Oleh : Novida Sari, S.Kom
Ketua Majelis Islam Kaffah Mandailing Natal
Di tengah keterpurukan ekonomi dan menurunnya daya beli masyarakat, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengeluarkan pernyataan kontroversional. Ia mengatakan di dalam acara bedah buku Mengarungi Badai Pandemi, bahwa utang merupakan salah satu instrumen untuk menyelamatkan masyarakat dan perekonomian di masa pandemi covid-19. Pasalnya, APBN mengalami pelebaran defisit sehingga membutuhkan pembiayaan yang salahsatunya bersumber dari utang (cnnindonesia.com, 24/07/2021).
Bukan menjadi rahasia umum, bahwa utang menjadi sumber keuangan negara, hal ini merupakan konsekuensi dari penerapan ekonomi kapitalisme. Banyak alasan untuk mengatakan wajar bagi pemangku kekuasaan mengambil utang, seperti yang disampaikan oleh bendahara negara.
Menurut bendahara negara, bahwa APBN telah menanggung beban yang luar biasa selama pandemi covid-19. Di satu sisi, belanja negara melonjak untuk penanganan kesehatan, pemberian bantuan sosial kepada masyarakat terdampak, bantuan kepada dunia usaha, dan lainnya. Sementara penerimaan negara justru merosot karena aktivitas ekonomi lesu. Sehingga utang menjadi solusi untuk menyelamatkan rakyat.
Publik pun menyimpulkan bahwa pandemi telah menjadi alasan utama untuk menambah utang. Padahal utang pemerintah Indonesia sebesar Rp6.418,15 triliun atau setara 40,49 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per akhir Mei 2021.
Pemerintah Tidak Mawas
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J. Rachbini mengatakan Presiden Joko Widodo (Joko Widodo) berpotensi mewariskan utang hingga Rp10 kuadriliun pada akhir masa kepemimpinannya. Data yang ia punya menunjukkan utang yang ditanggung pemerintah sudah mencapai Rp8.670 triliun. Itu terdiri dari utang untuk pembiayaan APBN sekitar Rp6.527 triliun per akhir April 2021 serta utang BUMN sekitar Rp2 ribuan triliun yang harus ditanggung pemerintah jika terjadi gagal bayar (default) (Cnnindonesia, 24/6/2021).
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mengatakan tumpukan utang jika dibiarkan bisa memicu krisis ekonomi bagi tanah air. Ibarat bom waktu, ia menuturkan kondisi Indonesia sudah rentan sehingga tinggal menunggu faktor pemicunya. Skema terburuknya dari dampak utang tersebut ialah negara bisa bangkrut jika gagal bayar utang.
Namun, pemerintah masih saja mengklaim utang Indonesia masih berada di angka aman. Angka itu pun dinilai oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani, masih lebih rendah dibandingkan negara lain. Dalam daftar 10 negara di dunia, Indonesia berada di peringkat tujuh dengan nilai utang mencapai 402,72 miliar dolar AS. Tingkat utang luar negeri Indonesia masih di bawah Brasil yang sebesar 569,39 miliar dollar AS, dan India 560,03 miliar dollar AS. Pantas saja jika Bu menteri mengatakan Indonesia masih rendah dan aman. Hal ini memang tidak terlepas dari cara pandang negara mengenai utang.
Indonesia mestinya belajar dari negara-negara yang kolaps akibat bermandikan utang, seperti Yunani, Argentina, Zimbabwe, Venezuela, dan Ekuador. Menurut Ekonom Indef, Dzulfian Syafrian, sumber ancaman utang negara sejatinya berasal dari utang BUMN senilai Rp2.143,37 triliun.
Jika perusahaan pelat merah tersebut gagal bayar, pemerintah akan terus mencari dana talangan untuk menutupi defisitnya. Jika hal ini terus terjadi, bukan tidak mungkin aset negara dijual untuk menaikkan pendapatan. Di satu sisi, akan memicu kenaikan pajak yang berimbas pada masyarakat. Negara akan terus melakukan segala cara bagaimana agar pajak menjadi pendapatan yang dapat menambal defisit APBN akibat utang yang bertumpuk.
Bahaya Utang
Satu hal yang harus dipahami bahwa utang merupakan skema kapitalisme global untuk menjerat negara terutama negara berkembang agar terus menggantungkan diri pada negara kreditur. Dalam buku Politik Ekonomi Islam, Abdurrahman Al Maliki mengatakan pembiayaan proyek negara dari utang luar negeri membahayakan eksistensi negara tersebut. Sebab, kebijakannya akan disetir oleh negara pemberi utang.
Ada kalimat bijak yang mengatakan bahwa, “Derita adalah momentum membayar utang. Siapa saja yang melawan, tidak saja gagal membayar utang, ia malah menciptakan utang yang baru.” Dan tampaknya Indonesia sudah ketagihan dengan utang. Saat keuangan negara mengalami defisit, utang menjadi salah satu andalan solutif.
Persoalannya adalah siapa yang membayarnya? Tentu saja rakyat, akan tetapi rakyat yang mana? Rakyat yang dipaksa membayarnya melalui tarikan pajak yang memalak. Rakyat yang berpotensi besar kehilangan aset negara yang seharusnya dapat dinikmati. Rakyat yang memiliki SDA yang melimpah ruah, akan tetapi hanya mendapat rimah-rimah dengan jumlah yang lemah.
Khatimah
Islam sebagai agama yang paripurna sudah memiliki seperangkat mekanisme bagaimana negara itu mestinya dikelola dan bagaimana negara membangun sistem keuangan yang sehat dan syar’i. Tidak akan ada keberkahan bila ekonomi suatu negara ditopang dengan sistem riba, sebagaimana Firman Allah Swt.
Artinya: “Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (TQS Al-Baqarah: 275)
Dalam Islam, Baitulmal adalah konsep baku bagaimana mengelola ekonomi negara yang tepat dan benar. Baitulmal terdiri dari dua bagian pokok. Bagian pertama, berkaitan dengan harta yang masuk ke dalam Baitulmal, dan seluruh jenis harta yang menjadi sumber pemasukannya. Bagian kedua, berkaitan dengan harta yang dibelanjakan dan seluruh jenis harta yang harus dibelanjakan.
Kapitalisme telah terbukti gagal dalam menyejahterakan. Karena utang yang kian meroket terjadi tidak hanya saat pandemi. Meskipun kenyataannya pandemi ini kian membuka borok kapitalisme yang dipaksakan di negeri-negeri kaum muslim. Sudah saatnya umat melirik ekonomi Islam. Akan tetapi, ekonomi Islam ini tidak akan mampu berdiri tanpa ditopang oleh sebuah sistem khas di dalam institusi yang bernama Khilafah.
Tanpa adanya sistem pemerintahan Islam (Khilafah), keunggulan syariat tidak akan bisa dirasakan secara utuh. Artinya, mengambil syariat Islam haruslah secara utuh. Tidak cukup hanya mengambil ekonomi saja. Sebagaimana yang pernah diterapkan oleh Rasulullah saw di Madinah dan berlangsung lebih dari 13 abad.
Lamanya sistem Islam bertahan, membuktikan bahwa ini adalah sistem yang mumpuni dalam menyejahterakan umat. Hal yang wajar karena sistem ini berasal dari dzat yang Maha haq, yakni Allah Swt, tidak seperti kapitalisme yang dalam seabad berdirinya telah membuktikan kebobrokan dan kedzalimannya setelah diterapkan. Karena kapitalisme ini berasal dari manusia yang terbatas dan pasti aturan yang dihasilkan juga serba terbatas.***