Westernisasi dalam dekade ini sudah merambah urat nadi masyarakat. Bukan hanya menimpa bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional namun lebih dari itu sudah mengarah kesoal kepribadian anak bangsa. Dengan mudah ditemukan fenomena penyimpangan sosial yang merambah prilaku remaja. Salah satu contoh yang jamak ditemukan penampilan remaja dewasa ini yang membuat kita risih, malu dan sekaligu gelisah menatap masa depan bangsa. Sesuatu yang sangat tidak mengindahkan nilai ketimuran namun nyata malah menjadi trend bahkan apabila tidak digunakan disebut dengan kampungan dan kurang pergaulan.
Celana yang menampakkan pusar atau pemakaian kaos yukensi menjadi hal biasa yang teramat sering dipertontonkan dengan sengaja. Fenomena pemakaiaan jilbab yang tidak sesuai dengan syariat atau sering diistilahkan dengan “ jilboob” pun semakin laris dikalangan anak muda. Semuanya seakan serba terbalik dan ini mengingatkan kita dengan kalimat bijak para pemikir Yunani yang mengatakan “kesalahan yang dilakukan dengan berulang-ulang akan menjadi kebenaran”.
Tidak lain ini diakibatkan karena kehidupan dizaman globalisasi menuntut perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi komunikasi dimana sekat-sekat yang seharusnya bisa menjadi pembatas dan pembeda menjadi tak berdaya. Privacy yang seharusnya tidak diumbar kepublik justru menjadi berita yang paling bombastis dan bernilai tinggi. Kebutuhan terhadap infotainment semakin menggila dimana beritanya terkesan semuanya bersifat hedonis dan pragmatis.
Hasilnya sangat siginifikan mempengaruhi pola pikir masyarakat khususnya remaja yang secara psikologis masih sangat labil dan mudah terkontaminasi. Ahlakpun tergerus tanpa sadar, penampilan selalu mengikuti perkembangan mode yang kebablasan, bahasapun menjadi kebarat-baratan, ini hanya contoh kecil bagaimana media memiliki korelasi terhadap perubahan perilaku masyarakat.
Apakah tidak cukup kejadian perkelahian sesama anggota DPR menjadi tayangan tidak mendidik bagi generasi bangsa? Apakah korupsi yang merajela seungguhnya tidak akan mengajari bangsa ini untuk melakukan hal yang sama? Bagaimana juga dengan pengaruh tayangan kekerasan yang berseliweran ditelevisi? Ataukah juga aksi penangkapan teroris yang secara vulgar ditayangkan dimedia tidak akan melahirkan situasi psikologis anak bangsa naik turun? Belum lagi kita bercerita tentang maraknya penyalahgunaan narkoba dikalangan remaja, hoby balapan liar, kenakalan remaja, akses situs porno dengan mudah dilakukan bahkan tindakan anarkhisme dan pidana yang melibatkan remaja hingga aksi begal yang menghebohkan Indonesia.
Kalangan remaja tidak pernah mau tau dari mana budaya ini berasal. Yang paling penting trend yang berlaku wajib untuk diikuti. Gaya dari tokoh idola semisal artis atau aktor juga berperan menciptakan kondisi ini. Inilah sesungguhnya sangat paradoks dengan niat pemerintah yang berkenginan menciptakan generasi emas demi kemajuan bangsa yang berperadaban.
Globalisasi yang ditandai dengan semakin menyempitnya nilai-nilai universal manusia memang membawa pengaruh yang negatif dan bahkan bisa menjadi bumerang bagi diri sendiri namun disisi lain jika ini disaring justru akan membawa kebaikan karena banyak juga memiliki nilai positif seperti perkembangan tekhnologi, sains dan ilmu pengetahuan yang semakin dinamis. Peran negara sebagai benteng pertahanan melalui regulasi penting untuk digugat. Peran orang tua juga perlu ditambah secara ekstra karena orang tua bukan sifatnya hanya membina semata akan tetapi melakukan pengawasan dan kontroling juga sama pentingnya.
Membudayakan sikap saling memahami dan saling mengerti antara orang tua dengan anak perlu untuk dijadikan sebagai solusi. Komunikasi yang berjalan secara harmonis diyakini sedikit banyaknya akan bisa melahirkan kebebasan yang bertanggungjawab. Figure dan semangat orang tua sangat ditentukan disini agar mereka bisa meraih apa yang mereka inginkan. Inilah kunci pendidikan anak, bukan pemaksaan kehendak apalagi pengabaian terhadap potensi, kreatifitas dan inovasi anak.
