Pendahuluan
Pada hakikatnya sastra lisan merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan sebagai milik bersama.
Menurut Louis (dalam Sudikan, 2001:3) ada tiga unsur pokok suatu kebudayaan, yaitu:
(1) Isi yang berupa pola perilaku sosial gaya yang menyatakan sesuatu dan cara memahami sesuatu benda yang diwariskan;
(2) Sebuah kelompok yang merupakan suatu populasi atau kelas sosial tertentu;
(3) Hubungan antar isi dengan kelompok yang merupakan ciri khas yang membedakan dengan kelompok lain.
Menurut Danandjaya (1991:21) folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan. Sastra lisan berkaitan dengan masyarakat dan mempunyai dunianya sendiri. Bahasa yang digunakan dalam sastra lisan ini tidak sama dengan bahasa percakapan sehari-hari, berbeda pula dengan bahasa penutur adat. Bahasa untuk kepentingan ini mempunyai kontruksi sendiri.
Salah satu bentuk folklor lisan yang ada di Indonesia adalah ungkapan tradisional. Atmazaki (2005:137) menjelaskan lima keragaman sastra lisan sebagai berikut:
(a) segi bentuk, sastra lisan berbentuk prosa atau naratif yang biasanya merupakan cerita-cerita epos, baik berbentuk mitos, legenda atau dongeng;
(b) segi penciptaannya, sastra lisan merupakan pencaran kreasi masyarakat lama dan dianggap sebagai milik bersama. Jadi pencerita dapat langsung dianggap sebagai pencipta;
(c) segi pewarisa, sastra biasanya diwariskan kepada orang-orang tertentu, tidak setiap orang boleh mewarisi sastra lisan terutama yang berhubungan dengan kepercayaan dan mistik;
(d) segi setatus sosial, dalam penyampaian sastra lisan ada yang bersetatus sosial tinggi seperti pemangku adat dan ada juga yang bersetatus sosial rendah seperti pendendang; dan (e) segi fungsi, sastra lisan mempunyai banyak fungsi.
Dengan sastra lisan masyarakat mampu mengekspresikan gejolak jiwa dan merenung tentang kehidupan. Menurut Brunvand (dalam Danandjaya, 1984:21) folklor berdasarkan tipenya terdiri atas tiga macam, yaitu:
(1) folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan yang merupakan bagian dari tradisi lisan;
(2) folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Misalnya, permainan rakyat;
(3) folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Danandjaya (1984:21-22) mengemukakan, bentuk-bentuk yang termasuk dalam folklor lisan adalah:
(a) bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan; (b) ungkapan tradisional, seperti pepatah, peribahasa dan pameo;
(c) pertanyaan tradisional seperti teka-teki; (d) puisi rakyat seperti pantun, gurindam, dan syair; (e) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda dan dongeng; (f) dan nyanyian rakyat.
Karya sastra juga memiliki struktur yang susunan unsur-unsur pembangunnya memiliki hubungan saling ketergantungan. Struktur karya sastra adalah susunan unsur-unsur yang membangun sebuah karya sastra. Menurut Rusyana (1981:38-39). Struktur cerita memiliki struktur cerita dan lingkungan pencerita.
Sturuktur cerita dan lingkungan pencerita. Struktur cerita adalah susunan cerita dipandang dari hubungan antara unsur-unsur yang mengandung cerita itu secara keseluruhan. Lingkungan pencerita maksudnya adalah dimana dilangsungkanya tradisi lisan. Sande (1986:11) menegaskan bahwa struktur cerita adalah susunan cerita dipandang dari hubungan antara unsur-unsur yang mengandung cerita itu secara keseluruhan.
Hal sederhana juga dikemukakan oleh Rusyana (1981:52) bahwa, keseluruhan, misalnya hubungan waktu, logika, dan dramatik. Setiap bagian akan menjadi berarti bila dikaitkan dengan bagian-bagian yang lain, dan bagian itu akan lebih berarti jika ada hubungannya atau sumbangannya terhadap susunan keseluruhan sebuah cerita.
Lebih lanjut Rusyana (1981:39) menjelaskan bahwa di dalam analisis tentang cerita (hasil sastra lisan) dilakukan berkenaan dengan struktur cerita yang berhubungan dengan alur, pelaku cerita dan peranannya, amanat cerita, gaya bahasa, dan pelaku cerita.
