Penampilan “ala ninja” sebagian Muslimah memang mengundang perhatian sejumlah kalangan. Sebagian masyarakat bahkan menganggap hal itu sedikit aneh, bahkan cenderung memandang fenomena itu sebelah mata.
Padahal, persoalan bercadar masuk dalam ranah ijtihad yang patut dihormati, apa pun argumentasinya. Lalu, seperti apakah hukum mengenakan busana penutup wajah itu?
Pada 1995, cendekiawan Muslim Syekh Yusuf al-Qaradhawi pernah mengeluarkan fatwa soal hukum bercadar.
Sebelum memaparkan ragam pandangan ulama terkait hukum menutup keseluruhan muka dengan menyisakan kedua mata ataupun bahkan menutup total sembari memberi kain transparan di bagian penglihatan, Ketua Persatuan Ulama se-Dunia ini menegaskan perdebatan menyoal cadar yang masuk ranah ijtihad.
Ulasannya tak akan pernah selesai, lewat berbagai media dan forum ilmiah apa pun selama terdapat indikator perbedaan cara pandang dan metode pengambilan hukum atas varian dalil di sana. “Saling hormati jangan dipertentangkan,” kata alumnus Universitas Al-Azhar Mesir, itu.
Ulama yang kini menetap di Qatar itu pun memaparkan, pendapat mayoritas ulama ialah, hukum bercadar tidak wajib dan boleh menampakkan bagian luar, yaitu wajah dan kedua telapak tangan.
Ini seperti dinukilkan dari sejumlah kitab fikih mazhab, yakni kitab al-Ikhtiyar yang bercorak Hanafi, Aqrab al-Masalik ila Madzhab Malik mewakili Mazhab Maliki, sedangkan dari Mazhab Syafii bisa merujuk al-Muhadzab karangan as-Syairazi. Sementara, untuk Mazhab Hanbali bisa menyunting kitab Ibnu Qudamah al-Mughni.
Beberapa dalil yang jadikan dasar, di antaranya, tafsir surah an-Nur ayat 31. Penafsiran kalimat “kecuali yang (biasa) tampak darinya” menurut sebagian besar ulama adalah wajah dan kedua telapak tangan. Agar lebih detilnya, uraian tafsir ayat itu bisa membaca kitab karangan Imam as-Suyuthi, ad-Dur al-Mantsur fi at-Tafsir bi al-Ma’tsur.
Ini diperkuat pula dengan tafsiran kalimat “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya” pada ayat yang sama. Jika bercadar diwajibkan, mestinya akan disebutkan secara jelas untuk menutup muka total di ayat itu.
Argumentasi tersebut didukung dengan hadis, antara lain, riwayat sahih Abu Dawud dari Aisyah RA. Rasulullah SAW menyatakan, perempuan yang telah melalui masa haid wajib mengenakan aurat kecuali yang biasa terihat. “Kecuali bagian ini dan ini,” sabdanya. Rasul menunjuk bagian muka dan kedua telapak tangan.
Meski demikian, Syekh al-Qaradhawi menggarisbawahi, ketentuan tidak wajibnya bercadar bukan berarti mengenakan burqa tersebut dilarang. Siapa pun yang hendak bercadar silakan.
Apalagi, bila ia berkeyakinan tengah muncul fitnah. Memang, jika dalam kondisi merebaknya fitnah itu, para ulama menyarankan bercadar. Sekalipun, belum ditemukan dalil yang secara tegas memerintahkan menutup keseluruhan muka.
Pendapat ini diamini juga oleh Lembaga Fatwa Dar al-Ifta, Mesir. Setelah memaparkan sejumlah perbedaan pandangan seperti uraian di atas, lembaga yang saat ini digawangi oleh Syekh Syauqi Ibrahim Abd el-Karim Allam itu menegaskan, bercadar dan menutup kedua telapak tangan bukan perkara wajib, tetapi hukumnya sebatas boleh.
Silakan saja bercadar, tetapi bila sekadar berjilbab biasa, juga telah dianggap sah. Seraya menambahkan, bahwa agar ketentuan syar’i berbusana Muslimah tetap diperhatikan, yaitu tidak transparan dan tidak ketat.
Bahkan, cedekiawan Muslim terkemuka almarhum Syekh al-Ghazali menyatakan bahwa cadar merupakan mode berbusana tradisi Arab klasik untuk membedakan antara perempuan baik-baik dan budak nakal saat itu.(rmol)
RT @mandailing_on: Kabar Terbaru: Penampilan “ala ninja” sebagian Muslimah memang mengundang perhatian sejumlah kalanga… http://t.co/S2jv…