Pesan ibu yang bijak terhadap anak kesayangannya yang cacat fisik, “Anakku, engkau tidak ada di majelis suatu kaum melainkan engkau menjadi bahan ejekan dan tertawaan mereka. Oleh karena itu carilah ilmu, karna ilmu akan mengangkatmu”. Pesan sang ibu tidak meleset, karena di kemudian hari si anak yang tiada lain adalah Muhammad bin Abdurrahman Al-Auqash menjadi hakim di Mekkah selama dua puluh tahun. Sang ibu tidak salah ucap karena memang begitulah kenyataannya.
Ilmu memang akan membuat orang jadi mulia. Ilmu itu menjaga pemiliknya, demikian kata Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu. Atau ilmu adalah teman akrab pada saat sendirian. Ia adalah sahabat karib pada saat kesepian. Ia adalah penunjuk jalan pada saat makmur dan pembela pada saat menderita. Ilmu adalah perdana menteri ketika berada di tengah-tengah sahabat karib dan orang terdekat bagi orang-orang asing. Ilmu adalah menara jalan surga.
Sejarah selalu mengajarkan kearifan dan ada baiknya memang sejarah orang-orang besar bisa menjadi inspirasi bagi kita generasi muda. Banyak tokoh besar yang dilahirkan bumi Mandailing dari berbagai ragam profesi. Kita mengenal Jenderal Besar AH. Nasution, kita mengenal Adam Malik, kita mengenal juga Syekh Abdul Qadir Al- Mandily, kita juga mengetahu Syekh Mustafa Husein dan sederetan nama besar lainnya. Mereka pantas untuk diidolakan selain berjasa bagi agama dan bangsa mereka juga panutan dalam masyarakat. Mereka adalah orang-orang yang melindungi moralnya, mulia ahlaknya, santun ucapannya, dan terjaga perbuatannya. Jejak mereka penting untuk ditapak tilasi.
Ada kutipan mengenai akhlak dalam Islam yang sangat menyentuh hati. “ pancarkan kilau islam dengan akhlakmu. Bukan hanya dengan meneriakkan ‘syariat’ lantas mengabaikan akhlak. Islam adalah pembawa keselamatan. Jika kau ber-Islam, itu artinya kau telah mengikrarkan diri bahwa kau menjamin keselamatan sekitarmu dari lisan dan tanganmu. Batal ke-islaman kita ketika sesama justru merasa terancam oleh kehadiran kita. Islam itu indah. Pancarkan indahnya dengan akhlakmu”.
Kita sebagai orang yang terpelajar harus memiliki Awareness yang diterjemahkan sebagai kepekaan atau kesadaran. Konteks kepekaan disini bisa luas sekali. Namun, satu hal yang pasti, kepekaan menjadi salah satu syarat lolos kualifikasi seseorang untuk bisa maju. Demikian ketajaman ilmu nya, seorang Muadz bin Jabal Radhiyallhu Anhu menterjemahkan ilmu dalam bahasa kata. Dengan ilmu inilah, kita tidak menjadi makhluk “Telanjang” abadi seperti hewan, kita terlapisi keindahan fifik dan psikis, kita menjadi manusia bermutu yang mampu bersaing dengan makhluk-makhluk lain, kita dapat mengungkapkan rahasia-rahasia dan pesan-pesan Allah yang ada di dalam kitab-Nya dan di alam semesta, kita dapat menjadi hamba Allah yang termulia, kita dapat menjadi umat yang berjaya atas umat-umat seperti proyeksi awal Allah menciptakan kita dan sisi-sisi lainnya.
Untuk para generasi muda yang kelak diharapkan menjadi kebanggaan orang tua, jadilah dirimu sendiri, jangan mudah terkesima dengan dunia luar yang bisa jadiakan menyesatkan. Selagi masih muda kesempatan terbentang luas karena dunia ini sesungguhnya jendela untuk menatap masa depan. Kalimat “pergunakan masa mudamu sebelum datang masa tuamu” perlu untuk direnungkan karena tantangan didepan semakin hebat dibanding masa yang sekarang. Gantungkan cita-citamu setinggi langit itu pesan Ir. Soekarno.Gali informasi sebanyak mungkin agar tidak salah langkah dalam menentukan masa depan yang lebih menjanjikan.***