Pelaku-pelaku di dalam cerita terdiri atas manusia, binatang, lingkungan alam, tumbuh-tumbuhan dan benda. Rusyana (1981:39) menjelaskan bahwa di dalam menganalisis lingkungan penceritaan dilakukan berkenaan dengan penutur cerita, kesempatan bercerita, tujuan bercerita, dan hubungan cerita dengan lingkungannya.
Contoh analisis yang dikemukaan di atas adalah penganalisisan sastra lisan sebagai seni pertunjukan antara lain dapat dilihat dari segi pemain, keterlibatan khalayak, suasana pertunjukan, sarana, dan alat pertunjukan.
Menurut Tuloli (dalam Didipu, 2010:7) sastra lisan mempunyai kedudukan sebagai berikut: (1) ciptaan masyarakat masa lampau atau mendahului penciptaan sastra Indonesia modern; (2) satu aspek budaya Indonesia yang perlu digali untuk memperkaya budaya nasional; (3) melekat pada jiwa, rohani, kepercayaan dan adat istiadat masyarakat suatu bangsa dan yang mereka pakai untuk menyampaikan nillai-nilai luhur bagi generasi muda; dan (4) strategis dan kerangka pembangunan sumber daya manusia, yaitu untuk memperkuat kepribadiaan. Sementara itu, Amil, dkk (dalam Undri, 2009:147).
Marhata-hata memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan nilai yang sangat berarti bagi masyarakat serta mengandung pesan-pesan yang bermanfaat bagi pendengar pada masa lampau, masa sekarang dan pada masa yang akan datang. Marhata-hata memiliki kedudukan sebagai sastra daerah yang timbuh dan selalu dipertahankan keberadaannya.
Menurut Bascoro (dalam Danandjaya, 1991:19) fungsi sastra lisan yaitu:
(a) sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencerminan angan-angan suatu kolektif;
(b) alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan;
(c) alat pendidikan anak; dan
(d) alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.
Menurut Nurizzati (1994:3-4) menjelaskan fungsi sastra lisan yang dapat dilihat dari berbagai segi yaitu:
(a) segi perkembangan kebudayaan, fungsinya adalah memperkaya khasanah budaya berbentuk sastra;
(b) sudut kreativitas kepengarangan, berfungsi sebagai sumber ilham penciptaan karya sastra modern yang memperlihatkan keragaman persoalan hidup dan budaya hidup;
(c) sudut kemanfaatan bagi penikmat, berfungsi sebagai media pendidikan dan hiburan; dan
(d) sebagai alat sosialisasi dan sarana dakwah.
Amil, dkk (dalam Undri, 2009:148) fungsi marhata-hata ini adalah sebagai hiburan dan sebagai pengajaran, sarana untuk memberikan nasehat kepada generasi muda. Marhata-hata dipertunjukan dirumah-rumah yang sedang mengadakan perkawinan (alek kawin), sunan rasul (sunatan), dan halal bin halal.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mendiskiripsikan (1) struktur marhata-hata, (2) kedudukan marhata-hata, dan (3) fungsi marhata-hata dalam upacara marhorja di Nagari Kota Nopan Kecamatan Rao Utara Kabupaten Pasaman.
- Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang datanya dinyatakan dalam bentuk verbal dan dianalisis tanpa menggunakan teknik statistik. Semi (1993:23) menyatakan bahwa penelitian kualitataif adalah penelitian yang dilakukan dengan tidak menggunakan angka-angka tetapi ke dalam penghayata terhadap interaksi antara konsep yang sedang dikaji secara empiris.
Metode penelitian ini deskriftif metode ini digunakan karena data-data yang akan diteliti tidak merupakan angka-angka, tetapi data yang diperoleh bersifat deskriptif, yaitu berupa kalimat-kalimat tuturan marhata-hata dalam upacara marhorja di Nagari Kota Nopan Kecamatan Rao Utara Kabupaten Pasaman yang disampaikan secara lisan dan peneliti transkripsikan melalui ragam bahasa tulis.
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan beberapa teknik sebagai berikut: (1) teknik lanjut cakap; (2) teknik lanjut rekam; (3) teknik lanjut cacat. Sudaryanto ( dalam Nadra, 2009:65-67). Data peneliti ini dianalisis dengan cara berikut ini: (1) mentranskipsikan, data dari hasil rekaman marhata-hata ditranskipsikan ke dalam bahasa tulis; (2) menerjemahkan, hasil transkifsi data marhata-hata berupa bahasa Mandailing diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berdasarkan tuturan marhata-hata yang disampaikan oleh informan; (3) mengklasifikasikan dan menganalisis data berdasarkan struktur, kedudukan, dan fungsi marhata-hata. (4) membuat kesimpulan dan laporan penelitian.
