Islam adalah agama paripurna. Tak ada satu pun bidang kehidupan umat manusia yang tidak diatur oleh syariah Islam. Syariah Islam mengatur tatacara ibadah, akhlak, makanan dan minuman, berpakaian, muamalah hingga politik dan bernegara. Demikianlah kesempurnaan Islam. Ini sesuai dengan firman Allah SWT:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian untuk kalian, telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagi kalian dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama kalian (TQS al-Maidah [5]: 3).
Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini sebagai berikut: “Ini adalah nikmat terbesar dari Allah ‘Azza wa Jalla kepada umat ini dengan menyempurnakan agama ini untuk mereka. Mereka tidak membutuhkan lagi agama selain Islam dan nabi selain nabi mereka (Muhammad saw.). Karena itu Allah menjadikan beliau sebagai penutup para nabi. Allah mengutus beliau kepada manusia dan jin. Tidak ada perkara yang halal melainkan apa yang telah beliau halalkan. Tidak ada perkara yang haram melainkan apa yang telah beliau haramkan. Tidak ada agama melainkan yang telah beliau syariatkan.” (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 3/26).
Islam Sebagai Poros
Karena Islam adalah agama yang paripurna, tak ada alasan bagi umat untuk tidak taat dan menjalankan syariah Islam secara total. Ini adalah pembuktian keimanan seorang Muslim pada agama Allah SWT. Tidak patut lisan yang sudah membaca kalimat syahadat mengambil pilihan di luar ketetapan Allah SWT dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا
Tidak patut laki-laki Mukmin dan perempuan Mukmin, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Siapa saja mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata (TQS al-Ahzab [33]: 36).
Ketetapan ini juga mengikat para penguasa. Mereka harus meletakkan Islam sebagai petunjuk dalam setiap aturan dan kebijakan. Mereka wajib memelihara urusan rakyat berdasarkan syariah Islam. Tanpa memandang kepentingan kelompok, pengusaha dan pihak asing.
Rasulullah saw. memuji mereka yang selalu merujuk pada syariah Islam. Rasulullah saw. pernah bertanya kepada Muadz bin Jabal ra. yang pernah diangkat sebagai gubernur di Yaman mengenai cara dia dalam memutuskan perkara:
كَيْفَ تَقْضيِ إِذَا عُرِضَ لَكَ قَضَاءٌ ؟ قَالَ: أَقْضِي بِكِتابِ اللهِ .قَالَ: فَإِنْ لمْ تَجِدْ فيِ كتِابِ اللهِ ؟ قَالَ: فَبِسُنّةِ رَسُولِ اللهِ قَالَ: فَإِنْ لمْ تَجِدْ فيِ سُنّةِ رسُولِ اللهَ وَلاَ فيِ كتِابِ الله ؟ قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِ وَلاَ آلو. فَضَرَبَ رَسُولُ اللهِ صَدْرَهُ وَقَالَ: اَلْحَمْدُ لِلّه الَّذِيْ وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللهِ لِمَا يَرْضَى رَسُوْلُ اللهِ
“Bagaimana engkau memutuskan jika ada perkara yang diajukan orang kepadamu?” Muadz menjawab, “Saya akan memutuskan dengan Kitab Allah.” Nabi saw. bertanya kembali, “Bagaimana jika tidak engkau temukan dalam Kitab Allah?” Muadz menjawab, “Saya akan memutuskan dengan Sunnah Rasulullah.” Nabi saw. bertanya kembali, “Jika tidak engkau dapatkan dalam Sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitab Allah?” Muadz menjawab, “Saya akan berijtihad dengan pemikiran saya dan saya tidak akan berlebih-lebihan.” Beliau lalu menepuk dada Muadz seraya bersabda, “Segala pujian milik Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah sesuai dengan yang Rasulullah ridhai.” (HR Abu Dawud).
