mereka agar tajam ruhaninya, peka perasaan sosialnya, mau peduli terhadap sesama yang nasibnya kurang beruntung, misalnya yatim piatu, fakir miskin, anak jalanan, kaum gelandangan, dst.
Orang tidak selamanya kaya. Setiap saat manusia bisa mengalami kebangkrutan.
Tak menutup kemungkinan anak sendiri menjadi yatim, bahkan yatim piatu, sebab kematian siapa yang menduga datangnya.
Peluang beramal terbuka luas di depan kaum muslimin. Apalagi hadirnya krisis ekonomi di negeri kita masih nampak belum kunjung berakhir. Inilah saatnya mendemonstrasikan amal di bulan Ramadhan. Jika kita lihat, sebagian besar orang yang kurang beruntung adalah juga kaum muslimin, dengan jumlah yang mancapai 40 juta jiwa lebih.
Apa artinya? Bahwa memiliki sikap peduli kepada orang yang kurang beruntung merupakan tuntunan agama. Malah orang yang tidak mau peduli dengan nasib mereka disebut pendusta agama. Omong kosong seseorang mengaku Islam kalau tidak memiliki sikap ingin membantu saudaraanya yang dalam kesusahan.
Terkait dengan dengan hal ini Allah Swt mengingatkan,” Tahukan kamu orang yang mendustakan agama? Itulah mereka yang menghardik anak-anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan kepada orang miskin.”(Al-Ma’uun: 1-3)
Orang-orang miskin, kaum dhu’afa dan anak yatim sangat membutuhkan makanan, kasih sayang dan tempat bernaung. Mereka juga haus keadilan, perhatian dan hak-hak hidup yang lain sebagai sesama anak adam.
Setidaknya, inilah yang hendak digugah dalam Ramadhan kali ini. Setelah di malam harinya ruhani kita diasah dengan qiyamul lail dan tartil Qur’an, dengan perut yang lapar, siangnya kita datangi saudara-saudara kita yang kurang mujur. Kita bantu secukupnya. Kita selami problematika yang dialami dan membantu mencari solusinya. Jangan sampai ada yang menangis—apalagi pada saat lebaran tiba nanti–pada saat kita sedang gembira bersama keluarga tercinta. Semoga Allah menjadikan kita orang yang peduli. Semoga tergugahlah hati kita. (aql/hidayatullah.com)