Oleh : Moechtar Nasution
Beberapa hari yang lalu, lebih kurang pukul 24.15 saya buka akun facebook untuk melihat informasi terkini. Mata saya tertuju kepada judul berita Mandailing Online “Balita Usus Keluar Dibawa Ayah Keliling Kampung Minta Bantuan Warga”.Seakan tidak percaya, berita itu saya baca kembali. Demi menyambung hidup anaknya, sibapak berkeliling kampung meminta bantuan sambil menggendong anaknya yang sakit itu. Ya Allah…sungguh sangat menyedihkan sekali. Tanpa terasa air mata menetes pelan.
Bisa dibayangkan bagaimana gundahnya kita sebagai orang tua jika kejadian yang sama menimpa keluarga sendiri. Panas sedikit saja badan anak, sebagai orang tua pasti kita merasakan kesusahan. Harus dibantu dengan cara apapun, dalam hati saya. “Bang..kita harus berbuat untuk membantunya, bila perlu kita gerakkan masyarakat melalui penggalangan dana koin” isi inboks saya malam itu juga pada bang Iskandar Hasibuan. Alhamdulillah, tidak menunggu menit berjalan, ponsel saya berdering. “Besok kita rapatkan adinda, datang kekantor ya siang” ujarnya. Hati saya bertambah mantap karena dukungan semakin menguat apalagi setelah saya hubungi bang Dahlan Batubara (Pemimpin Redaksi Media Mandailing Online), Al Hasan Nasution (Ketua Karang Taruna Madina) dan bang Fachrus Rozi untuk menjadwalkan pertemuan besok.Saat ditanya, saya mengusulkan pentingnya partisipasi publik dioptimalkan melalui gerakan yang mengedepankan kesetiawakanan dan kegotong royongan semisal gerakan koin.
Iya…Koin, mata uang logam dengan nilai nominal dan nilai riil yang sifatnya recehan.Saat ini koin rupiah dengan nilai tertinggi hanya Rp 1.000, hanya bisa membeli sepotong pisang goreng atau dua buah kerupuk sedangkan koin dengn nilai nominal terkecil tak bisa dipakai untuk membeli apa apa. Maka wajar jika sebagian diantara kita enggan menyimpannya karena untuk jajan anak sekolah dasar saja sudah sangat jarang dipergunakan.
Mengapa harus koin? Jelas sekali koin sering dinterpretasikan sebagai simbol kesederhanaan dan kesahajaan. Koin atau bahasa kesehariannya uang receh bagi sebagian orang dianggap sebagai mata uang yang paling gampang ditemukan dan dimiliki. Tua, muda, anak-anak, pegawai, pengusaha, guru, dokter, petani, pedagang, wartawan dan yang lainnya bisa jadi setiap hari berurusan dengan uang koin. Sederhananya, uang koin ini sangat mudah dijumpai. Uang kembalian setelah belanja misalnya sering memakai uang koin.
Dewasa ini, koin yang dianggap sepele dan murahan ternyata menjadi alat perjuangan yang efektik dan penuh dengan nilai perjuangan yang heroik. Tiga tahun belakangan ini, koin menjadi lambang kesetiakawanan, kegotongroyongan dan juga simbol perjuangan. Pesan-pesan kemanusiaan terasa nyata dibalik aksi pengumpulan koin yang dilakukan berbagai komunita belakangan ini. Koin berubah fungsi secara faktual dari alat tukar menjadi simbolisasi perjuangan dan kemanusiaan. Koin yang selama ini dianggap tidak punya harga nyatanya memiliki kekuatan yang dahsyat dan menggetarkan.
