Oleh: Z Pangduan Lubis (in memoriam)
Masuknya penjajahan atau pemeritahan kolonial Belanda ke Mandailing terjadi pada waktu Belanda sedang berperang dengan Kaum Paderi di Minangkabau pada tahun 1830-an. Sebelum Belanda masuk ke Mandailing, beberapa tahun lamanya Kaum Paderi sudah lebih dahulu menguasai Mandailing. Salah satu tujuan penting dari Kaum Paderi menguasai Mandailing ialah untuk memperluaskan pengembangan agama Islam. Karena sebelum Kaum Paderi memasuki dan akhirnya menguasai Mandailing, penduduknya menganut animisme yang dinamakan pelebegu (memuja roh nenek moyang).
Tapi setelah Kaum Paderi menguasai seluruh Mandailing, dengan cepat sekali hampir semua penduduknya menganut agama Islam yang dikembangkan oleh Kaum Paderi. Sejalan dengan itu, segala sesuatu yang berbau anismisme dengan cepat pula hilang atau dilenyapkan dari kehidupan masyarakat Mandailing dan berganti dengan yang Islami. Hingga sampai saat ini, orang-orang Mandailing terkenal sebagai pemeluk agama Islam yang cukup taat.
Pada waktu Belanda sudah berhasil mengalahkan Kaum Paderi dan mulai menduduki Mandailing, missionaris mulai mencoba menggembangkan agama Nasrani di kalangan penduduk. Tapi sama sekali tidak berhasil karena penduduk di Mandailing sudah lebih dahulu menganut agama Islam. Oleh karena itu dari dahulu sampai sekarang agama Nasrani tidak berkembang di Mandailing. Ketika Belanda mulai memperkuat kedudukannya di Mandailing sejak pertengahan tahun 1830-an, peperangan antara Kaum Paderi dan Belanda masih terus berlangsung, termasuk di Mandailing. Karena kekuatan Belanda lebih unggul, maka banyak di antara orang-orang Mandailing pengikut Paderi yang meninggalkan kampung halaman mereka untuk menghindari penjajahan Belanda. Di antara mereka banyak yang pindah ke Malaya (Malaysia sekarang) dan menetap turun-temurun di negeri itu sampai sekarang.
Berkenaan dengan Hata atau Bahasa Mandailing, akhir-akhir ini mulai dikembangkan oleh orang-orang tertentu suatu konsep yang salah mengenai bahasa yang digunakan oleh masyarakat Mandailing. Mereka menyebut bahasa yang digunakan oleh masyarakat Mandailing sebagai ”Bahasa Angkola Mandailing”. Secara kultural sebenarnya tidak ada ”Bahasa Angkola Mandailing”. Karena kalau kita tanyakan kepada orang Mandailing bahasa apa yang dipakainya, sudah pasti orang yang bersangkutan akan menjawab bahwa bahasa yang dipakainya ialah Bahasa Mandailing. Dia tidak akan mengatakan ”Bahasa Angkola Mandailing”. Dan kalau kita tanyakan kepada orang Angkola, bahasa apa yang dipakainya, sudah tentu ia akan menjawab Bahasa Angkola. Keadaan yang demikian itu membuktikan bahwa tidak ada ”Bahasa Angkola Mandailing”.
Kenyataan memang menunjukkan bahwa orang Mandailing dan orang Angkola menggunakan satu bahasa yang sama. Tapi orang Angkola mengakui bahwa bahasa yang dipakainya atau bahasa ibunya ialah Bahasa Angkola dan orang Mandailing mengakui bahwa bahasa ibunya ialah Bahasa Mandailing. Dalam hal ini, kita dapat menggunakan pendapat pakar bahasa H.N. Van Der Tuuk untuk menjelaskan persoalannya. Van Der Tuuk pernah melakukan penelitian mengenai Bahasa Mandailing dan beberapa bahasa etnis lainnya yang terdapat di Sumatera Utara.