Akibat al-Quran Dicampakkan
Tentu merupakan bencana besar ketika al-Quran terlepas dari kehidupan umat dan terpisah dari kekuasaan. Keadaan ini telah diingatkan Nabi saw.:
إِنَّ رَحَى الإِسْلامِ دَائِرَةٌ، فَدُورُوا مَعَ الْكِتَابِ حَيْثُ دَارَ، أَلاَّ إِنَّ الْكِتَابَ وَالسُّلْطَانَ سَيَفْتَرِقَانِ، فَلا تُفَارِقُوا الْكِتَابَ، أَلاَّ إِنَّهُ سَيَكُونُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ يَقْضُونَ لأَنْفُسِهِمْ مَا لا يَقْضُونَ لَكُمْ، إِنْ عَصَيْتُمُوهُمْ قَتَلُوكُمْ، وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ أَضَلُّوكُمْ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَيْفَ نَصْنَعُ؟ قَالَ:كَمَا صَنَعَ أَصْحَابُ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ، نُشِرُوا بِالْمَنَاشِيرَ، وَحُمِلُوا عَلَى الْخَشَبِ، مَوْتٌ فِي طَاعَةِ اللَّهِ خَيْرٌ مِنْ حَيَاةٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ.
Sungguh sumbu Islam itu senantiasa berputar. Karena itu berputarlah kalian bersama al-Kitab (al-Quran) sebagaimana dia berputar. Ingatlah, al-Quran dan kekuasaan akan berpisah. Karena itu janganlah kalian memisahkan diri dari al-Quran. Ingatlah, sungguh akan ada atas kalian para pemimpin yang memutuskan untuk diri mereka sendiri dengan putusan yang berbeda untuk kalian. Jika kalian menentang mereka, mereka akan membunuh kalian. Jika kalian menaati mereka, mereka akan menyesatkan kalian (HR ath-Thabarani dan al-Haitsami).
Dalam hadis di atas tergambarkan tiga bencana yang akan menimpa umat: Pertama, Kitabullah terpisah (terlepas) dari kekuasaan. Kedua, para pemimpin memutuskan hukum berbeda antara untuk diri mereka sendiri dan apa yang diberlakukan untuk rakyatnya. Ketiga, para pemimpin itu akan membunuh siapa saja yang membangkang kepada mereka, tetapi akan menyesatkan siapa saja yang menaati mereka.
Gambaran tersebut telah nyata di mata umat. Sejak lama al-Quran terpisah dari kekuasaan. Banyak hukum dan aturan yang dibuat tak pernah merujuk pada al-Quran. Memang al-Quran masih ada, masih dibaca dan dipelajari. Namun, hukum-hukumnya ditolak dan dicampakkan dengan beragam alasan. Sebagai gantinya, para penguasa lebih mempercayai hukum buatan Montesquieu, J.J. Rousseau, atau hukum warisan penjajah.
Para penguasa ini juga membuat beragam keputusan yang menguntungkan segelintir orang, tetapi merugikan rakyat kebanyakan. Sanksi hukum pun diberlakukan secara berbeda. Ketika kelompoknya dan orang-orang kaya pendukungnya melanggar hukum, mereka dibiarkan bahkan diberi pembelaan. Sebaliknya, jika pihak-pihak yang berseberangan dengan dirinya melanggar aturan, dengan sigap dia menegakkan hukum dengan tegas atas mereka. Inilah yang diingatkan Nabi saw.:
إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ
Orang-orang sebelum kalian binasa karena jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) mencuri di tengah-tengah mereka, mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika ada orang lemah (rakyat biasa) mencuri di tengah-tengah mereka, mereka tegakkan hukum pada dirinya.” (HR Muttafaq ‘alayh).
