Pada tanggal 17 Januari 2023 ratusan kepala desa berdemonstrasi di depan gedung DPR RI untuk menuntut perpanjangan masa jabatan kepala desa yang awalnya 6 tahun menjadi 9 tahun. Alasan tidak cukup waktu untuk membangun desa karena masih ada ketegangan politik setelah Pilkades, dan perlu persiapan 1 tahun untuk menyiapkan diri sebelum masuk masa Pilkades kembali yang mana hanya 4 tahun waktu optimal. Menurut para kepala desa yang berdemonstrasi ada juga yang mengatakan ini merupakan keinginan rakyat sendiri.
Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh kepala desa haruslah ada kajian akademis yang mendalam. Kalau hanya sekedar alasan tidak cukup waktu membangun desa dalam 6 tahun akibat ketegangan politik, saya merasa tuntutan para kepala desa tidak kuat argumentasi. Karena dalam pasal 39 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa) kepala desa bisa menjabat dan mencalonkan kembali selama 3 periode. Artinya ada kesempatan 18 tahun untuk membangun desa apabila terpilih dalam 3 periode, dan jika alasannya tidak cukup membangun desa dalam waktu 6 tahun berarti para kepala desa tidak memiliki kekuatan dalam membangun desanya dan harusnya kepala desa memiliki inovasi untuk membuat peraturan desa yang memuat tentang misalnya rancangan pembangunan desa jangka panjang.
Jadi setiap periode kepemimpinan itu ada target selama 6 tahun, jadi ketika kepemimpinan itu berganti, kepala desa yang baru melanjutkan program RPDJP yang mana itulah panutan setiap kepala desa yang menjabat. Artinya kita butuh inovasi dan niat merevolusi desa sebetulnya bukan harus dengan alasan menambah masa jabatan.
Tidak ada permasalahan di dalam UU Desa kalau dalam doktrin ilmu hukum, hukum itu diperbaiki jika kurang baik apalagi untuk masyarakat. Dalam UU Desa saya rasa tidak ada masalah. Dan alasan-alasan yang dilakukan saat demonstrasi merupakan alasan yang dapat merusak citra dari UU Desa.
Menurut saya, 9 tahun masa jabatan kepala desa adalah hal yang ingin memperluas KKN di desa. Terbukti ada 686 kepala desa yang terjerat kasus korupsi mulai tahun 2012 sampai 2021, sedangkan kita tahu anggaran Dana Desa yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat cukup besar, jika ini dikelola oleh kepala desa dengan jabatan yang terlalu lama maka memberikan kesempatan untuk melakukan KKN menggunakan dana desa dan akan terjadi oligarki di desa desa yang ada di Indonesia, sedangkan dalam kepemimpinan pak Jokowi semua kemajuan berasal dari desa.
Dampak yang kami lihat juga ialah jika pemerintah setuju merevisi UU Desa maka ini akan menghilangkan kesempatan generasi-generasi emas yang ada di desa untuk memimpin desa atau bisa kita sebut regenerasi kepemimpinan di suatu desa.
Jadi, kalau hanya sekedar alasan politik, tidak cukup waktu untuk pembangunan, itu bukanlah alasan yang mendasar. Oleh karena itu, pemerintah dan DPR haruslah bijak menanggapi hal ini, apakah ini kepentingan politik di desa-desa dan sangat perlu untuk dilakukan kajian yang mendalam secara akademis untuk hal ini. (Halvionata Auzora Siregar)
Penulis adalah putra Batang Natal;
Ketua Forum Kajian dan Penulisan Hukum (FKPH) Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh;
Kabid Pembinaan dan Pemberdayaan Anggota Komisariat Hukum Unimal