Dari hasil penelitiannya mengenai Bahasa Mandailing, Van Der Tuuk mengemukakan (1971: XLVII), “Dengan mengacu ke pantai barat Sumatera, dengan aman dapat dikatakan bahwa bahasa Mandailing meluas dari Ophir atau pegunungan Pasaman di sebelah selatan sampai ke perbatasan bagian utara dari Sipirok dan Batang Toru. bahasa Mandailing terbagi menjadi bahasa Mandailing utara (juga disebut bahasa Angkola) dan bahasa Mandailing selatan. Belum mungkin untuk merumuskan batas-batas yang pasti di antara keduanya”.
Keterangan atau pendapat Van Der Tuuk tersebut menunjukkan dengan jelas sekali bahwa bahasa orang Mandailing dan bahasa orang Angkola ialah Bahasa Mandailing. Tetapi Bahasa Mandailing yang digunakan oleh orang Angkola disebut juga Bahasa Angkola. Dengan demikian jelas pulalah bahwa sebenarnya tidak ada ”Bahasa Angkola Mandailing” seperti yang belakangan ini mulai disebut-sebut oleh orang-orang tertentu.
Perbuatan yang demikian itu benar-benar merupakan suatu kekeliruan (untuk tidak menyebut manipulasi) yang seharusnya tidak dilakukan oleh sarjana bahasa, yang seharusnya mengetahui tentang prinsip dan sikap emik dan etik dalam mengemukakan pendapat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan, termasuk mengenai bahasa sebagai salah satu unsur kebudayaan yang sangat penting.
Bahasa Mandailing (khususnya yang digunakan oleh kelompok etnis atau masyarakat Mandailing pada masa yang lalu) atau yang disebut oleh Van Der Tuuk sebagai bahasa Mandailing, terdiri dari lima ragam. Masing-masing dinamakan oleh orang Mandailing sebagai: (1) Hata Somal, ialah ragam bahasa Mandailing yang dipergunakan oleh orang-orang Mandailing dalam percakapan sehari-hari sampai pada saat ini; (2) Hata Andung, ialah semacam ragam bahasa sastra, yang pada masa dahulu khusus digunakan oleh orang-orang Mandailing pada waktu meratapi jenasah dalam upacara kematian. Juga digunakan oleh gadis ketika ia meratap di hadapan orang tuanya pada saat akan berangkat meninggalkan mereka untuk selanjutnya dibawa ke rumah keluarga calon suaminya;
(3) Hata Teas Dohot Jampolak, ialah ragam bahasa caci-maki yang khusus digunakan ketika terjadi hal-hal yang tidak baik (pertengkaran atau perkelahian); (4) Hata Sibaso, ialah ragam bahasa yang khusus digunakan oleh tokoh Sibaso (medium perantara alam nyata dan alam gaib) ketika berada dalam keadaan kesurupan dan juga digunakan oleh Datu (penyembuh tradisional) pada waktu melakukan pengobatan; dan (5) Hata Parkapur, ialah ragam bahasa sirkumlokusi yang khusus digunakan ketika orang berada di tengah hutan. Pada masa yang lalu digunakan oleh orang-orang Mandailing pencari kapur barus ketika berada dalam hutan. Itulah sebabnya maka ragam bahasa tersebut dinamakan hata parkapur.
Di samping kelima macam ragam bahasa yang telah dikemukakan di atas, pada masa lalu masyarakat Mandailing juga memiliki satu ragam bahasa yang lain yang dinamakan hata bulung-bulung (artinya bahasa daun-daunan), yang oleh Ch. A. van Ophuysen menamakannya bladerentaal. Berbeda dari bahasa yang biasa, yang digunakan sebagai kata-kata dalam hata bulung-bulung ialah daun tumbuh-tumbuhan yang dalam bahasa Mandailing disebut bulung-bulung.
Daun-daunan yang digunakan ialah daun-daunan yang namanya punya persamaan bunyi dengan kata-kata yang terdapat dalam bahasa Mandailing. Misalnya ialah daun tumbuh-tumbuhan yang bernama sitarak digunakan untuk menyampaikan kata marsarak (berpisah); daun tumbuh-tumbuhan yang bernama pau (pakis) digunakan untuk menyampaikan kata diau (pada saya); daun tumbuh-tumbuhan yang bernama sitanggis (setanggi) digunakan untuk menyampaikan perkataan tangis (menangis); daun tumbuh-tumbuhan yang bernama podom-podom digunakan untuk menyampaikan perkataan modom (tidur); daun tumbuh-tumbuhan yang bernama hadungdung digunakan untuk menyampaikan perkatan dung (setelah); dan daun tumbuh-tumbuhan yang bernama sitata digunakan untuk menyampaikan perkataan hita (kita).