Pada 2009 gerakan ”Koin Prita” menyita halaman media massa dalam waktu relatif lama. ”Koin Prita” adalah pengumpulan koin dengan nilai nominal terkecil, digerakkan pengguna media jejaring sosial untuk membayar vonis denda pengadilan sebesar Rp 204.000.000. Munculnya gerakan koin ini merupakan ungkapan solidaritas dan perjuangan demi keadilan bagi Prita Mulyasari yang dituduh mencemarkan nama salah satu rumah sakit. Pengumpulan koin untuk penggalangan dana bagi Prita telah membuktikan sebuah perlawanan untuk sebuah ketidakadilan sebuah sistem hukum.Uang recehan yang terkumpul mencapai 500 juta,jauh melampaui denda yang dikenakan terhadapnya. Begitu juga pada tahun 2010,muncul gerakan ”Koin Untuk Bilqis”.Bayi berusia 1,5 tahun yang memiliki nama lengkap Balqis Anindya Passa divonis menderita atresia billier, ykni penyumbatan saluran empedu dengan sirosis hepatitis progressif. Bilqis harus menjalani operasi transplantasi hati berbiaya sekitar Rp 1 miliar. Lagi-lagi, digerakkan media jejaring sosial, masyarakat menggalang pengumpulann koin.
Publik juga pernah disuguhkan pengumpulan koin bagi Darsem, seorang tenaha kerja Indonesia asal Subang yang didenda Rp 4,7 M supaya bebas dari vonis mati oleh pengadilan Arab Saudi. Setelah itu, muncul gerakan ”Koin Sastra” yang didedikasikan sebagai bantuan agar Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin tidak ditutup akibat dana pengelolaan yang tidak ada. Namun yang paling sangat menghebohkan adalah munculnya gerakan pengumpulan koin yang diberi nama hastag #Koin SBY.Pengumpulan koin ini terjadi setelah SBY mengeluhkan dimedia tentang gaji presiden yang tidak pernah mengalami kenaikan. Saat itu, mahasiswa dan aktivis sosial beramai-ramai menggelar aksi pengumpulan koin bahkan ketika itu kotak koin sempat menghiasi salah satu ruangan di gedung MPR/DPR.Sangat berbeda dengan aksi pengumpulan koin sebelumnya karena “Koin SBY” ini merupakan ungkapan keprihatinan sekaligus protes sosial.
Sama seperti gerakan pengumpulan koin sebelumnya, “Koin Cinta Untuk Rizky Wasiah” ini juga merupakan perwujudan dari kepedulian dan keprihatinan sekaligus juga bentuk simpati untuk meringankan biaya perobatan bayi yang masih berusia 10 bulan anak dari pasangan Saiman Nasution dengan Nina Sari, warga desa Huraba II Kecamatan Siabu. Seperti yang diberitakan Mandailing Online, Rizky Wasiah telah mengalami kelainan sejak dilahirkan yakni hidup tanpa anus dan juga mengalami usus keluar dari perut.Kegetiran hidup kedua orang tuanya tidak mematahkan semangat mereka untuk mengobati anaknya ke rumah sakit bahkan juga pernah dibawa ke RSU Pirngadi Medan namun karena ketiadaan biaya akhirnya menyebabkan keputus-asaan. “Maklumlah, untuk biaya ongkos ke Medan saja kita tidak punya, apalagi untuk biaya dalam mendampingi buah hati selama perawatan di rumah sakit, memang kita mempunyai kartu BPJS, namun untuk biaya kita selama perawatan juga lumayan besar,” keluh Saiman yang didampingi istrinya dikutip dari Mandailing Online. Pekerjaan Saiman, yang hanya penggarap sawah sulit diharapkan untuk mendapatkan biaya kesembuhan Rizky Wasiah, anak bungsunya ini.
Untuk dan atas nama kemanusiaan, kami menggagas dan menginisiasi pertemuan untuk membicarakan tekhnis penggalangan dana kemanusiaan yang diberi nama”Gerakan Koin Cinta Untuk Rizky Wasiah” sebagai upaya bersama untuk memberikan donasi bagi keperluan Rizky Wasiah yang harus secepatnya mendapatkan penanganan medis. Gerakan yang dibangun ini sama sekali tidak memiliki kepentingan apapun dan motif apapun.
