“Pinomat sakali saumur hidup”
Oleh: Dr. M. Daud Batubara. MSi
“Pinomat sakali saumur hidup” (setidaknya sekali seumur didup), untaian kata yang tidak jarang terdengar tercetus dari celah bibir masyarakat yang sering dikategorikan sebagai orang kurang mampu, ketika akan tiba Idul Adha (Hari Raya Haji), saat-saat masyarakat membicarakan qurban. Sebagai seorang muslim, rasanya memang keinginan untuk berqurban akan ada dalam hati meskipun hanya sekali untuk seumur hidup.
Diskusi pada bahasan Qurban dan orang tak mampu ini, dilatarbelakangi kebiasaan keinginan seorang muslim untuk berqurban sebagai satu kenikamatan bathin yang didambakan sebagai mimpi indah. Semakin menarik pula ketika dipahami tradisi saling memberi Bangsa Mandailing sejak dulu sampai kini masih terpelihara di pedesaan atas hasil yang mereka peroleh dari kebun dan ladang, menandakan bahwa saling memberi merupakan kebiasaan baik di daerah ini.
Petani di Mandailing sering memberikan beras yang baru dipanen kepada orang-orang yang pantas menurut ukuran kebiasaan masyarakat, meskipun hanya untuk sakali makan yang disebut dengan Padaion Dahanon Nabaru (memberi kesempatan mencicipi beras baru).
Demikian juga ketika memasak makanan yang kualitasnya lebih dari panganan sehari-hari. Hal-hal seperti ini setidaknya menggambarkan betapa orang Mandailing sebagai bangsa yang suka memberi dengan ikhlas pada sesama.
Sisi lain, tentang qurban sepertinya ada patri kebiasan berpikir yang tetap bertahan seakan Ibadah Qurban hanya milik orang-orang mampu, dan hal itu, sesuatu yang tidak mungkin bagi yang kurang mampu. Oleh karena itu, diskusi ini dimaksudkan memberi model alternatif bagi masyarakat untuk merealisasi ibadah qurban sebagai kenikmatan batin dalam berqurban dengan meretas pemikiran “tidak mungkin” menjadi “bisa”.
Orang Islam berkewajiban sholat lima waktu, puasa Ramadhan, membayar zakat, haji bagi yang sanggup, juga dianjurkan melakukan ibadah-ibadah sunat seperti zikir. Pandangan Agama Islam setiap aktivitas yang dilakukan manusia adalah perwujudan pengabdian kepada Allah SWT, sehingga semua organ tubuh, yang bertindak atas perintah otak akan bernilai ibadah. Interaksi antara manusia dengan manusia lainnya di kehidupan sosial dalam ajaran Islam bernilai sebagai ibadah jika diniatkan untuk kebaikan sebagai pengabdian kepada Allah SWT.
Kajian ibadah secara umum dalam ajaran Islam menuntut tiga hubungan dalam setiap detik-detik hembusan nafas manusia yang harus dijaga dengan baik yakni; pertama Hablum Minallah, hubungan vertikal makhluk dengan pencipta, yang saat ini oleh Generasi Milenial sering menyebut dengan Jalur Langit. Kemudian Hablum Minannas yaitu tentang hubungan baik antar manusia satu dengan manusia lainnya, dan Hablum Minalalam yaitu hubungan dengan alam sekitar non-manusia.
Ada tiga kesimbangan tatanan hidup yang harus dijaga setiap ummat Muhammad yakni tatanan hidup terhadap Allah, terhadap sesama manusia dan juga terhadap alam dimanapun kita sedang berada. Bukan saja hubungan dengan Sang Pencipta yang disebut ibadah, tapi kedua hubungan lainnya juga merupakan pundi-pundi ibadah dengan nilai pahala bila dilakukan dengan cara yang baik dan benar.
Seperti saat ini, ummat Islam di dunia sedang ramainya melakukan memotong hewan baik domba, lembu ataupun unta. Memotong hewan tertentu dengan cara dan waktu tertentu ini disebut berqurban. Ibadah ini merupakan salah satu praktik agama yang memiliki kedalaman makna dan filosofi yang sangat penting.
Sekilas terkadang terlihat mirip seperti tradisi, namun senyatanya, qurban mengandung nilai-nilai spiritual, sosial dan kemanusiaan yang mendalam. Pemahaman makna dan filosofi ibadah qurban dengan penuh penghayatan dan kesadaran, saat ini telah membawa fenomena menarik ditelusuri. Bukan hanya di perkotaan, senyatanya ummat Islam di pedesaanpun semakin tahun ternyata semakin tingga semangatnya dalam ibadah qurban. Hal ini terlihat dari jumlah hewan qurban yang tahun ke tahun semakin meningkat.
Fenomena ini boleh ditafsirkan bahwa aspek utama dari ibadah qurban sebagai keikhlasan melakukan pengorbanan, dengan menyembelih hewan qurban. Pengorbanan ini mencerminkan ketaatan dan kepatuhan kepada perintah Allah, serta rasa syukur atas segala karunia yang diperoleh. Hal ini bertautan dengan kesetiaan dan ketulusan iman.
