Oleh: Askolani Nasution
Budayawan
Tanggal 15 Desember 1847, Belanda menggalakkan kebijakan tanaman kopi di kawasan Mandailing Angkola. Asisten Residen A.P. Godon melibatkan pemerintahan raja-raja tradisional untuk memobilisasi budi daya kopi secara massal.
Pemerintah kolonial memaksa setiap penduduk untuk menanam kopi dan hasilnya wajib dijual kepada Belanda dengan harga yang sudah ditetapkan pemerintah. Tetapi sampai pertengahan tahun 1849, penduduk menolak menjual kopinya kepada pemerintah kolonial. Sebab, harga kopi di lingkungan pedagang Cina jauh lebih tinggi.
Ulu dan Pakantan menjadi kawasan penting. Selain karena pusat penanaman kopi, kawasan itu juga menjadi pusat misionaris kristen. Bahkan tahun 1833, agama Kristen sudah diperkenalkan di Pakantan. Karena itu, gereja tertua di kawasan Mandailing Angkola berada di Pakantan. J.C. Schoggers ditunjuk sebagai penguasa Oeloe an Pakanten. Ia kemudian digantikan oleh W. van der Valck pada bulan Januari 1854.
Tahun 1854, di berbagai wilayah Mandailing Angkola juga merebak korban harimau. Terjadi kepanikan sosial karena seringnya jatuh korban. Akhir tahun 1854, dua orang dokter lulusan STOVIA asal Mandailing, Asta (dari Salambue) dan Angan, dipulangkan ke Mandailing untuk mengelola rumah sakit. Keduanya adalah senior Willem Iskander yang pertama memperoleh pendidikan modern di Mandailing.
Rumah sakit itu, selain untuk korban harimau, juga diperuntukkan untuk berbagai persoalan kesehatan masyarakat. Pada saat itu misalnya, penyakit infeksi menjadi hal yang urgen. Banyak kematian yang ditimbulkan oleh penyakit itu. Selain itu, juga pertolongan pertama terhadap kelahiran yang menyebabkan tingginya kematian ibu dan anak. Tenaga kesehatan yang ada pada waktu itu, hanya cukup untuk melayani orang-orang Eropah yang tinggal di kawasan Mandailing.
Bulan Juli tahun 1855 Gubernur Militer Pantai Barat Sumatera berkunjung ke Mandailing. Ia melaporkan betapa Mandailing amat berbudaya. Kemajuannya di bidang pertanian dan pertumbuhan jalan-jalan baru amat membanggakan. Asisten Residen Mandailing Angkola, A.P. Godon memang harus diakui banyak memajukan Mandailing, terutama sarana transportasi ke wilayah-wilayah terisolir, membuka pendidikan bagi bumi putra, dan layanan kesehatan. Sarana-sarana modern itu dulu tidak dikenal sebelum masuknya kolonialisme Belanda.
Hingga tahun 1862, kopi masih menjadi masalah penting. Bahkan menyebabkan gejolak sosial. Terutama karena penduduk dipaksa untuk membawa sendiri hasil panen kopinya ke Natal. Kuli panggul berontak karena berbulan-bulan mereka tidak pulang ke rumah. Beberapa kuli panggul membuang sendiri kopi panggulannya ke sungai Batang Natal. Selain karena buruknya sarana transportasi, mereka juga tidak diberi upah.
Hal itu menimbulkan gejolak sosial dan penentangan terhadap raja-raja tradisional yang memobilisasi mereka. Karena itu, A.P. Godon merencanakan jalan pos ke Natal.
Jembatan Batang Gadis, Panyabungan, dibangun dengan konstruksi kayu dan beratap ijuk. Sebelumnya, jembatan itu hanya dihubungkan dengan rambin yang tidak bisa dilewati pedati. Setelah 180 hari bekerja, jembatan itu selesai dibangun dan dapat dilewati pedati.
Pada saat itu, jembatan Batang Toru hanya berupa rambin yang tidak bisa dilewati pedati. Baru pada tahun 1880, jembatan Batang Toru dapat dilewati pedati. Karena itu, ekspor kopi Mandailing dikirim ke Pantai Barat Natal.
Jalan pos Panyabungan-Natal dibuat lebar dan bagus. Sebanyak 2.650 orang laki-laki dipaksa membuka jalur transportasi itu. Kerja paksa pembukaan jalan menelan banyak korban karena penyakit dan kekurangan makan. Para pekerja itu terdiri dari 100 orang laki-laki setiap huta.
Dengan selesainya Jalan Pos Panyabungan-Natal, Tano Bato tumbuh menjadi kota transit penting menuju Natal. Selain menjadi tempat bermukim orang Eropah, di kota itu juga terdapat rumah-rumah penginapan. Tentu juga menjadi pusat pembibitan kopi untuk kawasan Mandailing.
Pembukaan jalan baru menjadi prioritas kolonialisme Belanda. Selain untuk mendukung distribusi kopi, juga untuk menyatukan Residen Tapanuli. Rute Panyabungan-Natal saja tidak memadai. Rute menuju Air Bangis juga dibangun mulai dari Muara Sipongi.
Rute menuju Padangsidimpuan, Sipirok hingga kawasan Toba juga menjadi prioritas. Rute itu diperlukan karena kawasan Tapanuli Bagian Utara dijadikan sebagai pusat pengembangan kristenisasi yang sebelumnya gagal di wilayah Mandailing. Padangsidimpuan disiapkan sebagai pusat pemerintahan baru menggantikan Panyabungan.
Selain itu juga rute menuju Padang Lawas dan Sibolga. Rute menuju Padang Lawas diperlukan untuk memelihara keamanan di kawasan itu setelah ditinggalkan Paderi.
Sementara itu, Sibolga akan disiapkan menjadi pelabuhan utama dan tentu sebagai ibu kota Residen Tapanuli. Untuk kelancaran transportasi ke Sibolga, jembatan Batang Toru harus bisa dilewati pedati. Apalagi kemudian kawasan Batang Toru akan dijadikan sebagai kawasan perkebunan.
Penetapan jalur arteri politik dan ekonomi itu dikuatkan melalui Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. Keputusan nomor 22 itu ditetapkan tanggal 21 November 1862. Beberapa pembangunan jalur transportasi yang ditetapkan dalam keputusan itu adalah ruas jalan:
1) Kotta Nopan – Laroe
2) Laroe – Fort Elout (Panyabungan)
3) Fort Elout (Panyabungan) – Siaboe
4) Siaboe – Soeroematingi
5) Soeroematingi – Sigalangan
6) Sigalangan – Padang Sidempoean
7) Padang Sidempoean – Panabassan
8) Panabassan – Batang Taro
9) Batang Taro – Loemoet
10) Loemoet – Parbirahan
11) Parbirahan Toeka
12) Toeka – Sibogha
Poros transportasi itu tentu bukan rute baru. Sejak masa perdagangan garam, rute itu sudah dikenal sebagai titik-titik persinggahan pengendara berkuda. Rata-rata berjarak antara 10 sampai 20 km, atau satu etape dalam menggunakan kuda.
(Penggalan dari buku saya “Sejarah dan Kebudayaan Mandailing”, 2022)