C. Pembahasan
1. Struktur Marhata-hata
a) Struktur Cerita
Struktur cerita adalah urutan acara marhata-hata mulai dari awal sampai akhir, yaitu:
1) Marhata-hata di bagas godang (marhata-hata di rumah raja) ini, tuan rumah (si Pangkal) bermaksud menyampaikan maksud dan tujannya untuk disuruh berkumpul di rumah raja begitu juga dengan pihak (parkulaan) menjawab hata-hata (si Pangkal) dengan meluruskan maksud dan tujuan (si Pangkal) untuk berkumpul di rumah raja yaitu untuk mengadakan upacara marhorja.
2) Marhata-hata lau mangupa-upa (marhata-hata hendak memberikan nama) kedua penganten ini dan pihak raja, si pangkal, dan parkulaan sama-sama menyampaikan maksud mereka untuk mangupa-upa kedua penganten, walaupun upacara mangupa-upa tersebut tidak begitu mewah namun masih cukup syaratnya. Raja menunjuk orang yang pantas melakukan upacara mangupa-upa tersebut. Marhata-hata lau mangupa-upa (marhata-hata hendak memberikan nama) ini adalah pihak raja menyilakkan bayo pangupa yang sudah dipilih untuk mangupa-upa penganten.
3) Marhata-hata mangupa-upa (marhata-hata memberikan nama) tahap awal mangupa-upa ini adalah pengaturan posisi duduk setiap hadirin selama upacara mangupa berlangsung. Tempat duduk tiap-tiap para pelaksanan upacara mangupa sebagai berikut. Sebelah kanan duduk bayo panggoli (penganten laki-laki) yang didampingi sebelah kanannya oleh kahanggi yang ikut ke tapian raya bangunan.
Di sebelah kiri duduk pula boru na nauli (penganten perempuan) didampingi oleh anak boru mereka sementara arah di telaga (arah ke pintu masuk) tempat duduk semua suhut laki-laki dan perempuan, anak boru, raja, dan hatobangon. Pakaiyan adat yang dikenakan pengantin ke tapian raya bangunan tetep dipakai. Marhata-hata memberikan nama ini pihak bayo pangupa yang telah ditunjuk oleh raja tadilah yang berhak mangupa-upa penganten.
Perangkat pangupa diletakan oleh bayo pangupa di hadapan kedua pengantin di sebelah kiri dan kanan perangkat pangupa di letakkan masing-masing satu piring pangupa lain yang isinya adalah ikan dan daging ayam. Satu piring diletakkan di hadapan kelompok kahanggi dan piring yang lain di hadapan anak boru.
4) Marhata-hata martarimo kasih (marhata-hata mengucapkan terima kasih) ini merupakan marhata-hata penutup dari seluruh marhata-hata dalam upacara marhorja ini. Dalam hata ini pihak tuan rumah (si Pangkal) dan pihak tamu sama-sama sepakat untuk menutup keseluruhan upacara marhata-hata dalam upacara marhorja.
b) Lingkungan Penceritaan
1. Sekilas tentang Marhata-hata dalam Upacara Marhorja
Menurut informan yang diperoleh dari salah seorang informan yang bernama Oloan Lubis, marhata-hata dalam upacara marhorja ini merupakan salah satu upacara adat yang berasal dari Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Lebih kurang tahun 1956 acara ini sudah mulai dipertunjukkan di Kota Nopan. Orang-orang telah banyak mempelajarinya, hingga adanya kelompok-kelompok marhata. Namun yang menjadi prihatin pada saat ini, yang kurangnya minat kaum muda untuk mempelajari. Mereka beranggapan tradisi ini untuk golongan tua.
2. Pemain
Tukang marhata-hata pada upacara marhorja ini berjumlah empat orang yang terdiri pihak tuan rumah (si Pangkal) atau juru bicara dalam acara ini adalah Horas Matua dan pihak yang memberiakn istri kepada pihak pertama (parkulaan) adalah Ahmad Irwan Lubis dan orang yang akan diajak berunding pihak raja (harajaan) Oloan Nasution dan (bayo Pangupa) Pangayupan.