Sebagai ibadah sosial kepada sesama, ibadah qurban juga mengajarkan nilai solidaritas dan kepedulian sosial umat yang berguna mengingatkan akan pentingnya berbagi dengan sesama. Awalnya, ini mencerminkan ajaran Islam tentang pentingnya memperhatikan kaum lemah dan mendorong terciptanya kebersamaan dalam masyarakat. Dengan cara ini, ibadah qurban tidak hanya menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga untuk memperkuat kebersamaan dan persaudaraan sesama manusia.
Quban yang berasal dari sejarah pengorbanan Nabi Ibrahim AS atas kesetiaannya kepada Allah, yang rela menyembelih putra kandungnya (Nabi Ismail) sebagai bentuk ketaatan dan kepatuhan; dan juga keikhlasan Nabi Ismail sebagai anak yang pasrah atas perintah Allah telah mengilhami umat muslim untuk mengikuti jejak ketulusan, keikhlasan, ketaatan dan kepatuhan kepada Allah. Meskipun pada akhirnya Allah menggantikan Ismail dengan seekor domba sebagai korban, kisah ini tetap menjadi penting dalam menata kataatan perintah dan kesabaran ujian Allah.
Boleh disebut, bahwa ibadah qurban bukanlah sekadar sebuah tradisi, tapi ia ibadah yang sarat dengan makna dan filosofi yang mendalam. Sejarahnya merupakan pembelajaran untuk memahami dan menghayati makna dalam ibadah sosial dengan penuh kesadaran, penghayatan, dan kepedulian terhadap sesama serta lingkungan sebagai bagian beribadah kepada Khalik.
Disinilah pentingnya pemahaman yang mendalam tentang makna qurban. Sebagai proses pembalajaran ketaatan, umat muslim harus mampu memperluas konsep pengorbanan dan kepedulian sosial sebagai ibadah yang relevan dalam konteks perubahan zaman.
Orang di Mandailing seperti disebut terdahulu, dalam karakter dasarnya kuat keinginan berkorban, terlihat dari kebiasaan hariannya yang sering menyempatkan diri untuk saling memberi. Tradisi di Mandailing umpamanya membiasakan pemberian makanan kepada tetangga atau sanak saudara sekampung ketika meperolah hasil kebun atau ladang ketika panen, membagi gulai ketika memasak yang jenisnya kualitasnya lebih dari yang dimasak sehari-hari, yang intinya suka berbagi terhadap sesamanya.
Kondisi inilah yang harus menjadi perhatian dimana patri kebiasan pikir bahwa Ibadah Qurban hanya oleh orang-orang mampu harus sudah dirubah. Sekarang dan kedepan kebiasan berpikir masyarakat tersebut harus diretas dengan memberi solusi dengan model yang secara nyata mampu membuktikan bahwa semangat “Pinomat sakali saumur hidup” dapat dilakukan. Qurban tentu bukan milik orang mampu saja seperti Ibadah Haji. Tradisi saling memberi yang menjadi dasar kuat bagi orang Mandailing, sudah lebih dari cukup sebagai modal dan bekal untuk berqurban.
Kecintaan pada Alloh untuk berbagi dengan sesama yang sudah menjadi tradisi baik Kemandailingan saat ini, kedepan harus dibuat model dalam hal pelaksanaan Ibadah Qurban. Realitasnya seorang, yang hidup kurang berkecukupanpun akan mampu berkurban dengan modal utama semangat kebiasaan saling memberi. Tentu tidak harus tiap tahun, setidaknya sekali seumur hidup.
Entah di tahun keberapa, yang pasti seorang muslim sudah dapat memulainya sejak kini. Usai ibadah qurban tahun ini, uang seribu sangat memiliki arti bila disisihkan setiap hari, sehingga jumlahnya 365 ribu di tahun depan. Itu artinya kerinduan batin untuk turut serta berqurban dalam hitungan matematis hari ini sudah dapat terwujud di tahun ke tujuh. Rasanya bukanlah hal sulit untuk mewujudkannya.
Kesempatan beribadah qurban memang bukan hanya hak-hak orang mampu, dan orang Mandailing pasti bisa membuktikan bahwa semangat berbagi dalam realitas untuk berqurban “Pinomat sakali saumur hidup”. Uang seribu rupiah tiap hari, adalah hal biasa bagi kaum lelaki memberikannya dalam bentuk rokok kepada orang lain. Tentulah bukan hal yang sulit bagi kaum Bapak untuk mengurangi rokok sebatang sehari untuk program ibadah qurban “Pinomat sakali saumur hidup”.
Bagaimana pula bila dilakukan dengan berhemat 2 batang rokok (asumsi harga rokok termurah seribu rupiah perbatang), maka tahun ke empat tentu telah sampai pada kepuasan batin dengan ibadah qurban “Pinomat sakali saumur hidup”.
Bila usia masih muda, kemungkinan seisi rumah memiliki kesempatan untuk berqurban. Model ini baru dengan pendekatan mengurangi batangan rokok. Tentu bukan tidak mungkin dengan sekaligus menyisipkan sedekah subuh dengan dua ribu tiap hari pada kotak tabungan di rumah, yang nantinya digunakan untuk berqurban. Atau pendekatan lainnya sesuai kebiasaan masing-masing.