Oleh. Radayu Irawan, S.Pt
Penulis tinggal di Padangsidimpuan
Deretan kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialami perempuan terus mencuat ke permukaan setelah dialami oleh pasangan selebritis tanah air. Kasus ini terus menjadi buah bibir di tengah-tengah banyaknya kasus yang sedang dialami masyarakat Indonesia. Solusi yang ditawarkan untuk menyelesaikan persoalan ini pun sangat beragam dan datang dari berbagai kalangan.
Dilansir Kompas (25/09/2022) Menteri Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengajak masyarakat berani angkat bicara apabila menjadi korban atau sebagai saksi pelecehan seksual ke perempuan dan anak.
“Pada kesempatan ini, kami sampaikan tidak pernah berhenti dari tahun 2020 untuk mengkampanyekan dare to speak up, akan menjadi penting bahwa tidak hanya korban yang melaporkan, tetapi yang mendengar, melihat juga harus melaporkan,” kata Bintang dalam kampanye bertajuk Ayo Stop Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak di Car Free Day di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Minggu (25/9/2022).
Dare to speak adalah salah satu solusi yang diberikan dari pengampu kebijakan. Cukupkah hanya berani untuk melaporkan saja?
Jika kita telisik secara mendalam, ada tiga faktor yang menjadi pemicu KDRT di samping ada faktor-faktor mendukung lainnya. Ketiga faktor tersebut adalah perselingkuhan dan kemiskinan.
Pertama, faktor keimanan. Sistem yang diterapkan di negeri hari ini, bukanlah sistem Islam, melainkan sistem buatan manusia. Sistem ini tidak menciptakan orang-orang yang takut hanya kepada Allah. Melainkan, takut kepada manusia. Buktinya, banyak yang mau melakukan tindakan yang diharamkan Allah, asalkan dibayar dengan uang melimpah. Harga iman sangatlah murah.
Standar kebahagiaan diukur dengan kebahagiaan dunia semata. Sehingga membuat orang-orang menuruti hawa nafsunya tanpa mempertimbangkan keridhaan Allah. Termasuk melakukan KDRT. Kekerasan dalam rumah tangga, seringkali dipicu karena iman yang tipis. Tidak ada kesadaran hubungan dengan Allah. Bahwa setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Suami yang takut kepada Allah, akan senantiasa menjaga lisan dan perbuatan agar tidak menyakiti istri maupun anaknya. Jangankan untuk melakukan tindak kekerasan, suami yang memiliki keimanan yang kokoh, membentak saja pun, ia akan berpikir ribuan kali.
Kedua, faktor kemiskinan. Kemiskinan yang dialami bumi pertiwi ini, tiap tahun terus meningkat. Kemiskinan, membuat kepala keluarga, harus bekerja sekeras-kerasnya untuk memenuhi nafkah keluarganya. Sayangnya, walaupun suami telah bekerja sekeras-kerasnya namun juga tidak mendapatkan nafkah yang memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Tidak sedikit seorang suami bertindak kasar kepada istrinya, karena ketidakberdayaan suami untuk menafkahi istri dan anaknya. Di kala ekonomi yang kian menghimpit namun kebutuhan terus meningkat, di saat itulah suami kehilangan kontrol untuk melakukan KDRT terhadap keluarganya. Mungkin, saat uang tidak ada di tangan suami, namun saat itu pula istri terus meminta uang untuk membeli beras karena anak sudah terus menangis kelaparan. Hutang pun sudah menumpuk. Di saat inilah, suami kehilangan kontrol, mungkin akan melakukan sesuatu yang tidak di inginkan.
Ketiga, faktor perselingkuhan. Jika miskin menjadi salah satu faktor KDRT, maka kita berfikir bahwa, kaya berarti anti KDRT. Ternyata juga salah. Dari kasus KDRT yang dialami selebritis kita dapat mengambil banyak pelajaran. Bahwa cinta, popularitas serta harta saja, tidak cukup untuk menjamin seorang suami tidak berpaling ke lain hati. Karena tak ada istri yang bisa menjaga dan mengawasi suaminya 24 jam agar tidak berselingkuh.
Solusi dare to speak up yang ditawarkan oleh pengampu kebijakan, agaknya kurang menjadi solutif untuk mengentaskan KDRT yang marak di negeri ini. Banyak yang berani untuk melaporkan tindak KDRT yang dialami, namun di sisi yang lain, ia tak mampu mengeluarkan biaya. Banyak pula yang berani dan memiliki uang untuk melapor, namun tindak KDRT selesai hanya sebatas pada satu individu tersangka yang dilaporkan tersebut. Karena hukuman yang dijatuhkan, tak menimbulkan individu lain yang tak dilaporkan jera akan perbuatan dan tak pula merasa bersalah. Sebab sistem kehidupan yang diterapkan di negeri ini tak menjadi soko guru ketahanan keluarga.
Sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan yang mewarnai kehidupn di negeri ini agaknya tak mampu mencetak keluarga sakinah mawadah warahmah. Sistem sekuler tak mencetak insan-insan yang takut kepada Allah, dimanapun ia berada. Sistem sekuler ini, membuat orang tak memahami hak dan kewajiban serta pergaulan dalam suami istri serta keluarga.
Intinya, sistem kapitalis ini, telah gagal menjadi soko guru ketahanan keluarga. Negara tak berdaya untuk menopang dan menyokong serta menciptakan keluarga yang harmonis. Karena keterikatan ketiga faktor diatas.
Penyebab individu-individu memiliki keimanan yang lemah, karena negara tak membuat lingkungan yang kondusif. Sistem pendidikan yang diterapkan di negeri ini, adalah sistem pendidikan dengan orientasi nilai, bukan keimanan yang kokoh serta akhlak yang baik. Tentu, pendidikan yang berkualitas harusnya mampu menciptakan orang-orang yang takut kepada Allah. Nyatanya, sistem pendidikan hanya berfokus kepada, bagaimana agar bisa mendapatkan pekerjaan yang banyak menghasilkan uang, walaupun dengan jalan haram. Misalnya, tidak mempermasalahkan kerja di bank, bekerja sebagai PSK, bekerja di penjualan minuman keras dan pekerjaan haram lainnya. Yang terpenting dapat pekerjaan.
Penyebab kemiskinan juga terkait dengan sistem ekonomi kapitalisme di negeri ini. Ekonomi kapitalisme terus membuat kesenjangan antara miskin dan kaya semakin tajam. Orang miskin banyak, orang kaya yang sedikit namun bermewah-mewahan. Ada orang kaya mampu membeli mobil milyaran, rumah berdinding emas, outfit ratusan juta, kekayaan yang tidak habis hingga ke anak cucu. Sayangnya, orang miskin yang terus bertambah, hidupnya tak karu-karuan. Jangankan untuk makan nasi tiga kali sehari, sekedar makan pun susah.
Begitu pula dengan penyebab KDRT adalah perselingkuhan. Maraknya kasus perselingkuhan, diakibatkan karena tata pergaulan sekuler-kapitalis yang bercokol di negeri ini. Negara tak melarang setiap individu untuk memakai pakaian yang menutup aurat, negara membebaskan ikhtilat (campur baur antara perempuan dan laki-laki), khalwat (berdua-duaan yang bukan mahram) serta aktivitas yang tidak menjaga batasan antara perempuan dan laki-laki. Maka, interaksi yang sering akan menyebabkan timbulnya benih-benih cinta.
Oleh karena itu, agar KDRT dapat tuntas, maka negara harus menjadi soko guru ketahanan keluarga. Negara harus benar-benar hadir dalam mengurusi rakyat dengan syariat Islam. Hanya dengan penerapan syariat Islam dalam bingkai negara lah, KDRT dapat tuntas. Karena keimanan yang kokoh akan tercipta melalui sistem pendidikan berbasis aqidah islam. Dalam kurikulum pendidikan, ditanamkan ketakutan kepada Allah. Menciptakan individu yang takut bermaksiat dimanapun berada, sehingga keimanan senantiasa kokoh.
Kemiskinan hanya dapat tuntas dengan pengelolaan sistem ekonomi Islam. Dengan pengelolaan sesuai syariat Islam, kepala keluarga akan diberikan pekerjaan layak dengan gaji yang mencukupi kebutuhan keluarga. Dalam negara Islam, fasilitas pendidikan dan kesehatan gratis, karena sumber daya alam dikelola oleh negara. Sehingga, kepala keluarga hanya memenuhi kebutuhan pokok keluarganya saja. Sehingga beban hidupnya pun tidak terlalu berat, karena negara benar-benar mengurus rakyatnya dengan sebaik mungkin.
Perselingkuhan tuntas dengan tata pergaulan Islam. Penerapan tata pergaulan dalam Islam, memisahkan aktivitas antara laki-laki dan perempuan.
Tentu, ketiga pengaturan sistem ini, hanya dapat tegak dalam naungan negara Islam (Khilafah). Karena mustashil sistem penerapan Islam tegak dalam negara yang bukan negara Islam. Wallahu a’lam bishowab.