PANYABUNGAN (Mandailing Online) – Gerakan Sejuta Santri mendesak dibentuk dalam upaya menggalang pengumpulan infaq dari para santri untuk membiayai perobatan Aldi Suphandi Hasibuan.
Santri di pesantren Darul Ikhlas, Dalan Lidang, Panyabungan itu saat ini sangat butuh biaya berobat di Jakarta agar kakinya tak diamputasi.
Aldi santri yang cerdas. Mendapat juara II ketika semester I, dan sekarang masuk program Tahfizul Qur’an. Keluarganya yang miskin tak memiliki biaya yang cukup untuk mengobati kakinya di sebuah klinik di Jakarta, harapan satu-satunya agar kakinya tak harus diamputasi.
Saat ini Aldi berada di Jakarta berbekal biaya yang berasal dari infaq para santri dan alumni Pesantren Darul Ikhlas Panyabungan. Tetapi infaq yang terkumpul itu masuh sangat tidak cukup mengingat rentang perobatan di Jakarta membutuhkan waktu minimal 6 bulan.
“Gerakan Sejuta Santri diharapkan mampu berhasil terkumpulnya dana yang berasal dari infaq para santri,” kata Alamulhaq Lubis, warga Panyabungan kepada Mandailing Online di pasar Panyabugan, Selasa (27/9).
“Harus ada motor penggerak bagi lahirnya Gerakan Sejuta Santri ini. Menurut saya gerakan demikian ini memiliki peluang terkumpulnya dana besar, mengingat jumlah pesantren di Madina sangat banyak sehingga daerah ini dijuluki Kota Santri,” ujarnya.
Orangtua Aldi sendiri di Desa Huraba Kecamatan Siabu, Mandailing Natal telah menggadaikan sawah demi kesembuhan anaknya.
Tapi, uang dari hasil menggadaikan sawah itu tak cukup. Tak ada lagi yang bisa digadaikan, karena sawah itu hanya satu-satunya harta yang dipunya.
Lutut Aldi membengkak akibat terjatuh beberapa waktu lalu. Tim dokter di RSU Panyabungan sempat memvonis bahwa kakinya harus diamputasi menghindari pelebaran pembengkakan.
Alhamdulilillah, harapan tidak diamputasi muncul. Sebuah klinik di Jakarta yang memadukan medis dan herbal menyatakan kaki Aldi bisa tak diamputasi, hanya saja butuh lema pengobatan selama sekitar 6 bulan.
Persoalan sekarang adalah biaya. Soalnya Marwan Hasibuan, ayah Aldi, adalah keluarga kurang mampu karena hanya bekerja sebagai buruh bangunan.
“Saya berusaha menutupi semua kebutuhannya. Tapi, dengan gambaran tidak kurang Rp 3 juta per bulan, jelas saya tidak mampu” katanya.
Peliput : Dahlan Batubara