Bangau putih hilang dari langit Jepang sejak tahun 1970-an.
Sekarang ratusan bangau berhasil kembali ke alam.
Sangat jarang dimanapun di dunia ini spesies yang pernah hilang hidup harmonis dengan manusia di lingkungan manusia.
Keajaiban ini terjadi karena melalui efford yang kuat dari mereka yang ingin hidup berdampingan dengan bangau lagi.
Kota Toyooka sedang berusaha untuk bangkit.
Toyooka berpenduduk 80.000 jiwa berada di kawasan lembah, aliran air besar mengalir di sekitarnya.
Sungai Maruyama memberikan keberkahan bagi petani di lembah itu. Ada banyak rawa dan sawah di sekitar sungai itu.
Bangau putih memiliki nafsu makan yang tinggi. Mereka memakan hewan kecil seperti kodok, belalang, capung dan ikan loaches.
Dengan meningkatkan populasi hewan-hewan kecil itu akan dapat meningkatkan populasi bangau putih.
Ministry of Agriculture, Foresty, and Fisheries dalam laporan awal tahun 2021 mengungkapkan, para petani berusaha keras untuk meningkatkan populasi bangau putih.
Bangau putih di masa lalu hidup di hampir semua penjuru Jepang.
Kepunahan bangau putih terjadi akibat polusi lingkungan yang diakibatkan oleh pestisida dan pupuk sintetis yang digunakan petani.
Tetsuro Inaba, seorang simulator dari asosiasi pertanian di Jepang menuturkan “dalam pertanian konvensional kita menggunakan pestisida untuk mengendalikan gulma maupun hama. Lama-lama kita menggunakan dosis yang makin tinggi dan kehidupan yang ada di sawah akan terganggu dan mati”.
Dia mengungkapkan, banyak orang yang pesimis bahwa mustahi menerapkan metode pertanian yang ramah lingkungan, dimana bangau dan kehidupan lainnya bisa saling berdampingan dengan manusia.
Namun, segala pesimis itu dapat dibantah oleh metode pertanian “Bangau Putih”.
“Prinsip dasar ini adalah, bagaimana selama budidaya padi kita bisa menjaga mahluk-mahluk hidup tetap dapat hidup baik sepanjang tahun,” kata Inaba.
Metode ini menekankan untuk tidak menggunakan pestisida dan pupuk sintetis yang sangat mengganggu ekosistem di sawah.
Tetapi tanpa pestisida tentu gulma dan hama akan mengganggu produksi tanamam padi.
Untuk mengatasi hal ini, para petani di lembah itu menggunakan metode yang berbeda dari budidaya padi pada umumnya.
Dan kawasan Hyogo di Shunji-Toyooka ini menjadi pusat metode “Bangau Putih” di Jepang.
Di sini Asosiasi Petani Bangau Putih mengembangkan metode pertanian organik mereka.
Titik vital pertanian ini adalah tata kelola air (irigasi) pada sawah.
Petani mengisi sawah mereka dengan air dari musim dingin hingga musim semi.
Tujuannya agar bangau dan kehidupan lainnya dapat bertahan selama musim dingin.
Tapi bukan hanya perendaman padi sawah, setelah panen mereka menebarkan campuran dedak padi dan kompos ke lahan sawah, tujuannya memberi makan kehidupan yang ada di lahan itu.
Hewan cacing memakan makanan itu dengan menggali tanah dan membuang kotorannya ke dalam air. Kotoran itu pupuk yang sangat baik untuk tanaman padi.
Kotoran itu terakumulasi di permukaan tanah menciptakan tekstur halus dan lapisan lumpur lembut.
Lapisan lumpur itu juga menutup pertumbuhan biji gulma, sehingga sangat efektif menekan gulma.
Pada musim semi hingga musim panas adalah musim membesarkan anak di kalangan bangau putih. Sedangkan akhir Mei adalah musim tanam di lembah itu.
Para petani menjaga akar padi tetap kuat agar tahan pada serangan penyakit. Ini langkah awal dalam pertanian organik.
Setelah penanaman, petani meningkatkan level air. Rumput akan cepat tumbuh jika level air rendah. Dan rumput harus ditekan agar padi tidak terganggu.
Air yang dalam tidak hanya mengendalikan gulma, tetapi juga menunjang kehidupan hewan-hewan kecil di antara rumpun padi.
Pada bulan Juni umumnya petani melakukan pengeringan pada lahan padi, untuk drainase pertengahan musim panas bertujuan menambah oksigen ke dalam tanah dan menguatkan akar padi.
Tetapi, jika lahan dikeringkan maka kehidupan hewan-hewan kecil akan terancam dan mati.
Maka metode pertanian “Bangau Putih” akan menunda pengeringan di bulan tersebut.
Setelah berudu atau cebong sudah berkaki akan dapat bergerak keluar dari air. Dan larva capung pun sudah tumbuh menjadi capung dewasa. hewan-hewan kecil itu tak lagi tergantung pada air.
Pada tahap itu anak-anak bangau pun sudah tumbuh dewasa seperti induknya. Maka mereka sudah bisa terbang kasana kemari.
Petani memperhatikan betul pertumbuhan mahluk-mahluk itu.
Barulah pada bulan Juli petani mengeringkan lahan.
Selama masa pengeringan, hewan-hewan kecil terevakuasi ke parit-parit di sebelah sawah. Petani sangat hati-hati agar mahluk-mahluk itu tetap hidup selama pengeringan.
Rumput atau gulma memang berkembang di masa pengeringan lahan. Tetapi gulma ini akan kalah bersaing dengan padi karena tanaman padi yang sudah besar menghalangi gulma dari sinar matahari.
“Selama priode ini padi akan tumbuh lebih cepat dari gulma. Jadi, tidak ada masalah,” kata Inaba.
Pada tahap buah padi sudah bermunculan, maka hama akan meningkat. Belalang pemakan daun, walang sangit penghisap sari padi.
Tetapi jumlah musuh alami hama itu juga akan bermunculan memakan hama, seperti katak, laba-laba, capung dan mantis. Hewan-hewan kecil itu terpelihara karena penundaan pengeringan, juga tidak adanya pestisida.
Sangat penting untuk dipahami petani, bahwa cara terbaik menangani hama adalah dengan memelihara musuh alami hama itu sendiri. Biarkan mereka hidup di lingkungan yang sama.
Metode “Bangau Putih” dimulai tahun 2003 di hamparan 0,7 hektar oleh 5 orang petani.
Beras yang mereka hasilkan bukan saja aman bagi kesehatan manusia, tetapi rasa nasinya juga nikmat, manis dan pulen.
Dan ini adalah salah satu beras kualitas terbaik di Jepang.
Konsumen juga membeli beras mereka dengan harga tinggi, karena beras ini tidak meracuni tubuh manusia.
Beras mereka sudah diekspor menuju 5 negara.
Kini di tahun 2021 ini luas lahan yang digarap bermetode “Bangau Putih” telah mencapai 4.000 hektar.
Di Indonesia metode organik ini masih sulit terterapkan, karena beras yang dihasilkan dari metode organik sama nilainya dengan beras yang dihasilkan dari metode penggunaan pestisida racun.
Editor: Dahlan Batubara