Penguasa semacam ini juga tidak segan-segan berlaku zalim kepada para penentangnya. Bisa dengan menutup mata pencaharian mereka, menghukum mereka dengan zalim, bahkan membunuh mereka. Namun, jika penguasa itu ditaati, dia akan menyesatkan rakyatnya. Penguasa semacam ini lebih senang dipuja-puji, dibenarkan kedustaannya, ketimbang mau menerima nasihat dan mau diluruskan. Padahal dia suka ingkar janji, buruk kinerjanya dan melakukan kemungkaran. Nabi saw. bersabda:
سَيَكُونُ عَلَيْكُمْ أَئِمَّةٌ يَمْلِكُوْنَ رِقَابَكُمْ وَيُحَدِّثُوْنَكُمْ فَيَكْذِبُونَ، وَيَعْمَلُوْنَ فَيُسِيؤُونَ، لا يَرْضَوْنَ مِنْكُمْ حَتَّى تُحَسِّنُوا قَبِيْحَهُمْ وَتُصَدِّقُوْا كَذِبَهُمْ، فاعْطُوْهُمُ الحَقَّ مَا رَضُوا بِهِ.
Kalian akan dipimpin oleh para pemimpin yang mengancam kehidupan kalian. Mereka berbicara kepada kalian, tetapi mereka banyak berdusta. Mereka bekerja, tetapi kinerja mereka sangat buruk. Mereka tidak suka kepada kalian kecuali jika kalian menilai baik (memuji) keburukan mereka, membenarkan kebohongan mereka hingga memberi mereka hak yang mereka senangi (HR ath-Thabarani).
Teguh dalam Keyakinan
Lalu apa tuntunan Islam untuk kaum Muslim pada saat menghadapi penguasa demikian? Hal ini pernah ditanyakan oleh para Sahabat kepada Baginda Rasulullah saw. Beliau lalu menjawab:
كَمَا صَنَعَ أَصْحَابُ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ، نُشِرُوا بِالْمَنَاشِيرَ، وَحُمِلُوا عَلَى الْخَشَبِ، مَوْتٌ فِي طَاعَةِ اللَّهِ خَيْرٌ مِنْ حَيَاةٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ
Lakukanlah sebagaimana yang dilakukan oleh para pengikut Isa bin Maryam. Mereka digergaji dan disalib di tiang kayu (tetapi mereka tetap bersabar, red.). Mati dalam ketaatan kepada Allah adalah lebih baik daripada hidup dalam kemaksiatan kepada Allah (HR ath-Thabarani dan al-Haitsami).
Inilah yang dipesankan oleh Rasulullah saw. kepada kita. Kita diminta bersikap sebagaimana kaum Hawariyyun yang tetap membela dan memperjuangkan risalah yang dibawa Nabi Isa as. Meskipun didera dengan berbagai kezaliman, mereka tak sejengkal pun mundur dari ketaatan kepada Allah SWT. Mereka pantang tunduk kepada penguasa yang zalim. Dalam hadis di atas Rasulullah saw. menyebutkan bahwa mati dalam ketaatan kepada Allah SWT adalah lebih baik ketimbang hidup dalam kemaksiatan kepada-Nya, apalagi dengan mendukung kezaliman penguasa serta membiarkan Kitabullah terpisah dari kekuasaan.
Selain diminta teguh dalam ketaatan, kita pun diingatkan tentang besarnya pahala amar makruf nahi mungkar di hadapan pemimpin yang zalim. Nabi saw. bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Jihad yang paling utama ialah menyatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim (HR Abu Dawud).
WalLahu a’lam bi ash-shawwab. ***
Hikmah:
Allah SWT berfirman:
وَلاَ تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لاَ تُنْصَرُونَ
Janganlah kalian cenderung kepada orang-orang zalim yang menyebabkan kalian disentuh api neraka. Sekali-kali kalian tidak mempunyai seorang penolong pun selain Allah, kemudian kalian tidak akan diberi pertolongan. (TQS Hud [11]: 113). ***
dicopy dari : Buletin Kaffah No. 167 (27 Rabiul Awal 1442 H/13 November 2020 M)