Wawancara dengan Askolani Nasution
Dinas Pendidikan Mandailing Natal (Madina) telah memakai buku “Mengenal Lebih Dekat Mandailing Natal” dalam menerapkan kurikulum Muatan Lokal di sekolah-sekolah dasar kelas IV,V,VI se-Madina tahun 2012 lalu sesuai dengan amanat undang-undang.
Buku ini dinilai para kalangan sebagai buku yang paling memenuhi syarat sebagai buku pegangan murid untuk pelajaran muatan lokal. Bahkan pihak Dinas Pendidikan Sumut sudah menyatakan bahwa buku ini diharapkan menjadi acuan penyusunan buku muatan local di kabupetan-kabupaten se-Sumut. Tak cuma itu, Kabupaten Berangin, Jambi, sampai harus datang ke Madina melihat buku ini sebagai study banding.
Tetapi, terkini pihak Dinas Pendidikan Madina nampaknya mulai mengalihkan ke buku lain, tanpa diketahui penyebabnya.
Lalu, bagaimana sebenarnya buku muatan lokal, bagaimana pula standar yg harus dipenuhi? Berikut ini Holik Nasution dari Mandailing Online melakukan wawancara dengan Askolani Nasution, penulis buku buku Muatan Lokal “Mengenal Lebih Dekat Mandailing Natal” tersebut. Berikut petikannya:
Tahun 2012 yang lalu, buku Anda kabarnya sempat digunakan sebagai buku mata pelajaran Muatan Lokal di Mandailing Natal. Bagaimana sekarang lanjutannya?
Memang benar, waktu itu sudah sempat digunakan sebagai buku mata pelajaran Muatan Lokal di seluruh Sekolah Dasar di Mandailing Natal. Tapi tahun 2013 kemarin, entah mengapa, buku itu tidak digunakan lagi. Saya tidak tahu penyebabnya, itu Dinas Pendidikan yang paling tahu.
Urgensi buku itu seperti apa?
Pertama, itu satu-satunya buku mata pelajaran Muatan Lokal untuk Mandailing Natal yang mendapat rekomendasi dari Tim Pengembang Kurikulum Sumatera Utara dan Perpustakaan Nasional. Tentu karena dinilai sudah memenuhi ketentuan buku pegangan murid untuk pelajaran Muatan Lokal.
Ketentuan seperti apa maksudnya?
Ada banyak ketentuan yang harus dipenuhi untuk menjadi buku pegangan murid, baik dari segi isi maupun penyajian, Content dan Layout lah istilahnya. Misalnya ketentuan muatan isi, baik tingkat kedalaman berpikir maupun target pembelajarannya. Sebab, sebuah buku pegangan murid, itu amat berbeda dengan buku referensi lain. Penulis buku referensi, belum tentu bisa menulis buku teks pelajaran, karena adanya acuan-acuan tertentu yang harus dipenuhi.
Bisa Anda perdalam tentang acuan tersebut?
Begini, sebuah buku mestinya disesuaikan dengan tingkat kecakapan berpikir anak, baik dari segi kerangka berpikir, metode penyajian, hingga penggunaan bahasa. Anak SD misalnya, hanya mampu berpikir pada tingkat mengetahui. Dalam evaluasi pendidikan, tingkat itu dikenal dengan Ranah C1. Atau paling tinggi sampai Ranah C2, memahami konsep dan istilah keilmuan saja. Yang tahu betul tentang ranah itu, ya guru. Karena itu, lucu rasanya kalau ada penulis yang bukan guru menulis buku teks pelajaran.
Selain itu, buku pelajaran juga harus mengacu kepada kurikulum yang terinci. Jangan lupa, kurikulum nasional hanya membuat acuan untuk pelajaran nasional. Untuk kurikulum Muatan Lokal, harus dibuat daerah sendiri. Acuan kurikulum itu harus terurai secara sistematis per satuan kelas, satuan semester, dan satuan tatap muka. Itu yang dijadikan acuan untuk penulisan buku teks pelajaran. Kurikulum itu belum ada di daerah. Karena itu kemarin, kita mulai perumusan itu dengan Tim Pengembang Kurikulum Daerah dengan melibatkan tokoh-tokoh adat dan budaya. Hasil rumusan itu yang kita tindak-lanjuti menjadi buku teks “Mengenal Lebih Dekat Mandailing Natal.”
