Sumber : Bisnis.com / Editor : Dahlan Batubara
JAKARTA (Mandailing Online) – Jika Anda atau anak Anda bingung memilih jurusan di perguruan tinggi, dan mudah mencari kerja setelah wisuda, maka ini satu solusi.
Permintaan terhadap tenaga ahli Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) di Indonesia mencapai 1.000 per bulan.
Tetapi akibat minimnya generasi muda yang menekuni bidang ini menyebabkan perusahaan-perusahaan kelimpungan mencari pelamar dari bidang TIK.
Indonesia Chief Information Officer (CIO) Community mngungkap selisih antara kebutuhan dan permintaan tenaga ahli teknologi, informasi, dan komunikasi di Indonesia sangat terlihat signifikan, terbukti dari banyaknya perusahaan teknologi yang merekrut tenaga ahli dari luar negeri.
“Entah karena memang talent-nya sedikit atau perusahaan ngga tahu mau cari talent di mana, karena belum ada struktur yang bagus untuk bisa mencari tenaga ahli yang bagus,” kata Sekretaris Jenderal ICIO Cummunity yang juga CEO Line Indonesia Ongky Kurniawan di Jakarta, Selasa(9/5/2017) yang dilansir Bisnis.com.
Beberapa perusahaan teknologi menyediakan sistem pelatihan dan edukasi yang mumpuni bagi para tenaga ahli, tetapi banyak pula yang hanya berpikir instan untuk memperoleh tenaga ahli dari perusahaan lain yang sudah mapan.
Oleh karena itu, sambungnya, harus ada kerja sama antara seluruh pemangku kepentingan untuk menyiapkan tenaga ahli yang mumpuni agar tak ketinggalan berkompetisi dengan negara lain.
Frans Dirgantoro, CEO Hire Today, sebuah perusahaan aplikasi rekrutmen tenaga kerja digital menggambarkan, terdapat 1.000 permintaan tenaga ahli TIK dari berbagai perusahaan setiap bulan, dan tak seluruhnya bisa dipenuhi. Hal itu membuktikan terjadi kesenjangan antara kebutuhan dan permintaan tenaga kerja.
Semuel Abrijani Pangerapan, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika mengatakan pemerintah kesenjangan tenaga ahli TIK terjadi karena Indonesia bukan pencipta teknologi, melainkan pengikut perkembangan teknologi.
“Jadi kita ngga tahu teknologi mau ke arah mana, timbul lah kesenjangan. Persoalan yang dihadappi sekarang, kita ngga tahu berapa kebutuhan industri. Kalau tahu datanya, baru bisa diterbitkan kebijakan,”paparnya.