Kalau misalnya daun hadungdung bersama-sama dengan daun sitata, daun sitarak, daun sitanggis dan daun podom-podom dikirimkan oleh seorang pemuda kepada kekasihnya, maka sang kekasih akan mengerti bahwa sang pemuda mengatakan kepadanya: “dung hita marsarak jolo tangis au anso modon“. Artinya “setelah kita berpisah, menangis saya dahulu baru bisa tertidur”.
Pada masa yang lalu, bahasa daun-daun biasanya digunakan oleh muda-mudi (disebut naposo nauli bulung) dalam masyarakat Mandailing, terutama pada waktu mereka berpacaran. Dalam hal ini, dapat dikemukakan bahwa pada masa yang lalu kegiatan berpacaran (asmara) antara pemuda dan pemudi dalam masyarakat Mandailing sama sekali tidak boleh dilakukan secara terbuka. Hubungan dan kegiatan berpacaran harus dirahasiakan atau dilakukan secara rahsia.
Oleh karena itu, jika dua orang muda yang berpacaran hendak menyampaikan sesuatu di antara mereka, maka mereka menggunakan bahasa daun-daunan. Dan jika seorang kekasih hendak menyampaikan daun-daunan sebagai “surat cinta” kepada pacarnya, dia harus melakukannya secara rahasia. Misalnya dengan meletakkan daun-daunan tersebut di satu tempat tertentu yang sudah mereka sepakati dan tidak diketahui orang lain. Secara sembunyi-sembunyi mereka yang berpacaran itu akan mengunjungi tempat rahasia tersebut secara bergiliran, untuk melihat apakah di tempat itu terdapat “surat cinta” yang terdiri dari daun-daunan.
Kalau dua orang yang sedang berpacaran hendak berdialog secara langsung, mereka akan melakukannya dengan cara yang disebut markusip (berbisik). Kegiatan markusip dilakukan pada waktu tengah malam agar tidak diketahui oleh orang lain. Dalam hal ini, pemuda dengan cara sembunyi-sembunyi mendatangi rumah tempat kekasihnya tidur. Kemudian dengan menggunakan sandi atau kode sang pemuda akan membangunkan kekasihnya dari balik dinding rumah tersebut. Untuk membangunkan sang kekasih, biasanya pemuda menjentik-jentik dinding rumah dengan jari tangannya secara perlahan-lahan. Dalam hal ini, biasanya sang kekasih memang sudah menunggu kedatangan kekasihnya untuk markusip pada waktu-waktu tertentu di tengah malam.
Oleh karena itu sang pemuda cukup menjentik dinding rumah beberapa kali untuk memberitahukan bahwa dia sudah datang dan berada di balik dinding. Kadang-kadang untuk memberitahu kehadirannya di balik dinding sang pemuda membunyikan alat musik genggong (jaw’s harp). Bila sang gadis sudah mengetahui kehadiran kekasihnya di balik dinding, maka mulailah mereka berdialog secara berbisik-bisik. Dialog antara dua orang yang markusip biasanya dihiasi dengan pantun-pantun percintaan yang romantis. Dan tidak jarang pula dihiasi dengan musik yang dimainkan dengan alat tiup yang terbuat dari ruas bambu (buluh) yang relatif sangat kecil, sehingga suaranya sangat halus. Alat musik yang khusus digunakan pada waktu markusip itu dinamakan tulila. (bersambung ke bagian 3)
Almarhum Z. Pangaduan Lubis adalah budayawan, sastrawan dan pengarang yang semasa hidupnya menetap di kota Medan. Pensiunan PNS RRI dan Dosen Luar Biasa Universitas Sumatera Utara (USU).