Oleh: Nahdoh Fikriyyah Islam
Dosen dan Pengamat Politik
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, masih banyak anak muda yang tidak toleran dalam hal politik, dibandingkan intoleransi pada praktik ritual sosial keagamaan. Hal ini menjadi temuan dalam hasil survei suara anak muda tentang isu-isu sosial politik bangsa pada Maret 2021.
Ia memaparkan, sebanyak 39 persen anak muda menyatakan keberatan jika orang non-Muslim menjadi presiden, sedangkan anak muda yang tidak keberatan 27 persen, dan tergantung 28 persen. Sementara, mayoritas anak muda menyatakan tidak keberatan apabila orang non-Muslim menjadi gubernur (36 persen) maupun bupati/wali kota (35 persen), ada 29 persen yang keberatan, serta 30 persen dan 32 persen tergantung.
Burhanuddin menuturkan, persentase intoleransi atau yang menyatakan keberatan pada anak muda lebih rendah dibandingkan hasil survei kepada populasi umum di tahun-tahun sebelumnya, dalam bidang keagamaan. Meskipun tingkat intoleransi pada anak muda lebih rendah, menurut Burhanuddin, hal ini perlu dibenahi. (republika.co.id. 21/03/2021)
Gaya hidup kalangan anak muda selalu menjadi trend dan tidak habis untuk dibahas. Sebelumnya, kehadiran atau keterlibatan kaula muda dalam kancah politik tidak terlalu dipedulikan bahkan ruangnya juga tidak begitu luas.
Anak muda sepuluh tahun silam, lebih banyak memilih terjun berkecimpung di dunia akademis untuk melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang yang paling tinggi. Setelah itu, mencari kehidupan masing-masing berdasarkan latar belakang pendidikan atau setidaknya mendapatkan pekerjaan yang layak sebagai pengakuan bagi kerja kerasnya dalam menuntut ilmu.
Namun kini, polarisasi politik berubah. Kehadiran para kaum muda sudah semakin menggeliat. Mulai dari menghidupkan kembali orkam-orkam dan ormas, sampai bertarung di pemilihan umum, baik pilkada maupun pileg. Usia-usia belia yang dulunya masih fokus belajar, kini semakin meminati dunia politik.
Belum lagi, keterlibatan anak muda saat unjuk rasa menolak kebijakan pemerintah yang dianggap tidak adil. Sebut saja aksi penolakan UU omnibus law, juga saat mengawal keputusan KPU dalam pengumuman hasil pilpres. Tidak hanya itu, bahkan mengawal kegiatan keagamaan pun, anak muda usia-usia pelajar kini jadi wajah baru dalam life style pemuda di negeri ini.
Seperti yang disampaikan oleh Burhanuddin, bahwa anak-anak muda ternyata masih banyak yang tidak toleran (intoleran) berpolitik berdasarkan hasil survei yang ia lakukan. Namun, seharusnya Burhanudiin menjelaskan, beberapa indikator yang menjadi ukuran intolerannya anak muda berpolitik, yang menurutnya masih tinggi angkanya.
Sayangnya, indikator yang diharapkan tidak dimunculkan. Dan tentu saja bisa mengundang tanda tanya besar bagi masyarakat, benarkah anak muda sekarang intoleran? Sejauh mana peran anak muda dalam politik hari ini hingga bisa diindikasikan dengan ketidaktoleranan mereka di dunai politik? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, tentu dibuthkan analisis. Maka analisis tersebut berangkat dari hasil survei yang sudah dilakukan oleh Burhanuddin tersebut sebagai berikut.
Pertama, penyematan kata intoleran tanpa merumuskan beberapa indikator yang jelas sebenarnya terlalu gegabah. Karena persoalan intoleran membutuhkan data dan fakta yang terjadi di lapangan dan tentu saja perilaku intoleran tersebut harus sudah menjadi habit dikalangan anak muda. Artinya, kejadian itu kontiniu dilakukan bukan sekedar asumsi belaka. Namun, survei itu tidak menyebutkan rentan waktu pemikiran atau perilaku intoleran itu terjadi. Sehingga sulit diterima.
Kedua, dalam survei tersebut, disebutkan bahwa 39% anak muda keberatan jika non muslim jadi presiden. Adakah ini indikator utama survei? Andaipun itu benar ada penolakan, harusnya penyurvei memahami bahwa sebanyak 27% dari jumlah penduduk Indonesia adalah kalangan muda, yang tentunya mayoritas beragama Islam. Jadi, jika mereka menolak sebanyak 39%, harusnya itu bukan intoleran, tetapi sudah diatas toleran. Sebab artinya, 61% persen lagi menerima bukan? Jadi, sangat toleran hingga menabrak ajaran agamanya sendiri.
Ketiga, apakah toleran dalam berpolitik yang dimaksud harus mencapai 100% penerimanaan kalangan muda utuk dipimpin oleh non muslim dari umat Islam? Oke, mungkin mustahil demikian, katakan saja 70-90%. Di atas 50% saja itu sudah mewakili suara mayoritas alias sudah demokratis, bukan? Lalu, kenapa masih disebut intoleran?
Begitulah pemikiran demokrasi-sekuler yang diadopsi oleh politisi dan penguasa di negeri ini. Melihat angka 39% saja menolak pemimpin non muslim sudah dianggap dan dijadikan sebagai indikator intoleransi. Padahal, sah-sah saja jika ada pilihan berbeda di kalangan masyarakat khususnya anak muda dalam memandang dunia politik khususnya kepemimpinan. Secara demokrasi yang didewakan kaum berkiblat Barat, katanya perbedaan adalah hak asasi. Lalu kenapa menuntut harus sama?
Belum lagi angka 39% tersebut adalah anak muda yang beragama Islam. Berlatar belakang dari keluarga muslim dan mendapatkan pendidikan agama yang baik di keluarganya. Atau bisa juga dari kalangan pelajar/mahasiswi sekolah Islam atau organisasi kepemudaan berbasis Islam. Tentu saja, su’ur Islam mereka masih bagus dan menggelora. Dan sesuai ajaran Islam, haram memilih pemimpin non muslim. Itu suatu ajaran agama. Apakah negeri ini berani mengatakan bahwa ajaran agama Islam tidak relevan untuk diyakini lagi? Wallahu a’alam bissawab.