Harus seperti itu ya?
Tentu saja, karena sebuah buku Muatan Lolak harus dipastikan memuat karakteristik daerah, karena mata pelajaran ini diniatkan agar peserta didik memiliki kecakapan tentang potensi dan khazanah daerahnya, jangan hanya disusupi wawasan global saja. Jadi output pendidikan kita jangan hanya memiliki kecerdasan global, tetapi juga memiliki kecerdasan daerah. Dalam konteks seperti itu buku muatan lokal menjadi domain daerah.
Dan buku yang Anda tulis sudah memenuhi standar itu?
Kita melalui serangkaian sistematika yang harus kita lewati untuk memastikan kaidah itu telah terpenuhi. Pertama, pembahasan di tingkat Tim Pengembang Kurikulum Daerah yang melibatkan tokoh adat dan budaya Mandailing Natal. Naskah beberapa kali kita ubah hingga kita peroleh rekomendasi dari tim tersebut.
Lolos dari situ, kita bawa ke Tim Pengembang Kurikulum Provinsi. Di tahap ini ada lagi beberapa perubahan. Antara lain perubahan jenis font yang digunakan, perbandingan jumlah gambar dan teks, dan warna. Lolos dari situ, kita bawa lagi ke Perpustakaan Nasional untuk memperoleh ISBN. Itu nomor standar buku bahwa buku tersebut telah layak diterbitkan. Acuanya mulai dari orisinalitas bahan, standar keilmiahan, dan relevansi dengan tingkat pendidikan pembaca. Atas dasar nomor itu, buku “Mengenal Lebih Dekat Mandailing Natal” memenuhi semua kriteria. Termasuk surat pernyataan, bahwa penulis buku tersebut harus pernah menjadi guru.
Jadi tidak gampang ya menulis Buku Pelajaran
Tidak gampangnya karena harus ditulis guru, ada acuan kurikulum, ada standar evaluasi yang relevan baik dari segi jenis tagihan dan tingkat berpikir, hingga cakupan ranah kognitif yang sesuai dengan tingkat berpikir peserta didik. Itu baru dasar sebelum masuk ke Tim Pengembangan Kurikulum mulai dari tingkat daerah hingga pusat. Karena itu, lucu rasanya kalau ada buku teks pelajaran muatan lokal yang begitu saja ditetapkan menjadi buku pegangan murid di sekolah.
Kalau begitu, mengapa Dinas Pendidikan hanya menggunakan buku ini setahun?
Itu yang membuat kita merasa miris, apalagi dengan dalih adanya tawaran buku muatan lokal yang lain. Padahal sebuah buku, itu masa pakainya minimal 5 tahun sebelum digantikan buku yang lain. Apalagi buku yang kita tulis telah ditetapkan sebagai buku pegangan murid sekolah dasar untuk daerah Mandailing Natal. Bahkan harganya juga ditetapkan dalam rekomendasi yang kita terima. Jadi sebenarnya, kita bukan pada posisi bermohon lagi agar buku ini terus-menerus digunakan, tetapi mengingatkan kewajiban Dinas Pendidikan untuk melaksanakannya.
Apa saja yang diulas dalam buku itu?
Saya kira hampir semua persoalan Mandailing sudah kita masukkan, baik sejarah, adat, norma, seni-budaya, dan seterusnya. Minimal, dengan buku itu, peserta didik kita harapkan telah memiliki wawasan awal mengenai karakteristik daerahnya. Lalu kita urutkan dengan sistematis dalam standar kompetensi belajar yang relevan dan terukur.
Jika begitu, tidak ada alasan pemerintah daerah untuk tidak menggunakan buku itu?
Jujur, selama ini tiap sekolah bingung menerapkan materi pelajaran muatan lokal. Ada yang membuat pertanian, ada yang aksara Arab Melayu, dan lain-lain, bukan sepenuhnya menggambarkan karakteristik Mandailing Natal yang sebenarnya. Itu yang membuat kita prihatin. Dan kita buat buku ini, kita susun sedemikian rupa sesuai ketentuan penulisan buku teks, kita ingatkan lembaga sekolah, dan seterusnya. Jangan mengira ini hanya persoalan proyek, tetapi sepenuhnya kewajiban pemerintah daerah untuk memenuhinya.
Peliput : Holik Nasution
Editor : Dahlan Batubara