3. Keterlibatan Khalayak
Khalayak yang dimaksud adalah penonton secara langsung melihat pertunjukan. Penonton merupakan suatu aspek yang tidak kalah pentingnya, penonton memberikan unsur semangat kepada tukang marhata.
4. Suasana Pertunjukan
Suasana marhata-hata dalam upacara marhorja antara tukang marhata dengan keluarga yang mengankat acara sangan dekat. Persaudaraan tampak terjalin. Persaudaraan itu terlihat karena dalam suasana yang islami.
5. Sarana Pertunjukan
Sarana dalam pertunjukan ini cukup mendukung sederhana antara lain: Mikrofon (pengeras suara), pelaminan, dan makanan. Mikrofon gunanya agar suara terdengar keras. Pelamiana untuk tempat keduan pengantin. Makanan sebagai ungkapan terima kasih tuan rumah kepada tamu.
- c) Kedudukan Marhata-hata
Kedudukan upacara adat marhata-hata dalam upacara marhorja ini memiliki kedudukan tersendiri di tengah-tengah masyarakat Mandailing di Kota Nopan sebagi berikut:
1) Nilai-nilai
(a) Nilai Kerukunan
“Lubuk ningia pangkailan asal ulang pandurungan, muda rumbuk ningia parpokatan angke roha ningia disi nalungunan, disi dope somargorar hasonangan, mudah-mudahan nian sahat gomgom tondi tu pamatang, tondi marsipio-pioan, marsitogu-toguan, marsiring-iringan”
Terjemahannya: Dalam katanya tempat memancing asal jangan tempat menjalah kalau rukun katanya kesepakatan di situlah katanya perasaan rindu dan di situlah baru dinamakan kesenangan mudah-mudah selalu sehat sesuai tondi kebadan, tondi pangil memanggil, berpegang-pegangan, beriring-iringan. Maksud dari tuturan marhata-hata ini adalah menyuruh kedua penganti agar selalu rukun dan damai dalam menjalani bahterai rumah tangga dan saling menjaga atas segala sesuatu kemungkinan yang akan terjadi di dalam rumah tangga mereka.
(b) Nilai Spiritual
Harapan dan doa agar kedua pengantin mendapatkan rumah tangga yang lenggeng dan memperoleh keturunan anak yang baik-baik. Orang yang marhata-hata juga mengharapkan dan mendoakan agar rumah tangga yang akan dibina oleh kedua pengantin selalu diberkahi oleh tuhan. Harapan dan doa merupakan fungsi penting dalam pelaksaan upacara Mangupa.
(c) Nilai Sosial
Petuah dan nasehat itu umumnya merupakan pertunjukan hidup bermasyarakat. Seperti tuturan berikut ini: “Pature na di ruar ni bagas nangkinniani malo mamasukkon diri tu koum kahanggi nangkinniani angkon diramban halak dohot tale anso manjadi nanggan iba songon pandokon ni natobagang-tobagan tarpayung di bulung ujung di anduri na marbingke maldo, tardok pangalaho madung marujung nangkinniani on pe mulai sian sonnari malo hamu marpangalaho nangkinniani songon pandokon natobang-tobang horbo saeto tanduk botik mangasa gogo malo hami marbisuk songon i marpangalaho”.
Terjemahannya: Perbaiki yang di luar rumah yang tadi pandailah memasuki dirimu kepada kaum kahanggi yang tadi harus dilempar orang dengan tali baru mendapat kebaikan seperti yang dikatakan natobang-tobang pakai payung daun pisang di penampi berbingkai rotan, terbilang perjalanan yang sudah berujung yang tadi ini pun mulai sekarang pandai-pandailah kamu berjalan. Seperti yang dikatakan natobang-tobang kerbau sejengkal pepaya mengasah kekuatan pandai-pandailah mengambil hati begitu juga berjalan.
Marhata-hata di atas pengantin disuruh bisa masuk dalam mebina masyarakatnya dan berpandai-pandai memasukkan diri dengan seluruh keluarga dan kedua pengantin diharapkan bisa berbuat baik kepada semua orang agar mereka pun mendapat kebaikan dan berperilaku baik. (bersambung)
Disadur dari : Makalah Nurhidayati, Bakhtaruddin Nasution, M. Ismail Nasution / Program Studi Sastra Indonesia FBS, Universitas Negeri Padang