Niatan yang paling utama adalah membantu sesama manusia dan keinginan yang tulus dan ikhlas untuk melakukan berbagai cara penggalangan dana agar bisa secepatnya dipergunakan oleh keluarga Rizky Wasiah. Gagasan yang kami inisiasi dengan bang Iskandar Hasibuan dan bang Dahlan Batubara ini mendapatkan respon positif dari berbagai institusi untuk menyatakan kesediaan bergabung mengerahkan kemampuan semaksimal mungkin dalam meringankan beban yang dialami orang tua Rizky Wasiah.Berbagai berita tentang ini dimedia semakin intens dikerjakan teman-teman jurnalis dan mahasiswa termasuk memanfaatkan jaringan media sosial seperti facebook. Saran dan pendapat banyak masuk untuk semakin mengintensifkan penggalangan dana kemanusiaan ini termasuk membuat rekening khusus donasi sehingga publik dapat menyampaikan bantuan. Penggalangan dana dijalanan dilaksanakan mahasiswa dan Karang Taruna.
Jujur, saya berbangga hati dengan banyaknya atensi dan masukan pendapat yang disampaikan.Fenomena ini membuktikan bahwa sebenarnya kita belum kehilangan 100 % nilai kemanusiaan. Dan ini juga menjadi fakta yang tidak terbantahkan bahwa rasa sosial kita sebagai manusia belum luntur 100 %.Semua membaur menjadi satu tanpa perbedaan gender, kelas, ekonomi, status soal dan idioligi.
Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat nyatanya masih memiliki kepedulian terhadap kondisi masyarakat lainnya yang dinilai sedang dalam ketidak berdayaan.
Sikap spontanitas untuk ikut berpartisipasi melakukann gerakan-gerakan sosial jelas sesuatu yang sangat menggembirakan karena sikap ini lahir dan tumbuh dengan sendirinya, bukan dipaksakan apalagi direkayasa. Dia lahir secara alamiah dan natural.
Kondisi ini seharusnya bisa juga menjadi otokrotik konstruktif bagi negara dengan para pengambil kebijakannya karena biar bagaimanapun negara harus hadir ketika rakyat membutuhkannya sesuai dengan amanat konstitusi. Terlepas dari itu, fenomena gerakan ini semakin membuktikan bahwa gerakan sosial movement mulai menggeliat di bumi Gordang Sambilan.Jika dimaknai secara positif, tentunya ini sangat menggembirakan. Pemberdayaan masyarakat melalui gerakan sosial membuktikan bahwa hati sanubari manusia tidak akan pernah bisa diingkari karena dia memiliki kepekaan dan sensitifitas.
Partisipasi publik sedemikian besar hingga hari ini dan ini sebenarnya memang perlu dilestarikan. Bukankah bangsa yang besar ini terkenal dengan nilai kegotong royongannya? Bukankah Madina yang kita cintai ini terkenal dengan semangat kesetiakawanannya? Masihkan kita ingat filosofi “Marsialap Ari”?
Kita akui ada erosi terhadap kearifan lokal ini dimana-mana namun dengan gerakan ini marilah kita semua masyarakat Madina baik yang ada di Madina sendiri maupun yang diperantauan untuk bersama-sama membuktikan bahwa kita bukanlah manusia yang individualis, manusia yang ego centris dan juga bukan manusia yang cuek.Koin Cinta ini hanyalah kanal untuk melakukan penggalangan dana kemanusiaan namun yang lebih terpenting substansinya adalah meneguhkan kembali semangat persaudaraan, semangat kesetiakawanan dan juga semangat gotong royong.
Kearifan lokal seperti ini pantas dan wajib kita budayakan kembali ditengah masyarakat karena mengandung nilai kebaikan yang berguna bagi pembentukan karakter anak bangsa. Gotong royong mengartikan tolong menolong, saling membantu, dan bekerjasama. Rizky Wasiah, sama seperti bayi lainnya harus bisa menikmati indahnya kehidupan dunia ini tanpa harus menangis ketika buang air besar. Rizky Wasiah harus bisa tidur nyenyak tanpa merasakan sakit diperutnya.Mari kita bantu…!!!
Salurkan donasi anda pada Posko Cinta Untuk Rizky Wasiah di kantor PDI-P Madina dan kantor Karang Taruna Madina.
Jangan biarkan air mata Rizky Wasiah membasahi bumi lagi hanya karena ketidakpedulian kita sebagai manusia?***